Kupi Beungoh
Rocky Gerung vs Moeldoko : Anomie, Anarki, dan Despotik Mayoritas - Bagian II
Penggunaan sejumlah kata “menghina” oleh Rocky Gerung sebenarnya tidak lain dari semacam “warning keras” , bahkan dapat disebut sebagai shock therapy
Oleh: Ahmad Humam Hamid *)
130 tahun yang lalu, salah seorang pendiri sosiologi berkebangsan Perancis, Emile Durkheim memperkenalkan istilah “ anomie”, sebuah kata yang berasal dari bahasa Yunani yang bermakna “tanpa aturan”.
Oleh Durkheim, sebenarnya istilah itu lebih ditujukan terhadap situasi perobahan sosial yang begitu dasyhat dan cepat yang melanda Eropah, utamanya negar-negara Eropah Utara akibat revolusi industri pada abad ke 18.
Esensi “anomie” adalah sebuah situasi ketiadaan norma dalam kehidupan sehari -hari yang terus berjalan yang tampaknya seorangpun tak mampu untuk mengendalikannya.
Ketiadaan norma oleh Durkheim digambarkan untuk mendeskripsikan situasi yang mirip dengan sebuah keadaan yang serupa, tapi tak sama dengan anarki.
Jika anomie lebih berhubungan dengan pengabaian dan pelanggaran norma, maka anarki lebih berasosiasi dengan ketidakhadiran kekuasaan dan kepemimpinan.
Jika ruang demokrasi dibiarkan kosong melompong, tidak difungsikan dengan benar oleh para aktor yang mendapat amanah, dihindari oleh lembaga yang mempunyai mandat moral keilmuan, bukankah ini sebuah ketidakpedulian yang disengaja.
Inilah salah satu punca “anomie” yang tengah berlangsung. Akibatnya, rezim bertindak semena-mena, menganggap apapun yang dikerjakan sebagai sebuah keniscayaan absolut.
Baca juga: Rocky Gerung vs Moeldoko: Tentang “Tak Berhati” - Bagian I
Segera terlihat betapa rakyat menjadi sangat “terasing,” dan bahkan “terpinggirkan” dari berbagai lintasan kehidupan yang sedang dijalani.
Lihat saja berbagai pemangku kepentingan, bahkan pemangku kepentingan utama , semisal buruh, yang terhempas akibat penerapan Undang Undang Cipta Kerja.
Contoh yang paling anyar betapa UU Kesehatan menghilangkan “mandatory spending”-wajib bayar pemerintah, yang akan membuat masyarakat menjerit.
BPJS tak akan lagi sepenuhnya membayar biaya pengobatan masyarakat.
Belum lagi kebebasan profesional kesehatan asing bebas berpraktek di Indonesia yang tidak hanya akan meminggirkan tenaga profesional nasional, akan tetapi semua data yang didapatkan dapat dibawa pulang ke negaranya untuk penelitian.
Yang sedang dan akan terjadi adalah, sebagian masyarakat baik secara individu maupun secara kolektif akan merasa dirinya “hilang” secara moral dan sosial, dan menjadi terasingkan dari kehidupan yang lebih besar.
Dua contoh ini- U Cipta Kerja dan UU Kesehatan, baik dalam skala maupun kecepatan, mempunyai bukti awal yang ditandai dengan resistensi yang sangat hebat dari para pemangku kepentingan utamanya.
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.