Kupi Beungoh
Apam Pidie vs Ade Pidie Jaya, Mana Berdampak pada Pertumbuhan Ekonomi Rakyat?
Kadiskop UMKM dan Disdikbud Pidie perlu memikirkan ulang bagaimana kuliner apam bisa dikemas dalam bentuk barang jadi agar bisa masuk pasar dan laku d
Apa juga hingga koar- koar “Apam Pidie” sampai masuk ke Tiktok, jika endingnya hanya sebatas menghasilkan hiburan warisan masa lalu? Lebih baik mundur saja.
Tapi untung, terdapat satu pelaku usaha mikro yang mampu membaca peluang ini dengan membuka warung apam di pinggir jalan nasional di Lampoh Saka.
Sayangnya, usaha ini tidak didampingi agar menyediakan dalam bentuk “kemasan gaul” sebagai oleh-oleh gaya kota.
Maka itu, ada pendapat yang mengatakan, tot apam di Pidie dilakukan sebatas peringatan “khanduri tahunan” di bulan Rajab, untuk kumpul-kumpul sesama emak-emak agar suntuk dan kantuknya hilang, bahkan guru-guru di sekolah, atau sesama remaja di desa-desa, tanpa tujuan dan memikirkan bagaimana produksi apam ini dikemas agar menjadi oleh-oleh khas Pidie yang dicari wisatawan.
Jika alasan yang digunakan hanya sebatas untuk memuliakan bulan Rajab, lalu mengapa tidak dibuat khanduri sejenisnya di bulan suci Ramadhan yang jauh lebih mulia dari bulan-bulan lainnya?
Alasan-alasan demikian tidak bisa lagi digunakan di zaman sekarang ini dengan persaingan ekonomi yang kian ketat.
Maka wajar jika Pidie terus tertinggal jauh dari pulau- pulau yang ada di Aceh, seperti Pulau Simulue atau Sabang yang jauh lebih kecil.
Di Sabang, misalnya, saat wisatawan berkunjung ke sana, saat mereka pulang ke daerahnya, mereka membawa oleh-oleh “kue afarit” yang sudah dikemas dalam kotak berwarna kuning.
Demikian juga dengan pisang Sale di Lhoknibong, Aceh Timur, dan terasi di Langsa, dendang lebah di Aceh Tamiang dan Ambe-Ambekan di Aceh Singkil.
Maka sudah saatnya, Kadiskop UMKM dan Disdikbud Pidie perlu memikirkan ulang bagaimana kuliner apam bisa dikemas dalam bentuk barang jadi agar bisa masuk pasar dan laku dijual.
Artinya, tot apam tidak hanya sebatas ajang eforia di bulan Rajab.
Jika apam identik dengan budaya Pidie, maka sudah saatnya “wisata kuliner” berbasis lokal wisdom dijual ditepi-tepi jalan di Pidie untuk menggaet wisatawan atau pengguna jalan raya agar berhenti saat melewati daerah penghasil emping melinjo ini.
Baca juga: Festival Teut Apam, Upaya Merawat Keuneubah Indatu
Jangan seperti angin yang lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas apapun.
Kita berharap Cabup Pidie 2024 mampu memetakan potensi yang ada di Pidie untuk dijabarkan dalam program atau rencana aksi jika yang bersangkutan terpilih.
Bupati Pidie ke depan tidak hanya memikirkan protokoler di pendopo untuk dia dan istri/keluarga serta pengadaan mobil mewah yang baru.
Pemimipin mesti memikirkan cara cepat dan tepat untuk mengeluarkan rakyat dari dilema kemiskinan (ekonomi), kebodohan (pendidikan) dan kemampuan berobat ke dokter atau rumah sakit (kesehatan) agar mereka tidak bergantung pengobatan meurajah pada dukun. Semoga!
*) PENULIS adalah Muhammad Nur adalah dosen Universitas Serambi Mekkah (USM) Banda Aceh, email: noormoohammadm@gmail.com dan Hasan Basri M Nur adalah mahasiswa Universiti Utara Malaysia Negeri Kedah, email: hasanbasrimnur@gmail.com
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Refleksi 20 Tahun Damai Aceh: Menanti Peran Anak Syuhada Menjaga Damai Aceh Lewat Ketahanan Pangan |
![]() |
---|
Utang: Membangun Negeri atau Menyandera Masa Depan? |
![]() |
---|
Melihat Peluang dan Tantangan Potensi Migas Lepas Pantai Aceh |
![]() |
---|
Dua Dekade Damai, Rakyat Masih Menanti Keadilan Pengelolaan Sumber Daya Alam |
![]() |
---|
Kampung Haji Indonesia dan Wakaf Baitul Asyi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.