Kupi Beungoh
Kuasa Aceh: Pejabat Kiriman dan Logika Baju, Bagian - III
Logika mencari orang, kemudian menjahitkan “baju” yang pas ukuran dan cocok untuk dipakai, untuk pejabat gubernur Aceh kali ini, seharusnya dibalik
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
Sudah menjadi rahasia nasional bahkan dunia, bahwa Aceh adalah contoh buruk bagaimana sebuah daerah bekas konflik yang belum berhasil memperoleh kemajuan optimal dari perdamaian.
Semenjak tahun 2007, beragam kemudahan yang tak pernah didapatkan sebelumnya telah bermunculan, namun Aceh masih saja tenggelam dalam kemiskinan, minim investasi, dan belum menunjukkan tanda-tanda kemajuan yang menggembirakan
Dibawah label daerah otonomi khusus, Aceh memperoleh cukup banyak kemudahan, kewenangan, dan kekhususan.
Dana otonomi khusus, pembagian pendapatan dari sektor migas, dan kewenangan khusus untuk sektor pertambangan non migas, adalah beberapa poin penting dalam sektor ekonomi yang diharapkan akan menjadi modal besar pembanguan.
Buah perdamaian juga memberikan sejumlah kewenangan dan kekhususan, terutama menyangkut dengan agama, politik, dan sosial budaya.
Baca juga: Kuasa Aceh: Apa Beda Gus Dur, SBY, Jokowi - Bagian I
Baca juga: Dihajar Massa dan Dipecat dari Partai, Bacaleg di Lombok Tak Berbuat Cabul, Anaknya Diintimidasi OTK
Baca juga: Bikin Gula Darah Naik pada Tubuh, Ini Tips Sehat Makan Seblak, dr Zaidul Akbar : Hati-hati Penyakit
Lebih dari itu, aspirasi dan kontentasi politik selama 3 tiga kali pemilihan umum, telah memungkikan pihak yang pernah melawan pemerintah pusat, masuk, dan kemudian mendapatkan kekuasaan yang diakui dan dijamin oleh undang-undang.
Selama lebih dari 15 tahun, Aceh tidak hanya tertinggal di Pulau Sumatera, akan tetapi menjadi salah satu propinsi yang tertinggal jauh untuk hampir semua aspek pembangunan, dalam konteks nasional.
Seperti di banyak tempat bekas konflik di dunia, adagium “berperang itu mudah, memerintah itu lain lagi perkaranya” kembali menemukan bukti kebenarannya di Aceh.
Sama dengan di berbagai kawasan konflik lain didunia, seringkali mereka yang berperang, ketika diberikan kekuasaan, tidak hanya gagal, bahkan menjadi lebih buruk dari penguasa yang memerintah sebelumnya.
Di Aceh, kondisi ini menjadi rahasia umum, diketahui dan diakui publik, diakui oleh sebagian eks kombatan, dan sangat dimengerti dengan baik oleh pemerintah pusat.
Terseretnya Aceh kedalam berbagai “kemalangan” pembangunan selama lebih dari 15 tahun yang kemudian menemui kata kunci kemiskinan”, pada umumnya sangat terkait dengan banyak hal.
Untuk menyebut sedikit, disana ada tata kelola pemerintahan yang buruk, korupsi dan penyalahgunaan kekuasan, “branding buruk” Aceh di mata luar, dan miskinnya wawasan elit politik dan pemerintahan.
Baca juga: Kuasa Aceh: SBY dan Pertanyaan Nabi Musa kepada Nabi Khaidir - Bagian II
Baca juga: Komisioner Baru Belum Dilantik, KPU Ambil Alih KIP Lhokseumawe
Baca juga: Tegaskan Tidak Wajib Mencari Uang untuk Haji, Buya Yahya : Nafkah Istri Lebih Wajib!
Pengunduran Pemilu nasional yang memberikan ruang besar untuk “menyehatkan” Aceh sebenarnya cukup terbuka lebar, apalagi Aceh adalah salah satu propinsi “kloter awal” berakhirnya masa jabatan kepala daerah, mulai dari bupati, walikota, sampai dengan Gubernur.
Mayoritas masa tunggu pejabat baru di seluruh Aceh berkisar antara dua sampai dengan dua setengah tahun. Itu adalah waktu yang sama dengan setengah masa jabatan resmi kepala daerah hasil pilihan rakyat.
Pejabat Gubernur Aceh, Logika Baju dan Orang
Bagi pemerintah pusat, jika memang sangat sulit mencari figur yang tepat untuk puluhan kepala daerah tingkat II di Aceh, maka , mencari pejabat gubernur yang akan “mengurus” Aceh untuk jangka waktu dua setengah tahun adalah kebijakan yang sangat strategis.
Ini adalah “jalan pintas” pemerintah pusat membantu Aceh keluar dari kemelut, seperti layaknya rezim pemerintahan SBY membantu Aceh ketika tsunami pada tahun 2007.
Jika benar rezim pemerintahan Jokowi mempunyai iktisad baik, dan sangat serius untuk “meluruskan”banyak hal di Aceh untuk kembali ke “jalan yang benar”, idealnya pejabat gubernur yang ditunjuk haruslah dibebankan dengan sebuah missi khusus.
Diharapkan dengan missi khusus dua setengah tahun pejabat gubernur itu, akan digunakan untuk mempersiapkan fondasi tata kelola pemerintahan yang baik, dan perencanaan pembangunan yang terarah.
Baca juga: Nezar Patria Resmi Jabat Wamenkominfo, Prof Humam Hamid: Patut Disyukuri
Baca juga: Lady Nayoan Mengaku Syahnaz Sadiqah Belum Minta Maaf Langsung, Begini Tanggapan Pakar Ekspresi
Baca juga: Jarak Kelahiran Anak Terlalu Dekat Bisa Bikin Angka Stunting Tinggi, Ini Penjelasan Kepala BKKBN
Hal inilah yang akan dilanjutkan nantinya oleh pejabat publik yang terpilih pada tahun 2024, diseluruh daerah tingkat dua, sekaligus oleh gubernur Aceh yang terpilih nantinya.
Semua ini sangat memungkinkan, karena dalam masa dua setengah tahun, dan dengan status masa transisi.
Dengan status yang sedemikian rupa, maka pejabat gubernur Aceh yang ditunjuk seyogianya adalah “komandan” para pejabat daerah tingkat II, sehingga berbagai langkah “penyehatan” kabupaten -kota diseluruh Aceh dapat dilakukan.
Logika mencari orang, kemudian menjahitkan “baju” yang pas ukuran dan cocok untuk dipakai, untuk pejabat gubernur Aceh kali ini, seharusnya dibalik logikanya.
Jahit baju dulu bajunya -misi khusus untuk Aceh- baru kemudian cari siapa yang ukurannya memenuhi dan cocok memakainya
Jika misi khusus itu ditulis dalam bentuk “baju pejabat gubernur Aceh” maka kualifikasi ukurannya adalah pengetahuan dan pengalaman tata kelola pemerintahan, tahu dan mau belajar keunikan sosial budaya Aceh, bijak dan berani dalam menghadapi tantangan, dan mempunyai rekam jejak integritas yang baik.
Baca juga: Prof Humam Sentil PA dan Wali Nanggroe Usai Achmad Marzuki Kembali Ditetapkan Sebagai Pj Gubernur
Baca juga: Berikut Penjelasan Dokter Terkait Begadang dan Minum Kopi Bisa Hipertensi, Benarkah?
Baca juga: Makan Mi Instan dan Nasi Sekaligus, Ketahui Jumlah Kalori yang Dikonsumsi
Layakkah Aceh mendapat “jahit baju cari orang” untuk pejabat gubernur Aceh saat ini?
Sangat layak, karena memang Aceh adalah kawasan bekas konflik yang kalau tidak ditangani dengan baik akan melahirkan penyakit baru, bahkan berpotensi untuk “relapse” ke dalam siklus konflik yang berkepanjangan.
Yang dimaksud adalah kambuhnya penyakit lama dengan penyebab baru, atau pengulangan kembalinya penyebab lama.
Bukankah rekam jejak Aceh semenjak perang Belanda 1872 sampai dengan 2005, selalu berada dalam siklus konflik yang datang dan pergi, dengan masa istirahat yang seringakali pendek.
Bukankah periode damai pasca MoU Helsinki 2005 sampai hari ini yang sudah berjalan sekitar 18 tahun merupakan fase damai terpanjang dalam sejarah Aceh.
Apakah keadaan seperti ini akan menjadi jaminan bahwa konflik tak akan pernah tumbuh lagi di Aceh? Apakah kemudian antisipasi itu tidak perlu dikaitkan dengan kebijakan pemerintah pusat, termasuk dalam penunjukan pejabat gubernur?
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.