Kupi Beungoh

Rocky Gerung vs Moeldoko: Tentang “Tak Berhati” - Bagian I

Moeldoko yang bertugas sebagai Kepala Sekretariat Presiden justeru menggunakana istilah “tak berhati” kepada Rocky.

Editor: Amirullah
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

Publik nasional dalam dua minggu terakhir mengalami “gempa tektonik” politik.

Guncangan kuat terjadi ketika sejumlah kata yang dialamatkan Rocky Gerung kepada Presiden Jokowi, viral berterbangan ke seluruh pelosok negeri.

Gempa itu berlanjut menjadi serial “opera sabun” ketika sejumlah “Jokowian” melaporkan ulah Rocky kepada pihak berwajib.

Sebenarnya, perihal kontroversi bunga-bunga demokrasi itu telah tutup buku, ketika Presiden Jokowi merespons pertanyaan wartawan dengan jawaban “itu hal kecil.”

Mungkin, yang hendak dikatakan Jokowi saat itu, ia justeru merasa “heran” kalau Rocky Gerung tak menggunakan sejumlah kata “menghina” itu.

Jokowi mungkin maklum di tengah ancaman kepunahan keanekaragaman hayati “spesies” demokrasi di Indonesia, makhluk seperti Rocky Gerung itu mesti diselamatkan.

Baca juga: Kuasa Aceh: Apa Beda Gus Dur, SBY, Jokowi - Bagian I

Bukankah indeks demokrasi Indonesia diperingkat global selama Jokowi berkuasa tidak baik-baik saja.

Kalau saja cuap-cuap kritik Rocky yang begitu berarti, capaian demokrasi Indonesia turun, bagaiamana kalau Rocky dan sejumlah makhluk sejenisnya “dipunahkan”?

Tidak berlebihan untuk disebutkan, bahwa Rocky itu adalah “endengered spesies”-makhluk yang diambang kepunahan, yang perlu dicarikan kawasan suaka, agar tak musnah.

Harapannya, paling kurang setelah Jokowi tak lagi berkuasa, makhluk itu harus terus dan berlanjut.

Tidak hanya itu sang makhluk juga bisa berkembang biak dengan lebih cepat dan banyak, untuk kebaikan negeri ini di masa yang akan datang.

Apa yang disampaikan oleh Rocky, selama tahun-tahun terakhir ini, dan mencapai salah satu puncaknya pada minggu lalu, tidak lain dari sebuah eskpresi keniscayaan demokrasi.

Ada “ruang kosong” yang ditinggalkan dengan sengaja oleh berbagai institusi formal yang seharusnya bekerja dengan baik untuk mengisi ruang itu.

Baca juga: Kuasa Aceh: SBY dan Pertanyaan Nabi Musa kepada Nabi Khaidir - Bagian II

Partai politik adalah lembaga formal yang secara konstitusi memang bertugas untuk mengawal perjalanan bangsa dan pemerintahan dalam bingkai demokrasi yang dinamis.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved