Breaking News

Kupi Beungoh

Benarkah Soekarno Mengkhianati Aceh dengan Membubarkan Provinsi Aceh?

Dalam pikiran orang-orang Aceh sudah tertanam sejak dahulu bahwa Soekarno mengkhianati Aceh dengan membubarkan provinsi otonom Aceh

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Adi Fauzi, Penulis adalah Ketua Masyarakat Aceh Surakarta, dan Founder Atjeh Gallery 

Oleh: Adi Fauzi*)

Gonjang ganjing dalam isu pengangkatan PJ Gubernur Aceh baru-baru ini yang dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Aceh karena tidak terakomodinir usulan dari beberapa tokoh Aceh, seperti yang ditanggapi oleh Prof Humam Hamid dalam sebuah wawancara di Harian Serambi Indonesia yang menyatakan Provinsi Aceh dibubarkan oleh Soekarno.

"Mungkin kali kedua setelah Soekarno membubarkan Provinsi Aceh. Masyarakat Aceh tidak perlu marah, diam saja. Marzuki tidak salah, masyarakat tidak boleh marah ke Marzuki,” ungkapnya kepada Serambinews.com Kamis 7/7/2023).

Dalam pikiran orang-orang Aceh sudah tertanam sejak dahulu bahwa Soekarno mengkhianati Aceh dengan membubarkan provinsi otonom Aceh dan meleburkannya ke dalam provinsi Sumatera Utara.

Setiap ada permasalahan Aceh vs Jakarta narasi itu selalu di keluarkan baik oleh awam maupun profesor semisal penyataan Prof Humam di Aceh.

Ditambah lagi dengan artikel Muhammad Nur yang terdiri dari dua bagian “Menyoal Dalang di Balik Pembubaran Provinsi Aceh” dan “Konsep Unitaris dan Dalang di Balik pembubaran Provinsi Aceh” (11 Juli 2023).

Baca juga: Menyoal Dalang di Balik Pembubaran Provinsi Aceh - Bagian 1

Namun benarkah demikian? Soekarno mengkhianati Aceh dan membubarkan provinsi Aceh sehingga membuat Daud Beureueh yang kala itu sebagai Gubernur Aceh meradang dan menyatakan perang kepada pemerintah pusat?

Fakta sejarah tidaklah demikian. Sejarah dari pembentukan propinsi Aceh sampai dibubarkan dan dibentuklah tidaklah itu tanggung jawab Soekarno sebagai presiden dimana kala itu pemerintahan berbentuk parlementer.

Berdasarkan UU pokok tentang pemerintahan, yaitu UU nomor 22/1948 dan UU tentang pemerintahan Sumatera no 10 tahun 1948 menetapkan bahwa daerah Sumatera di bagi 3 provinsi, yaitu:

1.SUMUT dengan Gubernurnya SM amin

2.SUM-TENG dengan Gubernurnya MR  M. Nasrun

3.SUM-SEL dengan Gubernurnya Dr Isa.

Sementara Provinsi Sumut meliputi keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli.

Dengan alasan keamanan belum terjamin maka di ketetapan-ketetapan tersebut belum bisa dilaksanakan.

Namun Daerah militer istimewa Aceh Langkat dan Tanah Karo masih berjalan.

Segala pertanggung jawab perintahan sipil  diembankan kepada Gubernur Militer Tgk Daud Beureueh.

Baca juga: Pusat Studi Kebangsaan dan Pancasila Tepis Pernyataan Prof Humam Soal Soekarno Hapus Provinsi Aceh

Kekuasaan yang besar yang diberikan kepada Daud Beureueh ini diperkuat lagi berdasarkan keputusan PDRI No 21/PEM/PDRI tanggal 16 mai 1942 dan keputusan no 22/pem/pdri tanggal 17 mei 1949 yang melimpahkan kekuasaan sipil dan militer kepada Gubernur Militer Tgk Daud Beureueh.

Pembentukan PDRI berdasarkan Instruksi Presiden RI tanggal 19 Desember 1948 yang ditanda tangani 1949, Presiden Soekarno dan Hatta pada saat terjadi agresi Belanda kedua pada masa pemerintahan Syarifuddin Prawira Negara inilah bentuk

Pemerintahan di Sumatera mengalami perubahan berdasarkan peraturan Wakil PM pegganti peraturan pemerintah  No 8/des/WKPM TAHUN 1949 Provinsi Sumatera Utara dipecah menjadi dua.

Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli Sumatra Timur yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1950 sebagai Gubernur diangkat Tgk Daud Beureueh

Secara UU pembentukan provinsi Aceh kala itu sangat bertentangan dengan UU No 22/1948 dan mempersulit pemerintah dalam merealisasi hasil pencapaian dalam KMB.

Pemerintah dilematis dalam pembentukan provinsi Aceh terlebih dalam pelaksanaan pembagian wilayah yang berdasarkan persetujuan antara RIS-RI pada tanggal 19 mei 1950 yang melahirkan peraturan No 21 tahun 1950 yang menetapkan pembagian wilayah RI terdiri dari 10 provinsi.

Baca juga: Soal Penetapan Pj Gubernur, Prof Humam Nilai Penghinaan Terbesar Pusat untuk Aceh setelah Sukarno

Dengan adanya ketetapan itu untuk mengatasi masalah provinsi Aceh, maka pemerintah mengeluarkan UU No 5 tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950 memutuskan mencabut peraturan WKPM no 8/des/WKPM tahun 1949 tentang dibentuknya propinsi Aceh yang dibentuk oleh Syarifuddin Prawiranegara.

Begitu kira-kira sejarah singkat dibentuk dan dibubarkannya provinsi Aceh kala itu.

Pembubaran ini mendapat reaksi keras dari masyarakat Aceh terlebih dari Daud Beureueh yang menjabat sebagai Gubernur Aceh.

Pembubaran itu tentu akan mencabut 'kuku' Daud Beureueh.

Untuk meyakinkan Daud Beureueh, pemerintah pusat mengirim wakil-wakilnya untuk membicarakan masalah pembentukan provinsi Sumut dengan Gubernur Aceh dan DPD serta DPR Aceh dan tokoh masyarakat

Utusan itu tiba di Aceh tanggal 26 September 1950 terdiri dari Mendagri Mr M Assad didampingi oleh Syarifudin Prawiranegara dan beberapa anggota parlemen.

Kemudian tanggal 27 September berkunjung pula M Hatta.

Akhirnya 23 Januari 1951 berkunjunglah Perdana Menteri Muhammad Natsir (Masyumi) setelah musyawarah ia memperoleh persetujuan dari tokoh-tokoh Aceh untuk melaksanakan pengabungan Propinsi Aceh ke Propinsi Sumatra Utara dan saat itu pula dilaksanakan acara serah terima.

Baca juga: Konsep Unitaris dan Dalang di Balik Pembubaran Provinsi Aceh – Bagian Terakhir

Jabatan Gubernur Aceh dari Daud Beureueh kepada Perdana Mentri Natsir.

Jadi bukan Soekarno yang meleburkan Provinsi Aceh tetapi PM Natsir dan Gubernur Aceh Daud Beureueh yang keduanya sama-sama Masyumi.

Pengabungan ini memang menyakitkan pemerintah RI dalam hal ini Perdana Menteri M Natsir mencabut "kuku" Daud Beureueh di Aceh yang kala itu sebagai tokoh paling kharimatik

Tak tahan kuku dicabut, akhirnya Daud Beureueh menghasut rakyat Aceh agar memberontak terhadap RI  dengan alasan Soekarno menipu rakyat Aceh dan membubarkan Propinsi Aceh seperti yang dikatakan oleh Prof Humam di atas.

Akhirnya Daud Beureueh meluapkan kekecewaan itu dengan angkat senjata bergabung dengan DI/TII Jawa Barat pimpinan Kartosoewiryo.

Terkait Artikel Muhammad Nur

Yang menarik dari artikel Muhammad Nur bagian kedua alih-alih yang bersangkutan mencoba menyanggah bantahan Helmy Nugraha Hakim terhadap Prof Humam, Muhammad malah semakin memperkuat pendapat Helmy dimana yang bersangkutan juga melengkapi faktor-faktor situasi dan langkah-langkah yang menyebabkan Natsir yang dikesankan oleh Muhammad Nur sebagai“terpaksa” mengambil keputusan tersebut.

Yang bersangkutan tidak memberi fakta dan data baru terkait keterlibatan Soekarno dalam pengambilan keputusan tersebut.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer XVI - Daud Beureueh: Kecewa dan Berontak

Alih-alih mau mengkritisi pendapat Helmy yang mengambil referensi Djumala, yang bersangkutan malah menganalisa latar belakang pribadi Helmy.

Secara jujur saya menilai artikel Muhammad Nur lebih kepada artikel advokasi terhadap Prof Humam Hamid dan Masyumi ketimbang upaya sanggahan ilmiah terhadap pernyataan Helmy N Hakim.

*) PENULIS Penulis adalah Ketua Masyarakat Aceh Surakarta | Founder Atjeh Gallery

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved