Opini
Pramuka dan Otokritik Guru Omon-omon
Kurikulum, sebagaimana kita pahami bersama terdiri atas tiga dimensi, yaitu (1) intrakurikuler, (2) kokurikuler, dan (3) ekstrakurikuler. Pelaksanaan
Tidak menjadi ekstrakurikuler wajib bukan bermakna Pramuka dihapus dari satuan pendidikan. Statement ini menurut penulis yang membuat gaduh tanpa mengonfirmasi terlebih dahulu pada dokumen. Polemik yang dimulai dari gagalnya Dede Yusuf, anggota DPR RI Komisi X, memahami Permendikbud Kurikulum dengan menyebut menjadikan Pramuka bukan sebagai ekstrakurikuler wajib akan membuat organisasi ini dihapus dari satuan pendidikan.
Semakin gaduh ketika menuduh Permendikbud membuat ricuh. Padahal tidaklah demikian, keterampilan berpikir yang relatif belum paripurna pada tekstual membuat seorang seolah memiliki kewenangan untuk bicara apa saja. Terlebih seorang tersebut memiliki kuasa dan jabatan. Keadaan semakin diperkeruh oleh beberapa politisi yang menangkap diskusi tersebut dengan menuduh secara personal pada kegagalan Nadiem Makarim mengelola pendidikan sehingga membuat Pramuka dihapus.
Seperti pesan berantai yang semakin jauh semakin bias. Pesan itu ditangkap oleh guru tanpa mengonfirmasi pada sumber resmi, lalu membuat pernyataan yang semakin meresahkan. Guru kita memang belum terbangun kemampuan mengacu pada dokumen.
Lebih senang mengolah informasi yang sedang tren, mengikuti saja tanpa referensi. Kita, guru dan masyarakat luas memang lebih senang mengolah “omon-omon”. Pantas saja dunia pendidikan Indonesia masih darurat literasi numerasi termasuk pada penilaian Program International Students Assessment (PISA) tahun 2022.
Tentu saja konteksnya cukup berbeda antara dihapus dan tidak diwajibkan. Implikasinya juga tidak akan sama. Permendikbud Ristek No. 12 tahun 2024 tetap memasukkan Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Bahkan Pendidikan Pramuka disebut secara spesifik dibandingkan dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler lainnya yang tidak disebut, seperti PMR, Rohis, KIR dan sebagainya.
Pramuka dan P5
Kewajiban Pramuka di satuan pendidikan diatur dalam Permendikbud No. 63 tahun 2014. Namun sejak dulu, banyak sekolah tidak menjadikan Pramuka sebagai organisasi pembinaan siswa. Terbukti banyak sekolah di pelosok tidak memiliki nomor gugus depan. Selain karena minat siswa tidak bisa dipaksa, juga tidak tersedia sumber daya kepramukaan seperti pelatih.
Di sisi lain, sebagian siswa memiliki aktivitas tersendiri selepas pulang sekolah. Baik mencari nafkah membantu orang tua termasuk izin di sore hari. Sulit pada banyak sekolah menghidupkan aktivitas ekstrakurikuler. Maka tepatlah tidak menjadikan ekstrakurikuler apapun sebagai kewajiban termasuk Pramuka. Optimalkan pelaksanaan P5 yang dilakukan pagi hari secara terpadu mengikuti proses dimensi Profil Pelajar Pancasila. Bahkan nilai-nilai kepramukaan dapat diinsersi dalam P5. Termasuk pengembangan nilai kepramukaan dalam saka pengawasan obat dan makanan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.