Kupi Beungoh
Teriakan Damai dari Gaza dan Tel Aviv: Harapan untuk Resolusi Konflik Palestina-Israel
Konflik Palestina dan Israel adalah salah satu konflik yang paling kompleks dan berkepanjangan di abad modern.
Konflik Palestina-Israel berakar pada akhir abad ke-19 dengan munculnya gerakan Zionisme yang bertujuan untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina, wilayah yang saat itu berada di bawah Kekaisaran Ottoman dan dihuni oleh mayoritas penduduk Arab Muslim dan Kristen (Pratama, dkk, 2023).
Turki ‘Utsmâni menguasai Tanah Palestina dalam waktu yang lama, yaitu sejak wilayah ini dan Timur Tengah umumnya berada di bawah kekuasaannya yang tidak kurang dalam tiga abad.
Palestina baru berpindah tangan dari Turki Usmani ke Imperialisme Inggris pada tahun 1917, akibat dari kekalahan Turki Usmani dalam perang (Misri, 2015).
Pada awal abad ke-20, dengan runtuhnya Kekaisaran Ottoman setelah Perang Dunia I, Inggris mengambil alih Palestina berdasarkan Mandat dari Liga Bangsa-Bangsa.
Pada tahun 1917, Deklarasi Balfour dikeluarkan oleh pemerintah Inggris, yang mendukung pendirian "tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi" di Palestina, meskipun dengan catatan bahwa hak-hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi di Palestina tidak boleh dilanggar (Wirajaya, 2020).
Lebih lanjut, pada tahun 1947, PBB mengusulkan pembagian Palestina menjadi dua negara, satu Yahudi dan satu Arab, dengan Yerusalem sebagai zona internasional.
Rencana ini diterima oleh pemimpin Zionis tetapi ditolak oleh negara-negara Arab dan penduduk Arab Palestina.
Pada 14 Mei 1948, Israel mendeklarasikan kemerdekaannya, yang segera diikuti oleh serangan dari negara-negara Arab.
Perang ini menghasilkan kemenangan bagi Israel dan menyebabkan ratusan ribu warga Arab Palestina menjadi pengungsi.
Sejak perang tahun 1948, telah terjadi beberapa perang besar antara Israel dan negara-negara Arab tetangganya, termasuk Perang Enam Hari pada tahun 1967 dan Perang Yom Kippur pada tahun 1973.
Dalam Perang Enam Hari, Israel merebut Tepi Barat, Jalur Gaza, Dataran Tinggi Golan, dan Semenanjung Sinai.
Meski Israel kemudian mengembalikan Sinai ke Mesir setelah Perjanjian Camp David 1978, wilayah lainnya tetap dalam status pendudukan yang dipertentangkan (Wirajaya, 2020).
Pada tahun 1993, Perjanjian Oslo ditandatangani antara Israel dan PLO (Organisasi Pembebasan Palestina), memberikan harapan baru untuk perdamaian.
Perjanjian ini menghasilkan pembentukan Otoritas Palestina dengan kekuasaan terbatas di beberapa bagian Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Namun, proses perdamaian ini gagal mencapai penyelesaian akhir, dan kekerasan terus berlanjut.
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.