Kupi Beungoh
Rocky Gerung vs Moeldoko : Anomie, Anarki, dan Despotik Mayoritas - Bagian II
Penggunaan sejumlah kata “menghina” oleh Rocky Gerung sebenarnya tidak lain dari semacam “warning keras” , bahkan dapat disebut sebagai shock therapy
Tidak cukup dengan fenomena anomie publik yang semakin berkembang, berikut dengan alineasi yang dirasakan, ada sebuah fenomena lain yang tak kurang pentingnya.
Di lingkaran pusat kekuasaan muncul pula berbagai tingkah ganjil yang sifatnya bukanlah kasus, melainkan sosiologis, banyak, dan terjadi secara berlanjut.
Yang tampak adalah sebuah kejadian seolah “ungovernable”- tak teraturkan di kalangan para pembantu presiden.
Baca juga: Ulama, Pengemban Peran Profetik Para Nabi
Kelakuannya seolah tak ada urusan dengan kedudukan mereka sebagai pembantu presiden yang secara normatif terikat dengan sejumlah perilaku kepatutan.
Bayangkan saja seorang Moeldoko- Kepala Staf Presiden, menjadi begal politik Partai Demokrat secara berkelanjutan, yang bahkan mosinya ditolak pemerintah, dan Mahkamah Agung.
Virus” begal politik itu kemudian mulai menyebar ke pembantu terdekat presiden yang namanya sudah diketahui oleh publik.
Tokoh ini yang pada akhir Juli kemarin tergoda untuk “membegal” Partai Golkar, menggambil alih dari Airlangga Hartarto.
Apa yang dibaca oleh publik terhadap tingkah kedua mereka menggambarkan seolah mereka dibiarkan atau bahkan mendapat restu dari Presiden Jokowi.
Jika mereka dibiarkan, maka tindakan itu adalah penyumbang terbesar yang semakin memperparah anomie politik nasional.
Kehidupan dan keseharian politik nasional secara vulgar menggambarkan suasana manipulatif dan pemaksaan terselubung yang menggantikan norma yang seharusnya bertumpu pada nilai-nilai demokrasi, legilitas, dan konstitusional.
Baca juga: VIDEO Rumah Rocky Gerung Dilempari Telur dan Tomat oleh Pendemo
Ketika kondisi ini terus berjalan dan tidak dibendung atau “tak mampu” dibendung oleh presiden, maka fenomena ini menjadi lain labelnya.
Ini adalah anarki politik, karena kedua begal politik yang dimainkan oleh kedua pembantu presiden. Mengapa?
Karena salah satu ciri penting dari “anarkhi” adalah absennya kepemimpinan.
Kemimpinan ada, bahkan terkesan kuat, tetapi kenapa perilaku anarki itu berlangsung. Artinya, ada prinsip keteraturan yang dilanggar, dan itu adalah anarki.
Jika tindakan kedua mereka tidak mau dibendung dengan sengaja oleh presiden, kondisi itu tetap saja mendapat label “anarkhi” namun memerlukan penjelasaan lanjutan.
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.