Kupi Beungoh
Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029: Pendidikan Aceh Menuju PISA- OECF? - Bagian IX
Aceh punya bukti sejarah sendiri, bagaimana budaya pendidikan, tepatnya budaya pendidikan baru di mulai dan dikembangkan.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
Pengalaman prestasi hebat pemeringkatan PISA yang dicapai oleh negara-negara Jepang, Cina, Korea Selatan, Singapore, Vietnam, tentu saja menimbulkan kekaguman, sekaligus pertanyaan besar, karena mereka mampu menggunguli negara-negara maju seperti AS dań negara-negara Eropah Barat.
Temuan OECD (2016) mendeskripsikan keberhasilan negara-negara Asia itu, utamanya lebih didasari kepada pemilihan dan pelatihan guru, dorongan kerjasama guru, dan prioritas pada kwalitas guru, tidak pada ukuran kelas.
Ada penetapan target yang jelas dan pemberian otonomi pada guru di kelas untuk mencapainya.
Terlepas dari berbagai aspek managemen pendidikan, pelajaran menarik dari sejumlah negara Asia itu juga menerangkan bahwa gambaran negara kaya berpendidikan baik, dan negara tidak sangat kaya dan bahkan miskin berpendidikan buruk sudah ketinggalan zaman (OECD 2016).
Apa implikasinya untuk kita? Pembiayaan pendidikan dengan hanya mengandalkan pencurahan sumber daya saja tidak selamanya menjamin keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan yang berkwalitas.
Baca juga: Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029: Pendidikan Aceh Menuju PISA- OECF? - Bagian VIII
Lihat saja hanya DKI dan DIY dari puluhan propinsi yang penggunaan 20 persen atau lebih dari total anggaran pembangunan untuk pendidikan, yang mulai merangkak mendekati prestasi minimal PISA
Vietnam adalah sebuah contoh negara yang relatif tidak begitu luar biasa dibandingkan dengan negara-negara maju Eropah dań Amerika Utara-AS dan Kanada.
Namun demikian, karena Vietnam, mempunyai kerangka pembangunan pendidikan yang baik, berikut dengan kinerjanya yang luar biasa, negeri ini mampu melampaui prestasi PISA nya dari negara-negara itu.
Ada sebuah pelajaran penting tentang keberhasilan negara-negara Asia yang telah dan sedang dikumpulkan oleh para ahli tentang “loncatan” pendidikan yang dicapai, terutama jika dikaitkan dengan capaian anak-anak berpendidkan 15 tahun menggunakan standar PISA.
Capaian itu berjalan paralel dengan pertumbuman ekonomi dan kemajuan yang dicapainya dalam dua-tiga dekade terakhir.
Faktor budaya adalah salah satu variabel yang menjadi penyebab prestasi anak-anak di negara-negara Asia terpilih itu. Ada yang menyebutya dengan “budaya supit” yang dikaitkan dengan akar ajaran Konfusius yang telah berumur milenium.
Ada sejumlah kualitas dari budaya itu yang menempatkan posisi penting pendidikan di luar kendali sekolah. Ada peran besar keluarga, komunitas, otoritas, dan bahkan masyarakat sekalipun.
Baca juga: Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029 - VI: Gen Z dan Alpha, Literasi dan Numerasi Abad 21
Ini artinya, apa yang terjadi dengan prestasi PISA di negara-negara itu, dan mungkin termasuk di DKI dan DIY mencerminkan leih dari sekadar “kinerja” sistem pendidikan, guru, dan sekolah saja. Ada lingkungan makro yang lebih besar yang membuat energi pembangunan pendidikan terkonvergensi kepada prestasi.
Jika memang benar budaya menjadi variabel penting penjelas tentang capaian prestasi pendidikan, tentu saja ada yang bisa dikerjakan, bahkan kita kerjakan di Aceh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.