Opini
Sinergisitas Ulama dan Umara
Pihak penguasa harus mendengar serta menjalankan arahan para ulama yang netral agar jalannya pemerintahan lurus serta kedamaian dalam masyarakat dapat
M Zubair SH MH, Anggota Ikakum Unsyiah dan pemerhati masalah bangsa
MELIHAT fenomena dalam pemerintahan di negara kita saat ini sudah waktunya semua untuk kembali kepada fitrah manusia sebagai ciptaan Allah swt yang suatu saat juga akan kembali kepada-Nya. Fenomena carut marut bangsa yang dipertontonkan elite-elite politik dewasa ini sudah seharusnya melibatkan ulama untuk menyelesaikan sehingga kehidupan masyarakat bisa tenang.
Sebagai bangsa yang beradab, peranan ulama dan umara dalam membangun sebuah negeri merupakan suatu kebutuhan mutlak agar tujuan untuk mencapai negara yang baldatun taibatun warabbul qhafur bisa tercapai.
Perpaduan pemikiran yang jernih dalam suatu ikatan yang kuat antara kedua skill tersebut akan menjadi tonggak yang paling kuat untuk membangun suatu bangsa, karena adanya dasar berpijak dalam mengembangkan suatu program untuk kemaslahatan umat yang jelas. Bila salah satu di antaranya tidak ada maka pembangunan itu akan pincang disebabkan adanya kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi. Hal ini tidak lain adalah dikarenakan kebutuhan manusia akan adanya pengetahuan dan kesenangan duniawi serta ukhrawi.
Oleh sebab itu, dalam hidup berbangsa khususnya untuk pengembangan kehidupan manusia kearah yang lebih baik sangat diperlukan adanya hubungan erat antara ulama dan umara. Kewajiban ulama untuk mendampingi penguasa dan penguasa (umara) berkewajiban untuk selalu berkonsultasi dengan ulama terutama dalam hal menjalankan pemerintahan agar tidak melenceng dari peraturan agama.
Hal ini sejalan dengan anjuran imam al-Ghazali agar pemangku kebijakan untuk selalu bermusyawarah dan mendengarkan nasihat para ulama dalam merealisasikan keadilan dan menjaga amanah kekuasaan yang dititipkan.
Khusus untuk Provinsi Aceh pelaksanaan hubungan kerja antara ulama dan umara telah dituangkan dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Hubungan Tata kerja Majelis Permusyawaratan Ulama dengan Eksekutif, Legislatif dan instansi lainnya sebagai upaya untuk mengatur tatanan kehidupan dan pemerintahan yang lebih sesuai dengan kehidupan masyarakat Aceh.
Mitra kerja
Dengan lahirnya qanun tersebut maka untuk Kabupaten/Kota dalam provinsi Aceh juga telah membuat qanun masing-masing untuk memperjelas bidang tugas dan wewenang masing-masing antara majelis permusyawaratan ulama Kabupaten/Kota dengan lembaga eksekutif, legislatif namun tetap dalam suatu bingkai ikatan yang kuat dengan tujuan untuk membangun daerah dan masyarakatnya yang adil dan makmur.
Dengan adanya qanun itu kita bisa melihat hubungan kerja Majelis Permusyawaratan Ulama yang tertuang dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 9 Tahun 2003 dengan lembaga legislatif dalam pembangunan daerah.
Adapun kaitan kerja yang sangat kuat bisa terlihat dari isi qanun tersebut yaitu dari segi kedudukannya yang sejajar dan mitra kerja antara Majelis Permusyawaratan Ulama yang merupakan tempat berkumpulnya para ulama untuk memikirkan daerah dengan lembaga legislatif dan eksekutif. Kesejajaran dalam bermitra tersebut telah tertuang dalam pasal 5 ayat (1), (2) Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 9 Tahun 2003.
Sementara pasal 4 ayat (2) menjelaskan, badan eksekutif wajib meminta masukan, pertimbangan dan saran dari Majelis Permusyawaratan Ulama dalam menjalankan kebijakan daerah. Selanjutnya pada Pasal 4 ayat 3 menegaskan, badan eksekutif wajib mendengar fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama dalam menjalankan kebijakan daerah, di bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan, tatanan hukum dan tatanan ekonomi yang islami.
Selain itu hubungan yang juga tidak kalah pentingnya antara Majelis Permusyawaratan Ulama dan legislatif yaitu Majelis Permusyawaratan Ulama merupakan lembaga yang menjalankan fungsi legislatif, penganggaran dan pengawasan kebijakan daerah terutama bidang syariat Islam yang didukung dengan adanya Komisi Syariat Islam di DPRA serta ditambah dengan adanya Mahkamah Syariat dan Dinas Syariat Islam di bagian eksekutif.
Sementara dalam hal badan legislatif menjalankan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan kebijakan daerah menyangkut dengan hukum Islam wajib meminta dan mempertimbangkan fatwa dan pertimbangan majelis Permusyawaratan Ulama (Pasal 6 ayat 2 Qanun No. 9 Tahun 2003). Sedangkan Pasal 6 ayat 1 menjelaskan apabila badan legislatif menjalankan fungsi legislasi yang menyangkut syariat Islam wajib meminta masukan, pertimbangan dan saran-saran dari Majelis Permusyawaratan Ulama.
Dalam membahas rancangan qanun bidang syariat Islam badan legislatif dapat menerima rancangan qanun tersebut yang diajukan Majelis Permusyawaratan Ulama sebagai rancangan Qanun hak inisiatif Anggota DPRA/DPRK (Pasal 7 Qanun Nomor 9 Tahun 2003).
Lebih jauh lagi dalam Pasal 8 Qanun tersebut juga menegaskan bahwa dalam rangka pembentukan komisi Independen dan komisi pengawasan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, badan legislatif wajib meminta pertimbangan gubernur, ini dimaksudkan untuk adanya koordinasi yang baik antara ulama dan umara dalam penentuan bersihnya pemilihan pimpinan daerah.
Banyak hal lain yang perlu adanya diskusi antara pihak legislatif, eksekutif dengan Majelis Permusyawaratan Ulama dalam membangun daerah guna tercipta daerah yang bermartabat dan masyarakat yang berbudi pekerti baik. Semua itu akan tercapai apabila pejabat yang duduk di lembaga masing-masing mau bekerja sama dalam suatu ikatan agama dan moral yang baik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.