Kupi Beungoh
Partai Aceh dan Revisi Qanun LKS, Kau yang Dulu Bukanlah yang Sekarang
Kkeinginan itu justru datang secara resmi dari PA yang notabene beberapa dua tahun lalu “berkelamin jantan” mau pasang badan “meuaneuk Agam” melawan
Menurut penulis pernyataan yang cenderung delusi (sesat pikir) ini justru akan berlaku sebaliknya yaitu menghapus substansi Syariat terutama dalam praktek perekonomian karena salah satu substansi penting dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuk dan jenisnya.
Hakikatnya itulah prinsip ekonomi yang dibangun berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan dalam UUPA tidak kurang dari 19 pasal (pasal 154-173) mengatur tentang perekonomian.
Perekonomian Aceh diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Syariat Islam, keadilan, pemerataan, partisipasi rakyat dan efisiensi dalam pola pembangunan berkelanjutan.
Secara tersirat dan tersurat amanah UUPA ini telah memberikan petunjuk bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh mesti berdasarkan nilai-nilai Islam.
Prinsip ekonomi menurut UUPA ini kemudian secara teknis Pemerintah Aceh menetapkan beberapa Qanun, antaranya; Qanun Aceh nomor 8 tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam.
Dalam pasal 21 Qanun tersebut menyebutkan bahwa: Lembaga Keuangan yang akan beroperasi di Aceh harus berdasarkan prinsip Syariah; Lembaga Keuangan Konvensional yang sudah beroperasi di Aceh harus membuka Unit Usaha Syariah.
Selanjutnya Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pembentukan Bank Aceh Syariah dan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Qanun terakhir ini mewajibkan sejak 2022 seluruh Lembaga Keuangan di Aceh baik perbankan maupun non perbankan harus berprinsip Syariah.
Hakikatnya, penetapan Qanun-qanun dimaksud dalam rangka mewujudkan ekonomi Aceh bersyariah sebagaimana tertuang dalam UUPA, sehingga Aceh dalam derap pembangunannya harus dapat membangkitkan aktivitas ekonomi masyarakat yang sesuai dengan prinsip Islam.
Karena sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah harus dimaknai dengan implementasi ajaran Islam dalam semua dimensi aktivitas masyarakat termasuk dalam praktek ekonomi dan bisnis.
Bagaimanapun spirit UUPA ini tentu tidak lantas kemudian semua orang Aceh bisa paham termasuk orang orang yang notabene pejuang UUPA lebih-lebih pengusaha Aceh yang gagal memahami Syariat yang berlaku, kalau ditanya sampai kini mereka masih beralasan bahwa melakukan transaksi untuk keperluan ekspor dengan pola Syariah akan lebih mahal.
Bertransaksi dengan Bank Syariah akan menjadikan komoditas ekspor Aceh tidak kompetitif sehingga akan menghambat ekspor Aceh.
Di samping itu, alasan selanjutnya jika Qanun LKS dipertahankan, mereka akan mengalami kendala untuk melakukan transaksi luar negeri dengan negara-negara yang belum memiliki Bank Syariah.
Alasan yang disebabkan oleh gagal paham ini agaknya perlu diluruskan bahwa baik dari aspek substansi Qanun maupun teknis pelaksanaan di Lembaga Keuangan yang nantinya dipastikan tidak akan menyulitkan siapapun terutama untuk bertransaksi, berbisnis dll
Mensikapi ini penulis menyarankan: Pertama agar Pemerintah (Eksekutif dan Legislatif) bersama mitra-mitra yang ada harus berupaya mencari mekanisme terkait implementasi menyeluruh Qanun LKS di Aceh Kedua.
Menimbang Hukum Islam atas Penjarahan Saat Aksi Massa |
![]() |
---|
25 Tahun BPKS Sabang Masih Mimpi: Ekspor Nihil, Dermaga Sepi, Visi Tinggi |
![]() |
---|
Islam Kontemporer: Dari Ortodoksi ke Transformasi Sosial |
![]() |
---|
Refleksi Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H: Uswatun Hasanah Karakteristik Mulia Rasulullah |
![]() |
---|
Saatnya Prabowo Bawa Indonesia Bangkit dari Kegelapan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.