Kupi Beungoh

Rocky Gerung vs Moeldoko : Anomie, Anarki, dan Despotik Mayoritas - Bagian II

Penggunaan sejumlah kata “menghina” oleh Rocky Gerung sebenarnya tidak lain dari semacam “warning keras” , bahkan dapat disebut sebagai shock therapy

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Tidak cukup dengan fenomena anomie publik yang semakin berkembang, berikut dengan alineasi yang dirasakan, ada sebuah fenomena lain yang tak kurang pentingnya.

Di lingkaran pusat kekuasaan muncul pula berbagai tingkah ganjil yang sifatnya bukanlah kasus, melainkan sosiologis, banyak, dan terjadi secara berlanjut.

Yang tampak adalah sebuah kejadian seolah “ungovernable”- tak teraturkan di kalangan para pembantu presiden.

Baca juga: Ulama, Pengemban Peran Profetik Para Nabi

Kelakuannya seolah tak ada urusan dengan kedudukan mereka sebagai pembantu presiden yang secara normatif terikat dengan sejumlah perilaku kepatutan.

Bayangkan saja seorang Moeldoko- Kepala Staf Presiden, menjadi begal politik Partai Demokrat secara berkelanjutan, yang bahkan mosinya ditolak pemerintah, dan Mahkamah Agung.

Virus” begal politik itu kemudian mulai menyebar ke pembantu terdekat presiden yang namanya sudah diketahui oleh publik.

Tokoh ini yang pada akhir Juli kemarin tergoda untuk “membegal” Partai Golkar, menggambil alih dari Airlangga Hartarto.

Apa yang dibaca oleh publik terhadap tingkah kedua mereka menggambarkan seolah mereka dibiarkan atau bahkan mendapat restu dari Presiden Jokowi.

Jika mereka dibiarkan, maka tindakan itu adalah penyumbang terbesar yang semakin memperparah anomie politik nasional.

Kehidupan dan keseharian politik nasional secara vulgar menggambarkan suasana manipulatif dan pemaksaan terselubung yang menggantikan norma yang seharusnya bertumpu pada nilai-nilai demokrasi, legilitas, dan konstitusional.

Baca juga: VIDEO Rumah Rocky Gerung Dilempari Telur dan Tomat oleh Pendemo

Ketika kondisi ini terus berjalan dan tidak dibendung atau “tak mampu” dibendung oleh presiden, maka fenomena ini menjadi lain labelnya.

Ini adalah anarki politik, karena kedua begal politik yang dimainkan oleh kedua pembantu presiden. Mengapa?

Karena salah satu ciri penting dari “anarkhi” adalah absennya kepemimpinan.

Kemimpinan ada, bahkan terkesan kuat, tetapi kenapa perilaku anarki itu berlangsung. Artinya, ada prinsip keteraturan yang dilanggar, dan itu adalah anarki.

Jika tindakan kedua mereka tidak mau dibendung dengan sengaja oleh presiden, kondisi itu tetap saja mendapat label “anarkhi” namun memerlukan penjelasaan lanjutan.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved