Kupi Beungoh
Satu Sore Bersama Tun Mahathir Mohamad di Putrajaya
Tun Dr Mahathir Mohamad adalah nama yang sangat sinonim dengan Malaysia setelah dua kali menjadi Perdana Menteri di sana
Petugas tersebut langsung saja melihat daftar nama tamu-tamu yang dijadwalkan datang pada hari itu.
Kemudian setelah melihat nama kami ada di sana, dia pun segera mempersilahkan kami masuk dan meletakkan kenderaan di tempat yang sudah disediakan untuk para tamu.
Baca juga: UNHCR Mohon-mohon Pada Siapapun untuk Selamatkan Kapal Rohingya: Situasi yang Menyedihkan
Kami tiba di sana bersamaan dengan satu delegasi yang kalau dilihat dari cara berpakaian mereka sepertinya berasal dari Afghanistan.
Rupanya sesi pertemuan kami dengan Tun M adalah pasca pertemuan Tun M dengan delegasi ini.
Delegasi ini diminta terus menuju ruang tunggu di tingkat 2, sementara kami diminta menunggu di ruang lobi pada tingkat pertama terlebih dahulu.
Lobi yang berada di tingkat pertama Yayasan Kepimpinan Perdana (YKP) ini banyak memamerkan berbagai hadiah yang diberikan kepada Tun M selama ia menjabat sebagai Perdana Menteri.
Menurut Tun M, hadiah itu adalah milik publik karena dihadiahkan kepadanya dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri.
YKP ditubuhkan pada tahun 2003, berasal dari ide Matthias Chang, Sekretaris Politik Tun M ketika itu yang juga merupakan seorang pengacara.
YKP ini didirikan dengan tujuan untuk mendokumentasikan dan mendiseminasikan dokumen-dokumen penting legasi para Perdana Menteri Malaysia sebagai warisan intelektual yang dapat menjadi rujukan terutama sekali bagi para peminat kajian sejarah dan politik.
Kami pun memanfaatkan waktu yang ada itu untuk melihat semua koleksi yang dipamerkan di lobi mulai dari dokumen pribadi Tun M, bermacam hadiah untuk Tun M yang berasal dari dalam ataupun luar negeri, jubah kebesaran berbagai kampus yang memberikan anugerah doktor kehormat kepada Tun M dan beberapa informasi penting dalam perjalanan negara Malaysia.
Di tingkat pertama YKP sebenarnya ada satu perpustakaan yang menyimpan lebih banyak lagi dokumen penting dan bersejarah para Perdana Menteri Malaysia terdahulu.
Namun mengingat waktu yang tidak cukup, kami tidak sempat masuk ke dalam perpustakaan tersebut.
Pada jam 3:15 sore, Puan Ima Abu Bakar, meminta kami untuk menuju ke ruang tunggu di tingkat dua.
Sambil mengabarkan bahwa sesi kami dengan Tun M akan berlangsung sedikit terlambat dibandingkan dengan jadwal semula karena perbincangan antara Tun M dengan delegasi Kementerian Kesehatan Afghanistan masih berlangsung.
Rupanya delegasi yang tiba bersamaan dengan kami tadi adalah dari Afghanistan.
Tepat jam 3:45 sore, waktu yang kami tunggu-tunggu itupun sampai. Kami dipersilahkan untuk masuk ke kantor Tun M untuk bertemu dengan negarawan hebat itu.
Kami pun bergegas bergerak masuk ke kantor Tun M yang sudah berdiri di belakang meja kerjanya menanti kehadiran kami.
Baca juga: SBY dan Aceh: Memori Kolektif Tentang Damai dan Tsunami - Bagian III
Kami satu per satu menyalami Tun M yang menyambut kedatangan kami dengan senyum ramah.
Sambil menyalami kami Tun M kemudian mempersilahkan kami untuk duduk di kursi yang sudah disediakan di depan meja kerjanya, tempat Tun M biasa menyambut tamu-tamu yang menjumpainya.
Belum sempat kami duduk, Tun M sudah berkata ‘Tiga orang saja anak kah? Sekurang-kurangnya kena ada lima orang lah. Kan Aceh tak cukup ramai orang’.
Tun M terus membuka pembicaraan dengan nada bergurau untuk membuat kami sekeluarga merasa nyaman dalam sesi pertemuan itu.
Saya pun memberikan penjelasan kepada Tun kenapa jumlah anak-anak kami hanya tiga orang saja.
Tidak perlulah saya tulis di sini apa penjelasan yang kami berikan dan apa respons Tun M setelah itu.
Setelah kami semua duduk, barulah Tun M duduk di kursinya sambil terus tersenyum memandang ke arah kami.
Saya pun memperkenalkan anggota keluarga satu per satu mulai dari isteri, Marini Muchtar yang sekarang bekerja sebagai ekspatriat di salah satu perusahaan IT di negara jiran itu setelah merampungkan studi S1 dan S2 di Univeritas Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM).
Anak pertama Muhammad Aqsa Rayyan yang sedang duduk di kelas 2 SMP di salah satu sekolah swasta di kawasan Gombak.
Anak kedua Zafir Muda Kamil yang sedang duduk di kelas 2 SD di salah satu sekolah swasta juga di kawasan Gombak, dan anak ketiga Evan Nadiem Daud yang masih duduk di sekolah TK.
"Beda jauh antara satu abang dengan adik, kalau rapat sedikit dah boleh dapat lima lah," ujar Tun M sebaik saja saya mengakhiri perkenalan anggota keluarga kami.
Candaan yang Tun M berikan itu pun membuat pertemuan berjalan dalam suasana santai penuh dengan kekeluargaan.
Kemudian Tun M pun mempersilahkan kami untuk menanyakan apa jua pertanyaan yang ingin kami ajukan ataupun hal-hal lain yang ingin kami utarakan pada kesempatan kunjung hormat itu.
Soalan untuk Tun M
Pada pertemuan itu sedikitnya ada empat pertanyaan yang kami ajukan kepada Tun M.
Untuk pertanyaan pertama, isteri saya Marini mulai bertanya dengan mengajukan pertanyaan tentang apa yang membuat Tun M mengambil keputusan untuk menjadi pemimpin?
Aqsa Rayyan, anak kedua pula bertanya apa yang membuat Tun M mengambil keputusan terjun aktif dalam bidang politik.
Sementara itu, anak ketiga, Zafir Muda Kamil menanyakan apa yang menyebabkan Tun M mengambil jurusan kedokteran sewaktu kuliah dahulu dan apa momen terbaik sepanjang hidup Tun M?
Tun M lalu dengan bersemangat menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya satu per satu.
Menjawab pertanyaan pertama, Tun M mengatakan sebenarnya dia tidak pernah terpikir pun untuk menjadi seorang pemimpin mengingat ia berasal dari sebuah keluarga yang biasa saja.
Ayahnya, Mohamad bin Iskandar, adalah seorang guru, sedangkan ibunya, Wan Tempawan, adalah seorang ibu rumah tangga.
Ia kemudian melanjutkan bahwa setelah tamat sekolah menengah atas, Tun pernah bekerja sebagai seorang kerani biasa pada salah satu perusahaan di Alor Setar.
Baca juga: Tsunami Aceh 2004 - Tangisan Jamaah saat Shalat Jumat Perdana di Masjid Raya Baiturrahman
Sewaktu bekerja, Tun M mulai menyadari bahwa ternyata banyak sekali masalah yang dihadapi oleh orang Melayu saat itu dan masalah itu tidak dapat diselesaikan oleh kerani seperti dirinya.
Pada waktu itu Tun juga teringat ketika duduk di bangku sekolah, jumlah anak-anak Melayu yang sekolah di tempat yang sama dengannya adalah 30 orang saja.
Jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan jumlah murid secara keseluruhan.
Saat itu Tun M mulai terpikir bagaimana anak-anak Melayu bisa berjaya kalau kesempatan untuk mendapatkan pendidikan sangat terbatas.
Tun M berpikir bagaimana ia bisa melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan itu. Tun M bercerita bahawa ia senantiasa berusaha untuk melakukan sesuatu, mencari solusi untuk menyelesaikan masalah yang ada di hadapannya.
Akhirnya pada tahun 1974, Tun M mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan masalah yang sudah sekian lama diperjuangkannya itu saat dilantik oleh Tun Abdul Razak, Perdana Menteri ketika itu untuk menjadi Menteri Pendidikan.
Tun M lalu melanjutkan untuk menjawab pertanyaan kedua yang masih erat kaitannya dengan pertanyaan pertama.
Tun M bercerita bahwa suatu ketika dulu, di Alor Setar, pusat perekonomian Kedah Darul Aman, salah satu negara bagian di Malaysia, hanya terdapat 1,5 kedai yang perniagaannya dijalankan oleh orang Melayu.
Ketika itu Tun M sendiri berniaga kecil-kecilan di kaki lima menjual berbagai macam barang dagangan mulai dari minuman jahe, kue-kue Melayu, pisang dan berbagai buah-buahan yang lain, pisang goreng, kayu api, keranjang bambu, berbagai produk berbasis rotan, dan asam jawa.
“Pengalaman yang saya alami itu membuat saya senantiasa berfikir bagaimana caranya agar orang Melayu bisa meningkatkan jumlah perniagaan di Alor Setar, jangan hanya 1,5 kedai saja’’, lanjut Tun M.
Saat itu juga Tun M mulai terpikir bahwa untuk membantu orang Melayu lebih cepat mengembangkan perniagaan, mungkin intervensi kebijakan pemerintah adalah salah satu solusi yang tepat.
Sudah tentu, untuk dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah mau tidak mau, kita harus aktif dalam politik, Tun M melanjutkan penjelasannya.
Di sini kita bisa melihat benang merah dari jawaban yang diberikan oleh Tun M untuk pertanyaan pertama dan kedua di mana motivasi yang mendorongnya adalah untuk melakukan sesuatu, untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Saya teringat dalam satu sesi dialog dengan Tun M ketika ada yang menanyakan kepadanya definisi pemimpin, dengan lugas Tun M menjawab pemimpin adalah penyelesai masalah.
Rasanya definisi pemimpin yang diberikan oleh Tun M ini bisa menjadi pedoman bagi kita yang tidak lama lagi akan memilih Presiden, anggota DPR-RI, anggota DPD-RI, anggota DPRA, anggota DPRK, dan tentu saja setelah itu Gubernur Aceh dan para Bupati/Walikota di kabupaten/kota seluruh Aceh.
Kita tentu bisa melihat siapa saja di antara kandidat yang ikut kontestasi dalam Pemilu 2024 yang mampu menyelesaikan masalah dan siapa saja yang jangankan menyelesaikan masalah rakyat, dia sendiri sebenarnya bermasalah.
Menyangkut dengan jurusan kedokteran yang dipilihnya sewaktu kuliah dahulu, Tun M seraya tersenyum mengatakan bahwa sebenarnya kedokteran bukanlah jurusan yang diinginkannya.
Tun M sangat ingin kuliah di bidang hukum karena dia bercita-cita menjadi pengacara. Akan tetapi kesempatan untuk kuliah di bidang hukum tidak pernah didapatkannya.
Ketika kawan-kawannya yang lain sudah berangkat kuliah ke Inggris mendapatkan beasiswa dalam bidang pilihan mereka masing-masing, Tun M masih menunggu dengan sabar untuk mendapatkan beasiswa dalam bidang hukum.
Suatu hari, datang tawaran besasiswa kepadanya untuk kuliah di jurusan kedokteran pada Universitas Malaya yang ketika itu kampusnya masih di Singapura.
Tun M melanjutkan kisahnya bahwa dia mengambil peluang beasiswa itu walaupun bidang itu bukanlah bidang pilihannya.
Tun M lalu menceritakan bagaimana dia belajar dengan sungguh-sungguh untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang didapatkannya itu sehingga akhirnya dia berhasil menyelesaikan kuliah dan menjadi seorang dokter.
Mendengar cerita Tun M tersebut, pikiran saya melayang ke masa lalu sewaktu menanyakan kepada almarhum Tan Sri Sanusi Junid bagaimana caranya Tun M menyelesaikan masalah.
Tan Sri Sanusi memberitahukan bahwa cara Tun M menyelesaikan masalah adalah dengan melihat semua persoalan yang dihadapinya sesuai dengan disiplin keilmuan yang dia miliki sebagai seorang dokter.
Tun M berkata “cara merawat orang sakit sama dengan cara menyelesaikan suatu masalah dalam negara”.
“Apabila seorang pasien datang pada saya, saya terlebih dahulu melakukan diagnosa untuk mencari tahu apa penyakitnya. Setelah saya tahu penyakitnya, maka saya memilih obat yang sesuai untuknya. Jika ada pil, saya kasih pil. Jika yang ada obat cair, maka saya berikan obat cair itu. Jika ada obat cair yang manis, saya pilih yang manis, sebaliknya jika tidak ada yang manis, maka saya kasih obat cair yang pahit.
Jika penyakitnya perlu dioperasi, maka akan saya bius dahulu dan bila obat bius sudah bekerja, barulah saya melakukan operasi.
Tetapi, jika penyakit itu memerlukan operasi sedangkan obat bius tidak ada, maka jika perlu dan dalam keadaan darurat, saya akan ikat pasien itu erat-erat dan saya akan melakukan operasi walaupun pasien itu menangis dan berteriak kuat-kuat.”
“Jadi saya akan ambil peluang yang saya dapatkan itu dengan penuh tanggung jawab dan memberikan kemampuan yang terbaik atas peluang yang diberikan itu, walaupun sebenarnya peluang itu bukanlah peluang yang saya idam-idamkan”, Tun M memberikan penekanan dalam jawaban untuk pertanyaan yang diajukan oleh Zafir tadi.
Suara Tun M ini membuyarkan lamunan saya tentang momen bersama Tan Sri Sanusi Junid suatu ketika dahulu tatkala berdiskusi tentang pendekatan yang diambil oleh Tun M ketika menghadapi berbagai masalah selama Tan Sri Sanusi bersama-sama dengan Tun M baik sebagai menteri di berbagai portofolio ataupun menghadapi krisis di dalam UMNO.
“Alhamdulillah ilmu yang Tun dapatkan dalam bidang kedokteran banyak membantu dan bahkan menjadi sumber kekuatan Tun dalam menjalankan tugas sebagai Perdana Menteri kan”, saya menyela ucapan Tun M tadi.
Tun M hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan saya itu.
Berkaitan dengan sikap yang perlu untuk mengambil setiap peluang yang ada, Tun M memberikan contoh dua tokoh terkenal keturunan Aceh yang sangat berjaya dalam bidang mereka masing-masing.
Kedua-duanya menurut Tun M adalah orang yang bersedia mengambil peluang dengan sepenuh jiwa dan memberikan yang terbaik dalam bidang yang mereka tekuni sehingga mereka dianggap sebagai tolok ukur untuk bidang mereka masing-masing.
Tun M memberikan contoh keberhasilan yang diraih oleh Tan Sri Hanafiah Hussain dan Tan Sri P. Ramlee.
Bagi kita orang Aceh, nama P. Ramlee, seniman serba bisa ini tentu tidak perlu diperkenalkan lagi.
Tan Sri Hanafiah Hussain yang disebutkan oleh Tun M itu adalah orang Malaysia pertama yang menjadi akuntan professional (Chartered Accountant).
Tan Sri Hanafiah ini kemudian berjasa dalam memajukan berbagai institusi penting di Malaysia seperti Lembaga Tabung Haji (LTH), Lembaga Kemajuan Tanah Persekutuan (FELDA) dan Lembaga Pemasaran Pertanian Persekutuan (FAMA).
Selanjutnya Tun M pun menjawab pertanyaan berkaitan dengan momen terbaik sepanjang hidupnya dengan mengatakan bahawa momen itu adalah ketika pertama sekali dia dilantik sebagai Perdana Menteri pada 16 Juli 1981.
“Mengapa begitu”? Tun M bertanya. Lalu Tun M menjawab sendiri pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa sebagai seorang anak orang biasa, tidak pernah terpikir sedikitpun dia akan menjadi seorang Perdana Menteri Malaysia.
Apalagi sebelum ini, ketiga-tiga orang Perdana Menteri adalah keturunan bangsawan dari keluarga elite Melayu.
Mereka juga mendapatkan pendidikan di fakultas hukum di London dan berprofesi sebagai pengacara. Ketika itu, alumnus kedokteran dianggap tidak memiliki kualifikasi yang sesuai untuk menjadi Perdana Menteri.
Itulah sebabnya menjadi Perdana Menteri adalah momen yang terbaik sepanjang sejarah hidup saya karena ia mendobrak tradisi dan membuka jalan bagi anak-anak orang biasa di Malaysia untuk menjadi kepala pemerintahan, Tun Mahathir menutup jawabannya untuk pertanyaan keempat tadi.
Permintaan kepada Tun M
Lalu Tun bertanya kepada saya ‘Fahmi tidak ada apa-apa pertanyaan kah kali ini’. Saya menjawab “Tun, kali ini saya tidak ada apa-apa pertanyaan, hanya saja kali ini saya ada permintaan”, jawab saya.
“Saya ingin Tun membaca draf buku ini dan bersedia memberikan kehormatan besar dengan memberikan kata pengantar untuk buku ini’’ ujar saya sambil menyerahkan dua draf buku masing-masing berbahasa Indonesia dan Inggris kepada Tun M.
“Wah, banyak saya kena baca ini”, Tun M secara spontan berkata ketika melihat draf yang lumayan tebal itu.
Melihat Tun M yang mengucapkan kata tersebut sambil tersenyum, saya mengatakan bahwa sebenarnya tidak begitu tebal, akan tetapi saya cetak dalam ukuran yang agak besar untuk memudahkan Tun membacanya.
“Mudah-mudahan Tun bersedia meluangkan masa untuk membaca draf ini dan memberikan pertimbangan untuk menulis kata pengantar kelak’’ saya menyambung lagi permohonan sambil menyebutkan nama salah seorang tokoh yang sudah bersedia untuk turut memberikan kata pengantar untuk buku yang akan diterbitkan oleh salah satu penerbit di negara kita itu.
Mendengar hal itu saya melihat Tun M tersenyum. Saya tidak pasti apakah Tun tersenyum melihat kegigihan saya memohon kepadanya ataupun mendengar nama tokoh yang akan ikut menulis kata pengantar untuk buku yang merupakan kompilasi tulisan dari tahun 2009-2023.
Saya berharap Tun M di sela-sela kepadatan aktivitasnya itu akan meluangkan waktu untuk membaca draf buku tersebut dan memberikan kehormatan dengan menuliskan kata pengantar untuk kedua-dua atau minimal untuk salah satu dari kedua draf buku yang saya serahkan kepadanya sore itu.
Tak terasa alokasi waktu yang diberikan kepada kami sudah sampai ke penghujungnya. Saya pun mengucapkan terima kasih kepada Tun M atas kemurahan hatinya menerima kami sekeluarga.
Saya juga mengucapkan terima kasih bagi pihak rakyat Aceh atas bantuan yang Tun M berikan secara langsung atau tidak langsung bagi warga Aceh baik yang ada di Malaysia ataupun yang berada di Aceh di mana Tun M ikut memainkan peran aktif membantu Aceh pasca tsunami tahun 2004 lalu.
Sebagai ucapan terima kasih pada sore itu kami menyerahkan hadiah dua buku yang sudah kami sediakan jauh-jauh hari.
Buku pertama ‘Jokowi and The New Indonesia’ diserahkan oleh Zafir Muda Kamil, sedangkan buku kedua ‘Sejarah Mati di Kampung Kami’ diserahkan oleh Muhammad Aqsa Rayyan.
Sewaktu penyerahan buku ‘Sejarah Mati di Kampung Kami’, saya menyampaikan salam dari penulis buku itu, Nezar Patria, kepada Tun M.
Baca juga: Pj Gubernur Aceh Berdoa dan Zikir Bersama Masyarakat untuk Syuhada Tsunami Aceh
Lalu ketika Tun M menanyakan apakah saya kenal dengan penulisnya, saya menjawabnya dengan menganggukkan kepala.
Tun M lalu memberikan sedikit komentar bahwa tema buku ini bagus sekali untuk mengajak generasi muda kita membaca dan mempelajari sejarah.
Saya juga menyerahkan sepucuk surat kepada Tun M yang berisikan ucapan terima kasih dan beberapa butiran lain yang termasuk ke dalam agenda perbincangan dalam kunjung hormat itu.
Kebiasaan ini saya lakukan setelah mendapatkan masukan dari almarhum Tan Sri Sanusi Junid suatu ketika dahulu ketika saya bertanya bagaimana caranya supaya kita tidak lupa untuk menyampaikan poin-poin penting terutama sekali ketika bertemu dengan tokoh-tokoh penting.
Tan Sri Sanusi Junid mengatakan bahwa ia memiliki kebiasaan untuk terlebih dahulu menulis surat yang akan diserahkan kepada pihak yang ditemuinya itu sebaik saja pertemuan berakhir.
Masukan berharga dari Tan Sri Sanusi Junid itu masih saya aplikasikan sehingga ke hari ini.
Bukan Sekedar Memento
Sebelum sesi foto untuk mengabadikan pertemuan yang mengesankan bagi kami sekeluarga itu, kami meminta kesediaan Tun M memberikan tanda tangan untuk 5 buku karyanya yang akan menjadi ‘memento’ bagi kami.
Kelima buku itu adalah Capturing Hope, The Wit & Wisdom of Dr Mahathir Mohamad, The Malay Dilemma, The Malaysian Currency Crisis, dan Islam & The Muslim Ummah.
Setelah menandatangani kelima buku tersebut, Tun M lalu menekan bel memanggil stafnya untuk membantu mengambil foto mengabadikan momen yang bersejarah bagi kami sekeluarga.
Lalu kami sekeluarga pun mengabadikan momen bersama Tun M itu dalam beberapa keping gambar yang akan selalu memberikan kenangan manis bagi kami sekeluarga di setiap waktu ketika kami melihat kembali gambar-gambar tersebut.
Baca juga: Giliran Mahathir Ucap Selamat ke Anwar Ibrahim
Kunjung hormat pada sore itu merupakan sebuah kehormatan besar yang diberikan oleh Tun M kepada kami sekeluarga.
Kesempatan untuk berinteraksi langsung sambil menimba kedalaman ilmu dan keluasan pengalaman Tun M saya harapkan akan menjadi salah satu momen terbaik di sepanjang hidup anak-anak kami dan tentunya menjadi sumber inspirasi yang sangat bermakna bagi mereka.
Sudah tentu kehormatan yang kami dapatkan itu tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik di Malaysia yang membantu kami mendapatkan kesempatan melakukan kunjung hormat, ataupun rekan-rekan di Aceh yang sudah membantu untuk mendapatkan dan membawa salah satu buku dari Banda Aceh ke Kuala Lumpur untuk dihadiahkan kepada Tun M.
Catatan perjumpaan dengan Tun M ini saya persembahkan sebagai ucapan terima kasih saya yang sedalam-dalamnya kepada mereka semua.
*) PENULIS adalah Warga Aceh yang berdomisili di Gombak, Malaysia | Email: fahmi78@gmail.com
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.