Kupi Beungoh

Framing Intoleran dan Syariat Islam yang Dijadikan “Tersangka” Rugikan Aceh

Berita-berita negatif yang hanya menampilkan sebagian kecil fenomena dan mengabaikan fakta lain yang sebenarnya (framing) terhadap Aceh

Editor: Amirullah
ist
Maysarah Hasani adalah Mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa Arab Pascasajana UIN Ar-Raniry dan guru Dayah Darul Ihsan Krueng Kale Aceh Besar 

Oleh: Maysarah Hasani Mus

Aceh kerap dipersepsikan sebagai wilayah yang intoleran dalam hubungan (relasi) umat beragama. Lebih dari itu, pemberlakuan Syariat Islam di Aceh kerap dituduh sebagai variabel intoleran dalam kehidupan sosial agama.

Berita-berita negatif yang hanya menampilkan sebagian kecil fenomena dan mengabaikan fakta lain yang sebenarnya (framing) terhadap Aceh telah merugikan banyak aspek kehidupan di Aceh.

Qanun Syariah Islam kerap dijadikan “tersangka” dalam hal tidak toleran. Para penuduh tak pernah membaca kandungan qanun Syariah Islam tapi dengan gampang menuduh qanun itu dipaksakan kepada penduduk bukan Islam.

Padahal qanun Syariat Islam tidak berlaku bagi penduduk bukan Islam. (Lihat penelitian Jamhir, Hukum Pidana di Provinsi Aceh; Analisis terhadap Dampak Penerapan Qanun Syari’at, Jurnal Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial, 2019, 4.2)

Pada sisi lain, Setara Institute dalam laporan tahunannya rajin menempatkan kota-kota di Aceh dalam “Daftar 10 Kota dengan Indeks Toleransi Paling Rendah”. Kota Banda Aceh, Sabang dan Lhokseumawe menjadi menjadi pelanggan tetap intoleran dalam list Setara Institute (Lihat www.kompas.com, edisi 2 Februari 2024, Depok, Banda Aceh, dan Padang Masuk daftar Kota Toleransi Terendah Versi Setara Institute, Apa Penyebabnya?)

Berita-berita negatif antara lain seperti tidak adanya kebebasan beragama bagi penduduk bukan Islam kerap dikampanyekan pihak tertentu yang tinggal di luar Aceh. Berita-berita negatif itu mambuat takut orang luar untuk datang ke Aceh.

Kerugian dalam 3 kategori

Dalam artikel ini, saya memilah kriteria orang luar itu dalam tiga kategori. Pertama, investor atau pemilik modal dalam bisnis. Kedua, turis atau wisatawan, baik dalam dan luar negeri. Ketiga, kaum pelajar.

Sudah menjadi rahasia umum, investor akan berpikir seribu kali untuk berinvestasi di daerah yang dituduh tidak toleran. Pemilik saham tak ingin investasi mereka terganggu gara-gara tidak adanya toleransi masyarakat di daerah tertentu.

Sementara turis atau wisatawan akan menghapus daerah tidak toleran dalam daftar tujuan wisata mereka. Demikian juga pelajar enggan menetap di daerah yang disebut tidak toleran.

Keengganan wisatawan, kaum pelajar dan investor untuk berkunjung, menetap dan berinvestasi di Aceh tentu akan merugikan perekonomian masyarakat Aceh. Mobilitas manusia, terutama lalu lalang turis, sejatinya membawa dampak ekonomi.

Contohnya, Negara Maldives yang 100 persen penduduknya menganut agama Islam menggantungkan pendapatan negara dari sektor pariwisata (Lihat: Fakta Unik Maldives, Negara Tujuan Wisata yang 100 persen Penduduknya Muslim, https://travel.okezone.com).

Fakta: Aceh Toleran

Aceh tidaklah seperti tuduhan yang beredar di luar. Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa hidup di Aceh dengan berbagai perbedaan agama sangatlah damai. Relasi sosial antarpenganut agama rukun. Toleransi yang kuat menjadikan banyak nonmuslim nyaman tinggal di Aceh.

Hal ini sesuai dengan fakta di lapangan, terutama di Banda Aceh. Di Peunayong bahkan terdapat penduduk mayoritas etnik Cina beragama Buddha yang sudah menetap ratusan tahun, sejak masa Kesultanan Aceh.

Tokoh Cina di Peunayong, Yuswar, bersaksi bahwa etnik Cina sangat aman dan diterima dengan ramah oleh penduduk Aceh sejak awal mula kedatangan hingga sekarang ini (Baca: Hasan Basri M Nur, Cina Itam Pidie di Mata Cina Peunayong, edisi 14 Mei 2021).

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved