Kupi Beungoh
Menyoal Dalang di Balik Pembubaran Provinsi Aceh - Bagian 1
Pernyataan Prof Humam “mungkin kali kedua setelah Soekarno membubarkan Provinsi Aceh” kemudian disanggah oleh Helmy Nugraha Hakim
Oleh: Muhammad Nur*)
PERNYATAAN Prof Ahmad Humam Hamid saat mengomentari dinamika penunjukkan Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki oleh Presiden, mengusik saya sebagai generasi (yang boleh dikatakan masih) muda Aceh.
Berita berjudul “Prof Humam Buka Suara Soal Penetapan Pj Gubernur Aceh: Apa Kurangnya Orang Aceh”,
Sosiolog Aceh yang juga Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh ini menilai, keputusan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang memperpanjang masa jabatan Achmad Marzuki menunjukkan Aceh kehilangan nilai tawar di tingkat pusat dan tidak ada apa-apanya lagi.
“Ini sudah terlanjur, jalan saja. Tindakan pemerintah pusat ini menandakan narasi Aceh tidak ada apa-apanya. Itulah persoalannya sekarang,” kata Prof Humam.
Pernyataan ini ternyata masih dilanjutkan dengan pernyataan yang lebih pedas.
Menurut Prof Humam, fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak lagi peduli dengan suara-suara dari Aceh.
Baca juga: Soal Penetapan Pj Gubernur, Prof Humam Nilai Penghinaan Terbesar Pusat untuk Aceh setelah Sukarno
Ia menilai, keputusan Presiden yang tidak mengakomodir suara rakyat sebagai sebuah penghinaan terbesar bagi Aceh.
“Mungkin kali kedua setelah Soekarno membubarkan Provinsi Aceh. Masyarakat Aceh tidak perlu marah, diam saja. Marzuki tidak salah, masyarakat tidak boleh marah ke Marzuki,” ungkapnya.
“Ini pembelajaran, mau Partai Aceh hebat, Wali Nanggroe hebat, Aceh tidak ada apa-apanya. Kita bukan menolak Marzuki, tapi Safrizal kurangnya apa? Indra (Iskandar) kurangnya apa. Tapi Aceh tidak ada apa-apanya lagi,” tambahnya.
Disanggah oleh Kader PDIP
Pernyataan Prof Humam “mungkin kali kedua setelah Soekarno membubarkan Provinsi Aceh” kemudian disanggah oleh Helmy Nugraha Hakim, Ketua Pusat Studi Kebangsaan dan Pancasila.
Penelusuran penulis, Helmy Nugraha Hakim atau sering disingkat Helmy N Hakim adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Data pada website kip.acehprov.go.id menunjukkan, pada tahun 2019 Helmy Nugraha Hakim menjadi caleg DPR Aceh dapil 1 (Banda Aceh, Aceh Besar Sabang) dari PDIP.
Helmy Nugraha Hakim berada di nomor urut 5 di bawah T Sulaiman Badai, Tgk H. Ishak Yusuf, Cut Dini Irma Sari, dan Fauzan.
Ketika merespons pernyatan Prof Humam Hamid, ditayangkan di Serambinews.com dengan judul “Pusat Studi Kebangsaan dan Pancasila Tepis Pernyataan Prof Humam Soal Soekarno Hapus Provinsi Aceh,” Helmy N Hakim tidak terima atas pernyataan Prof Humam.
Baca juga: Pusat Studi Kebangsaan dan Pancasila Tepis Pernyataan Prof Humam Soal Soekarno Hapus Provinsi Aceh
Ia lantas memberikan alasan dari arsip-arsip sejarah yang telah dipelajarinya tidak ditemukan usulan dan peran Bung Karno terkait membubarkan Provinsi Aceh dan meleburkannya ke dalam Provinsi Sumatera Utara.
"Sampai saat ini kami mendapati isu tentang keterlibatan Bung Karno dalam pembubaran Provinsi Aceh hanyalah sebuah mispersepsi yang terlanjur berkembang menjadi mitos yang diyakini," kata Helmy, dilansir Serambinews.com Sabtu (8/7/2023).
Menurut dia, peleburan Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara terjadi pada masa Mr. Muhammad Natsir yang cukup dikenang sebagai tokoh Masyumi pada masa itu.
Aceh, Bung Karno, Daud Beureueh, Natsir, dan Mr. Assat
Perbedaan pendapat antara akademisi dan politisi dalam melihat “sejarah pembubaran provinsi Aceh” ini, tentu mengundang perhatian publik.
Apalagi perdebatan ini berkaitan dengan penunjukkan Pj Gubernur Aceh yang juga tak kalah kontroversi antara “orang lokal” dan “orang luar.”
Penulis pun ikut tersentil dengan perbedaan pendapat tersebut.
Sebagai orang Aceh dan dosen sejarah, penulis merasa perlu memberikan pandangan dari sisi keacehan dan sisi sejarah.
Agar jangan ada yang coba mengaburkan sejarah Aceh yang penuh dengan nilai-nilai perjuangan.
Lantas, dari dua pendapat di atas, siapa kira- kira yang paling berperan dalam peleburan Provinsi Aceh tersebut?
Soekarno kah atau Muhammad Natsirkah sebagaimana yang disampaikan Helmy Nugraha Hakim?
Baca juga: Kisah Nikah Mahasiswa KKN dan Bocah SD, Khansa Akui Nyari Kamil Duluan
Sebenarnya, desas desus peleburan Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara sudah terjadi sebelum piagam persetujuan antara Republik Indonesia yang dikepalai oleh Mr. Assat.
Assat adalah acting Presiden yang berkedudukan di Yogyakarta dengan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dikepalai oleh Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai wakilnya.
Perlu diketahui, Republik Indonesia adalah bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang Presidennya adalah Ir. Soekarno itu sendiri.
RIS lahir pada 2 November 1949 di Den Haag melalui Komisi Meja Bundar setelah terjadinya agresi militer Belanda I dan II di Indonesia.
Maka itu, selaku kepala pemerintahan RIS, piagam tersebut kemudian ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tanggal 20 Juli 1950 di Jakarta.
Isi dari piagam tersebut adalah menetapkan Indonesia ke dalam 10 Provinsi, di antaranya adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Sumatera Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil.
Dengan adanya penetapan piagam tersebut, maka Provinsi Aceh yang baru berumur delapan bulan sejak didirikannya pada tanggal 26 Desember 1949 oleh Wakil Perdana Menteri, Mr. Syafruddin Prawira Negara dengan Gubernur Militer pertamanya adalah Tgk. Muhammad Daud Bereu’eh akhirnya dibubarkan, bak kata pepatah, “Layu Sebelum Berkembang”.
Baca juga: Bang Wanto, Teruslah Mengabdi Untuk Aceh Besar
Pembubaran Provinsi Aceh dilakukan pada tanggal 14 Agustus 1950, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Penganti Undang- Undang No. 5 tahun 1950.
Undang-Undang ini ditandatangani oleh Mr. Assat sebagai Acting Presiden RI yang berkedudukan di Yogyakarta.
Perlu diketahui, Mr. Assat dilantik sebagai pemangku Presiden Republik Indonesia sehari setelah lahirnya Provinsi Aceh, pada 27 Desember 1949.
Perlu diketahui juga, Mr. Assat adalah orang yang paling berjasa dalam merintis lahirnya Kampus Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogjakarta.
Dia adalah “bidan senior” dalam melahirkan kampus kebanggaan masyarakat Yogjakarta tersebut.
Tanpa Assat, UGM yang kita kenal hari ini juga tidak pernah ada, UGM juga dikenal sebagai kampus terbaik di Indonesia saat ini.
Tapi, di sisi lain, pria kelahiran Sumatera Barat ini menyimpan sisi gelap, karena ia adalah orang yang mendorong lahirnya Gerakan DI/TII di Aceh dengan menetapkan Aceh sebagai residen dari provinsi Sumatera Utara.
Penetapan tersebut telah melahirkan pemberontakan yang dikenal dengan sebutan pemberontakan “Kaum Republik” di Aceh.
Pemberontakan ini meletus pada 20 September 1953, dipimpin langsung oleh Tgk. Muhammad Daud Bereu’eh, mantan Gubernur Militer pertama Aceh.
Gerakan ini telah memakan korban yang cukup banyak di kalangan masyarakat Aceh seperti penembakan massa oleh TNI di Pulot dan Cot Jeumpa, Aceh Besar, pada Februari 1955.
Ironisnya banyak korban yang ditembak pada masa itu adalah pejuang- pejuang nasionalis yang telah berjasa dalam melahirkan Republik Indonesia ini.
Peran Mr. Syafruddin dan Jasa Aceh Bagi Republik
Sebagaimana diketahui, sebelum terbitnya undang- undang yang baru ini, melalui peraturan pemerintah No. 8/Desember/WKPM/1949, Syafruddin Prawiranegara yang pada waktu itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, menyetujui pembentukan Provinsi Aceh.
Sikap Syafruddin yang menyetujui lahirnya provinsi Aceh ini, diketahui oleh Presiden Soekarno pada masa itu, karena sebelumnya Presiden Soekarno sudah pernah bertemu dengan Tgk. Muhammad Beureu’eh dalam kunjungan pertamanya ke Banda Aceh pada tahun 1948.
Dalam pertemuan tersebut, ada dialog yang cukup direkam sampai hari ini oleh masyarakat Aceh antara Presiden Soekarno dengan Tgk. Muhammad Daud Bereu’eh sebagai tokoh revolusi dan sekaligus sebagai salah satu ulama besar PUSA masa itu di Aceh.
Syafruddin mengakui bagaimana jasa Aceh dalam melahirkan Republik Indonesia ini, peran dan jasa rakyat Aceh sangat besar dalam mengawal revolusi pada 17 Agustus 1945.
Peran rakyat Aceh dalam melawan gerakan Cumbok yang pusatnya ada di Sakti, Lamlo, Pidie.
Peran rakyat Aceh dalam melawan Gerakan Said Ali.
Sumbangan moral dan material rakyat Aceh untuk fron pertempuran di Medan Area.
Baca juga: Ingat Kakek Sondani? Dulu Viral Nikahi Gadis 19 Tahun, Kini Divonis Gagal Ginjal dan Dicerai Istri
Sumbangan puluhan kilogram emas untuk Monas di Jakarta.
Sumbangan dua pesawat Dakota sebagai cikal bakal pesawat Garuda Indonesia hari ini.
Pesawat Dakota inilah yang digunakan oleh Ir. Soekarno sebagai alat transportasi udara dalam melobi negara luar untuk mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia yang baru saja diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Peran Radio Rimba Raya yang menyatakan bahwa Indonesia ini masih ada.
Peran laskar-laskar atau barisan rakyat yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada tangal 5 Oktober 1945.
Dan yang terakhir adalah sikap penolakan tawaran pemisahan Aceh dari Indonesia oleh Teungku Mansur, Wali Negara Sumatera Timur.
Penolakan ini disampaikan langsung oleh Tgk. Muhammad Daud Bereu’eh di Aceh, “Sekali Republic, Tetap Republic”.
Syafruddin juga berjasa dengan Aceh, saat Yogjakarta jatuh ke tangan Belanda saat agresi militer Belanda pertama pada 21 Juli 1947 dan agresi militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948.
Agresi militer ini berhasil menangkap Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Menteri Luar Negeri, Agus Salim dan beberapa menteri lainnya.
Lalu, Ir. Soekarno dan Mohd. Hatta diasingkan ke Bangka Belitung, Sumatera Selatan.
Setelah ditangkapnya Presiden dan Wakil Presiden, Belanda kemudian membentuk pemerintahan federal berbentuk RIS (Republik Indonesia Serikat).
RIS adalah hasil konspirasi antara Indonesia yang diwakili Mohd. Hatta dengan Belanda di Den Haag pada 23 Agustus sampai 2 November 1949.
Di sana Belanda kemudian mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia dalam bentuk Negara RIS melalui sidang KMB (Komisi Meja Bundar).
Sementara Syafruddin Prawiranegara membentuk pemerintah Darurat Republic Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, pada 19 Desember 1948.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer XVI - Daud Beureueh: Medan Area, Pembentukan TNI, dan Daerah Modal
Atas desakan dan serangan Belanda secara terus menerus ini hingga sampai ke Bukit Tinggi, Padang, Sumatera Barat, telah memaksa pimpinan Pemerintahan PDRI ini untuk pindah ke Kuta Radja, Banda Aceh, untuk mempertahankan kekuasaan Indonesia dari ancaman militer Belanda.
Berdirinya pemerintahan PDRI sementara di Aceh, cukup memberi bukti bahwa masyarakat Aceh adalah kaum nasionalis, yang telah berjasa besar dalam “membidani” lahirnya republik ini di saat-saat masa genting, bukan seperti salah satu provinsi yang belakangan bergabung dengan Indonesia setelah tahun 1960-an.
Maka, atas jasa-jasa yang telah disumbangkan rakyat Aceh ini, akhirnya Mr. Syafruddin Prawira Negara selaku Wakil Perdana Menteri yang berkedudukan di Kota Radja mengirimkan surat kepada Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera, Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera, Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Residen Aceh, yang menyatakan keputusannya untuk membentuk Provinsi Aceh yang ia tandatangani sendiri pada tanggal 26 Desember 1949.
*) PENULIS adalah dosen Sejarah Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Pembubaran Provinsi Aceh
Soekarno
Pj Gubernur Aceh
Muhammad Natsir
Assat
Syafruddin Prawira Negara
Serambinews
kupi beungoh
Refleksi 20 Tahun Damai Aceh: Menanti Peran Anak Syuhada Menjaga Damai Aceh Lewat Ketahanan Pangan |
![]() |
---|
Utang: Membangun Negeri atau Menyandera Masa Depan? |
![]() |
---|
Melihat Peluang dan Tantangan Potensi Migas Lepas Pantai Aceh |
![]() |
---|
Dua Dekade Damai, Rakyat Masih Menanti Keadilan Pengelolaan Sumber Daya Alam |
![]() |
---|
Kampung Haji Indonesia dan Wakaf Baitul Asyi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.