Kupi Beungoh
Kita, Rohingya dan Junta Militer Myanmar
Contoh terkini adalah masalah kedatangan para pengungsi Rohingya, dan pencari suaka politik asal negara Myanmar, yang menyebar ke berbagai negara lain
Oleh: Safaruddin*)
SAYA kira, tidak ada yang mau menjadi pengungsi, apalagi dalam waktu yang lama, di negara orang pula.
Ini selaras dengan peribahasa nusantara “Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri.”
Sebaliknya, tidak ada yang mau mengurus para pengungsi dari negara lain, apalagi dalam waktu yang lama.
Apalagi bila rakyat di negeri sendiri masih banyak yang membutuhkan perhatian.
Namun, selama masih ada penjahahan dan konflik kekerasan, dimana pun itu, maka negara-negara yang damai, tetap akan menjadi tujuan pengungsian dan pelarian politik.
Baik itu secara normal maupun karena adanya bisnis penyelundupan - perdagangan manusia, minimal sebagai tempat transit menuju negara ketiga.
Baca juga: YARA Siap Tampung Rohingya di Aceh, Safaruddin: Sapi Saja Malam Kita Jemput dari Hutan, Ini Manusia
Dalam website Kemenkumhan dalam artikel berjudul “Komitmen Kemanusiaan Terhadap Pengungsi Internasional” (9/2/2022) ditegaskan bahwa dalam Konvensi Internasional dikenal prinsip non-refoulement dimana negara dilarang menolak atau mengembalikan para pengungsi.
Prinsip ini mengharuskan setiap negara untuk menerima, menyediakan tempat, melindungi serta melayani para pengungsi dan melarang untuk menolak kedatangan mereka kendati bukan sebagai pihak pada Konvensi Pengungsi 1967.

Karena itu, sangat tepat dalam konstitusi RI pada Pembukaan UUD 1945 ditegaskan “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Dan, pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 disebutkan maksud pembentukan Pemerintah Negara Indonesia, tidak hanya bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia….. Tapi juga ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Jelas itu kesadaran tingkat tinggi. Maknanya, sekalipun nantinya Indonesia sudah sejahtera dan rakyatnya cerdas, tetap akan direpotkan manakala di negara lain masih ada penjajahan atau kekerasan politik atas rakyatnya.
Pengungsi Rohingya
Contoh terkini adalah masalah kedatangan para pengungsi, dan pencari suaka politik asal negara Myanmar, yang menyebar ke berbagai negara lain.
Di Bangladesh pengungsi sudah over capacity sehingga memunculkan agen penyelundup dan perdagangan manusia yang kini menjadikan Aceh, Indonesia sebagai lokasi transit untuk menuju negara lain.
Masalah makin rumit karena berkurangnya dukungan anggaran terhadap badan PBB yang mengurusi pengungsian, yaitu UNHCR dah IOM.
Baca juga: Amerika Serikat Janji Pengungsi Rohingya Bakal Jadi Prioritas Pada 2024: Welcome Corps at Work
Ini semua akibat perang Rusia - Ukraina dan tekanan penjajahan Israel atas Palestina yang menyedot dana besar negara-negara pendukung.
Akibatnya, negara-negara lain juga mulai memperketat pemberian kuota bagi para pengungsi dan pencari suaka politik sehingga gerak UNHCR untuk pemprosesan status pengungsi jadi sangat lama.
Akhirnya, negara-negara yang didatangi oleh para pengungsi, ikut terbebani masalah yang disebabkan pengungsi luar negeri.
Suara Anti-Rohingya
Dalam situasi dimana rakyat di negara para pengungsi berdatangan masih dilanda kesulitan ekonomi, dan keadaan politik yang tidak stabil.
Ditambah lagi dengan adanya beberapa politisi yang mencuri simpati atas viralitas, otomatis gelombang penolakan terhadap pengungsi Rohingya menjadi makin panas.
Jika ada orang atau pihak yang melihat pengungsi secara kemanusiaan langsung ditawarkan untuk menampung pengungsi di rumah atau tempatnya.
Bahkan, ada Calon Presiden yang sempat menyuarakan keadaan di Myanmar juga digiring agar tidak dipilih pada Pilpres 2024.
Termasuk kecamanan terhadap YARA yang memiliki pandangan untuk membantu pengungsi Rohingya.
Baca juga: Kisah Hilangnya Kapal Rohingya Bermuatan 200 Orang di Laut Andaman: Jeritan Tangis Minta Tolong
Bahkan, kini narasi komplen juga sudah dimainkan. Katanya, ketika dulu presiden menolak, rakyat Aceh justru menerima seraya melempar satire terhadap pemerintah.
Padahal, akar masalahnya adalah konflik politik di Myanmar yang menumbuhkan perlawanan sipil dan etnik terhadap junta militer yang sudah terlalu jauh merusak demokrasi yang diperjuangkan rakyat di Myanmar.
Pertanyaannya, mengapa akar masalah ini tidak disentuh? Apa kuatir akar masalah di Myanmar akan membangun persepsi tersendiri terhadap salah satu pasangan kandidat di Pilpres 2024?
Kunci penangganan pengungsi jelas pada repatriasi, yaitu pengembalian pengungsi ke negara asalnya.
Tentu saja dengan syarat bila kekerasan di Myanmar diakhiri dan UU yang diskriminatif dapat dibenahi.
Ini mengharuskan Junta Militer bersedia membangun dialog damai dengan seluruh kelompok perlawanan sipil dan kelompok perlawanan etnik, yang kini tumbuh subur di Myanmar, bukan hanya dengan kelompok perlawanan yang mewakili Rohingya atau Arakan.

Pengalaman Pengungsi Vietnam
Sesungguhnya, negara-negara ASEAN sudah punya pengalaman menanggani pengungsi Vietnam , tentu bersama UNHCR. Indonesia termasuk yang disinggahi manusia perahu pada 1975.
Merujuk pada Pasal 1 Statuta UNHCR, ada tiga opsi yang ditawarkan, yaitu pemulangan sukarela, penempatan di negara ketiga, dan integrasi lokal.
Dan, merujuk pada salah satu isi Bangkok Statement 21 Februari 1979 disepakati untuk menyediakan tempat penampungan sementara sebelum akhirnya dipulangkan atau dikirim ke negara ketiga.
Baca juga: Israel Belum Mencapai Kemenangan, Tamer Qarmout: Hamas Masih Kuat, Mitos Kalau Israel Kuasai Gaza
Sedangkan untuk pembiayaan pengungsi menjadi tanggungjawab UNHCR. Indonesia saat itu memberikan otorisasi untuk mendirikan pusat pemprosesan pengungsi di Pulau Galang.
Ada 170 ribu pengungsi hingga saat kamp itu ditutup pada tahun 1996.
Menteri Luar Negeri kala itu Muchtar Kusumatmadja di Manila (15 Februari 1979) bahkan ikut menekan Vietnam agar ambil bagian dalam menanggani masalah pengungsi.
Bahkan Amerika yang dipandang sebagai pihak yang ikut terlibat dalam perang ditekan untuk ikut aktif memukimkan para pengungsi sebab keperbihakan Amerika disebut menjadi pemicu terjadinya pengungsian.
Konsensus ASEAN
Dengan pengalaman tersebut, cukup untuk menjadi pemandu bagi pemerintah mengambil langkah cepat sehingga pengungsi tidak lagi dihadapkan dengan masyarakat.
Pada tingkat ASEAN, Lima Poin Kesepakatan KTT ASEAN ke-43 perlu ditindaklanjuti khususnya terkait poin ketiga:
Ditegaskan, KTT ASEAN mengecam keras peningkatan kekerasan di Myanmar yang telah menyebabkan penderitaan warga sipil di negara tersebut.
Pemimpin ASEAN kuga menegaskan kembali pentingnya Konsensus Lima Poin sebagai kerangka kerja utama ASEAN dalam mengatasi krisis di Myanmar.
Baca juga: Pengakuan Gadis Hindu yang Sekolah di Aceh, Temannya Baik Semua dan Mau Bergaul
Meskipun belum ada kemajuan yang signifikan, ASEAN berkomitmen untuk terus bekerja menuju solusi damai dan komprehensif.
Sebelumnya, pada KTT ASEAN ke-42, terkait konflik Myanmar Presiden RI Joko Widodo menyampaikan kesimpulan berikut:
Jokowi menegaskan bahwa pencederaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tidak bisa ditoleransi dan five point consensus memandatkan ASEAN harus engage dengan semua stakeholders.
“Inklusivitas harus dipegang kuat oleh ASEAN karena kredibilitas ASEAN sedang dipertaruhkan," kata Jokowi kala itu.
Lalu Jokowi mengatakan bahwa Indonesia siap berbicara dengan siapa pun termasuk dengan junta dan seluruh stakeholders di Myanmar untuk kepentingan kemanusiaan.
Solusi Tiga Opsi
YARA mendorong pihak UNHCR perlu mengulang lagi pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN sebagaimana yang pernah dilakukan di Bangkok pada 21 Februari 1979 yang menghasilkan Bangkok Statement.
UNHCR juga perlu mengulang semacam Konperensi Geneva tahun 1989 yang dihadiri 70 negara yang melahirkan Comprehensive Plan Action yang membangun saling komitmen antara negara-negara di Asia Tenggara, negara ketiga dan juga Vietnam.
Untuk mengakhiri pengungsi Rohingya yang terus membanjiri negara-negara di Asia Tenggara juga perlu komitmen, saling dukung, dan saling bantu semua pihak termasuk Myanmar.
Baca juga: Kasihan Lihat Etnis Rohingya, Fitrah Beri Makanan dan Softex,Warga Kasih Pakaian Untuk Bayi & Wanita
Masyarakat Aceh juga tidak bisa berlepas diri dari problem yang terjadi diberbagai belahan dunia.
Sebagai daerah yang pernah dilanda konflik kekerasan dan otoritarian kekuasaan Aceh juga pernah mengalami pengungsian internal bahkan hingga pengungsian ke luar negeri.
Bahkan, tidak kurang pula dari warga Aceh yang mencari suaka politik ke berbagai negara melalui dukungan UNHCR.

Di Malaysia, ratusan warga Aceh pernah punya pengalaman diburu oleh petugas untuk dipulangkan hingga menimbulkan tragedi Semenyih tahun 1998 yang menjatuhkan korban 24 tewas dan ratusan luka-luka.
Bahkan, ada di antara warga Aceh yang karena alasan politik menolak MoU Helsinki masih memilih menetap di luar negeri.
Bisa dibayangkan jika negara-negara menerapkan politik menutup diri terhadap orang asing, pasti akan menimbulkan pelanggaran HAM yang lebih parah lagi.
Baca juga: Panglima Laot Minta Nelayan Awasi Kapal Asing Rohingya Masuk ke Perairan Aceh Barat
Jika ada kesepakatan dan saling dukung maka tiga opsi bisa ditawarkan oleh UNHCR kepada pengungsi yaitu pemulangan sukarela, penempatan di negara ketiga, dan integrasi lokal.
Jika UNHCR tidak segera mengulangi pengalaman menanggani pengungsi Vietnam maka semua pihak akan mengalami beragam kesulitan karena sekarang semua orang dapat menyuarakan berbagai pandangan dan sikapnya melalui media sosial.
Ditengah mudahnya mengalir ragam hoax, maka penangganan pengungsi akan makin rumit yang akhirnya akan dipakai sebagai “senjata” politik.
Pada akhirnya, yang terjadi justru benturan antar warga, padahal aktor kunci penangganan pengungsi adalah penguasa yang berkerjasama dengan badan-badan PBB, seperti UNHCR dan IOM, tentu dengan dukungan kita semua.
*) PENULIS adalah Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum, USK dan Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.