Kupi Beungoh
Memahami Hutan Adat Mukim
Lalu apa itu hutan adat? Siapakah subyek hukum penguasa hutan adat mukim tersebut? Untuk memahaminya, berikut akan kita kupas secara singkat.
Norma pendek ini telah menimbulkan perdebatan yang cukup panjang, tafsiran beragam, para ahli juga berbeda pandangan ketika berbicara yang mana MHA yang dapat dibuktikan keberadaannya.
Bertahun-tahun dibahas. Apalagi, bila ada yang tidak menyadari bahwa bangsa kita ini adalah bangsa yang beragam, multikultural yang karenanya kita disatukan dalam satu Indonesia dengan slogan “bhinneka tunggal ika”, walau berbeda tetap satu jua. Sehingga tidak mungkin, sama latar belakang kultur antara satu daerah dengan daerah lain.
Apabila pemahaman ini tumbuh dalam alam pikir kita, sebetulnya mendudukkan mukim sebagai masyarakat hukum adat bukanlah perkara sulit. Apalagi, Aceh memiliki keistimewaan dan kekhususan tersendiri yang diakui oleh negara.
Namun, pengalaman kami sejak tahun 2022 mendampingi mukim di Aceh yang kemudian diakui sebagai MHA juga bukan perkara mudah.
Jauh sebelum tim Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat (PRHIA) Universitas Syiah Kuala masuk ke ranah ini, usaha membantu mukim untuk diakui sebagai MHA oleh sejumlah pihak belum membuahkan hasil. Debat, apakah mukim MHA cukup alot.
Atas berkat rahmat Allah, didukung oleh sejumlah pihak, diantara banyak peran lain dari berbagai pihak, hasil riset tim PRHIA yang kebetulan saya dipercayakan sebagai ketua tim waktu itu turut dijadikan baseline KLHK dalam menetapkan hutan adat mukim di Aceh.
Mukim sebagai MHA
Walaupun konstitusi negara kita mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan MHA beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat yang diatur dengan UU, namun dalam praktik tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Setidaknya, terdapat dua hal yang sakral dalam penetapan hutan adat, pertama kepastian subyek MHA, dan kedua jelas obyek MHAnya. Merujuk pada Permendagri Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan, dan Perlindungan MHA, maka Bupati/Walikota yang berwenang menetapkan terlebih dahulu pengakuan dan perlindungan MHA. Bupati/Walikota baru akan menetapkannya setelah mendapatkan rekomendasi dari panitia identifikasi MHA yang dibentuk oleh Bupati/Walikota.
Menurut Pasal 1 angka 1 Permendagri Nomor 52 tahun 2014, yang dimaksud dengan MHA sebagai subyek adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun.
Baca juga: Hukum Adat ‘Receptio A Contario’ Hukum Islam
Sementara wilayah adat (obyek) adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.
Singkatnya, pada saat identifikasi, panitia tersebut akan membuktikan subyek dan obyeknya melalui identifikasi sejarah MHAnya, wilayah adat, hukum Adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan kelembagaan/sistem pemerintahan adatnya.
Katakanlah, proses ini telah dilalui, artinya seperti pengakuan mukim sebagai MHA telah ditetapkan oleh Bupati/Walikota, apakah prosesnya sudah selesai? Belum.
Apabila penetapan hutan adat diajukan ke KLHK, maka akan ditelusuri atau diverifikasi kembali pemenuhan persyaratan kriteria sesuai dengan Penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2022, dan Permen LHK Nomor 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Yaitu: apakah a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (recht-gemeenschap); b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c) ada wilayah hukum adat yang jelas; d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e) apakah MHA masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Pembelajaran Mendalam 'deep learning', Dalam Pandangan Islam Dan Prakteknya |
![]() |
---|
Tarbiyah Jinsiyah: Bukan Hal Tabu, tapi Kebutuhan Mendesak bagi Anak-anak Kita |
![]() |
---|
Teumeunak, Media Sosial, dan Tong Sampah Kebencian |
![]() |
---|
Hari Anak Nasional: Selamatkan Anak dari Kecanduan Gadget! |
![]() |
---|
Hilirisasi Aceh: Dari Pemasok Mentah Menuju Daerah Bernilai Tambah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.