Kupi Beungoh

Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029 - XX: Masihkan Aceh Dalam Menu Utama Nasional?

Kondisi Aceh kini bahkan dalam banyak hal termasuk ke dalam kelompok kedaruratan provinsi baru lahir di Indonesia.

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

Judul tulisan ini sebenarnya bukanlah persis seperti yang tertulis. Akan tetapi karena jumlah kata dalam kalimat judul yang dibatasi redaksi, terpaksa judulnya di pendekkan. Judul yang sebenarnya adalah, “apakah Aceh masih ada dalam menu utama nasional ?”.

Maksud dari pertanyaan ini sangat sederhana. Sekalipun Indonesia mempunyai 38 provinsi, dimanakah posisi Aceh dari jumlah total propinsi itu?

Pertanyaan ini penting untuk diajukan, karena masa damai Aceh telah berlangusng 17 tahun. Damai itu juga disertai dengan penyerahan kewenangan dan keuangan yang belum pernah dirasakan sebelumnya, bahkan belum pernah ada di Inonesia.

Barangkali banyak diantara pemangku kepentingan di Aceh yang tak sadar bahwa kasus desentralisasi asimetris yang didapatkan Aceh sebagai harga perdamaian adalah sebuah capaian yang tidak biasa.

Kerja keras perunding gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah republik Indonesia dengan dukungan hebat dari berbagai pemangku kepenting global, seperti Uni Eropa, dan Amerika Serikat, telah mengantarkan kepada sebuah model resolusi konflik yang unik.

Tidak mengherankan, jika banyak negara -negara di dunia yang saat ini sedang mengalami konflik antara pemerintah pusat dan daerah, mendapatkan inspirasi bahkan model dari kasus perdamaian Aceh.

Di lingkup regional misalnya, pemerintah Thailand yang berurusan dengan pemberontakan melayu muslim di Thailand, terutama di provinsi Pattani, Songkla, Yala, dan Narathiwat, mendalami dengan sangat tekun model penyelesaian konflik Aceh.

Sama halnya dengan Thailand, negara mayoritas kristen katholik ASEAN, Filipina, juga mempelajari dengan seksama, dan bahkan sudah mulai mengadopsi model penyelesaian konflik Aceh untuk pemberontakan bangsa Moro di Pulau Mindanao, Filipina Selatan.

Baca juga: Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029 - XVII: Aceh -Jakarta,Muzakir, Van Heutz, Pusat Kekuasaan

Tidak hanya di ASEAN, di Afrika Utara, tepatnya negara Maroko juga melihat kasus Aceh sebagai sebuah alternatif .

Maroko itu bahkan mengundang staf pengajar Fakultas Hukum USK untuk mencari tahu tentang penyelesaian konflik Aceh dengan pemerintah pusat.

Mereka ingin mengadopsi kasus perdamaian Aceh dalam draft konsesi perdamaian yang ingin ditawarkan kepada pihak pemberontak Polisario di Sahara Barat.

Memang benar desentralisasi asymmetris cukup banyak dipraktekkan di kalangan negara sistem federal, begitu juga di sejumlah negara sistem kesatuan, seperti layaknya prinsip NKRI di Indonesia.

Memang benar antara 1950-2016 trend desentralisasi asimetris dibanyak negara meningkat dengan tajam. Paling kurang 38 negara, utamanya negara-negara Uni Eropah dan negara-negara maju OECD melakukan hal itu.

Tidak banyak negara kesatuan yang menerapkan prinsip disentralisasi asimetris. Spanyol, Senegal, Italia, Inggris Serbia, dan Cina adalah model negara-negara kesatuan yang memberikan desentralisasi asimetris kepada kawasan tertentu, baik propinsi, bahkan kota-kota tertentu, Desentralisasi asimetris itu seringkali hanya fokus kepada satu bidang tertentu saja, seperti ekonomi, politik, maupun pemerintahan (Dupré, Chatry, Moisio, 2020)

Apa yang unik dengan desentralisasi asimetris dalam kasus Aceh adalah, bahwa daerah ini mendapat perlakuan yang berbeda dibandingkan dengan berbagai propinsi lain di Indonesia.

Aceh berbeda dalam konteks agama dan budaya Aceh juga mendapat perlakuan berbeda dalam hal ekonomi, khususnya sumber daya alam.

Disamping dua hal diatas, Aceh juga mendapat kekhususan asimetris yang berbeda dari propinsi lain dalam hal politik, dan sampai dengan tingkat tertentu, dalam administrasi pemerintahan.

Lebih dari itu Aceh mendapat perlakuan khusus dalam hal pembagian keuangan dengan tambahan dana khusus setara dengan 2 persen dari pagu DAU nasional selama 15 tahun, dan 1 persen setara pagu DAU nasional selama lima tahun.

Baca juga: Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029 - XVII: Aceh -Jakarta,Muzakir, Van Heutz, Pusat Kekuasaan

Apa yang menjadi isue besar hari ini adalah, setelah pelaksanaan desentralisasi asimetris selama 17 tahun, keadaan Aceh tidak lebih baik dari sebelumnya.

Persoalan terbesar yang seringkali dibicarakan adalah puncak gunung es masalah besar Aceh yang dtercermin dalam situasi relatif “kemiskinan berkelanjutan.”

Hal lain yang tak kalah kurang penting adalah rendahnya bahkan buruknya kualitas tata kelola pemerintahan, dominannya sektor ekonomi pemerintah, dan bahkan image daerah yang sangat tidak bersahabat dengan arus deras global dan nasional.

Yang dimaksud adalah tentang keberagaman, dan toleransi. Satu hal kini juga yang sangat mengkuatirkan adalah sikap eksklusivitas keacehan yang “dipaksakan” yang cenderung sangat kaku, bahkan konservatif tak berdasar.

Banyak negara-negara donor yang memberikan cukup banyak perhatian dan bantuan kepada Aceh pada sat konflik, tsunami, dan perdamaian, mungkin “kecewa.”

Tidak hanya negara donor, banyak lembaga multi lateral global, bahkan NGO internasional yang pernah bekerja di Aceh, baik dalam masa konflik, maupun pasca tsunami dan damai Aceh 2007 prihatin.

Mereka sangat menyesali, ketidakmampuan Aceh memanfaatkan kewenangan dan dana pembangunan yang relatif cukup besar.

Uniknya, demikian rumit dan parahnya keadaan daerah, baik para elit, sampai tingkat tertentu termasuk sebagian rakyat kecil seakan tidak tahu, tidak mau tahu tentang keadaan yang sedang berjalan.

Para elit bahkan mungkin tahu tetapi bersikap tak mau tahu bahwa Aceh kini sudah masuk kedalam sebuah keadaan terparah dalam sejarah.

Alokasi sumber daya dan kemandirian khusus untuk mengurus diri sendiri yang di dapatkan tidak hanya melenceng, tetapi semakin memperburuk keadaan.

Baca juga: Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029: Aceh - Jakarta, dan Empat “Provinsi Pemberontak” - Bagian XI

Kondisi Aceh kini bahkan dalam banyak hal termasuk ke dalam kelompok kedaruratan provinsi baru lahir di Indonesia.

Harus diakui dari seluruh episode damai sepotong-sepotong yang pernah dilalui Aceh selama 68 tahun semenjak kemerdekaan RI, masa 17 tahun ini adalah yang terburuk hampir dalam semua aspek.

Tidak berlebihan untuk mengatakan jangan-jangan Aceh telah masuk kedalam sebuah “perangkap ketertinggalan berkelanjutan” yang dibuat sendiri oleh Aceh.

Bagaimanakah pemerintah pusat melihat Aceh hari ini? Kecuali prihatin, hampir tak ada alasan Aceh mendapat perhatian dan penglihatan, untuk tidak manambahkan kata “khusus” dari pemerintah pusat.

Apalagi topik yang bisa dibicarakan tentang Aceh? Kelompok propinsi dengan kemajuan industri, pertanian, dan jasa, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dan Bali ? Tentu saja tak layak Aceh masuk.

Memasukkan Aceh kelompok propinsi kaya sumber daya alam dan mempunyai kemajuan pembangunan yang berarti seperti Riau dan Kalimantan Timur juga salah alamat.

Jika salah satu ukuran penting upaya penyaiapan SDM adalah pendidikan, Aceh tertinggal jauh, bahkan berada dibawah ranking propinsi Bengkulu dan Papua Barat.

Status penerapan syariat Islam yang diterapkan tak membuat setiap tahun Aceh tidak termasuk ke dalam 5 besar provinsi degan kasus korupsi terbanyak.

Demikian juga laporan terbaru yang diterbitkan oleh katadata (2024) dan terkonfirmasi dengan data kantor Mahkamah Syariah Aceh, menunjukkan Aceh adalah pemegang rekor tertinggi kasus pemerkosaan.

Jika penggunaan narkoba dijadikan sebagai salah satu indikator akhlak dan moral, maka hampir tak ada kasus besar narkoba nasional yang pelaku utama dan asal barang itu dari Aceh.

Jika dilihat dari jumlah kasus pengguna narkoba terbanyak , maka Aceh tetap unggul,menempati urutan ke 4 nasional.

Suatu hal sangat memprihatinkan adalah berita dari beberapa sumber NGO anti korupsi kredibel.

Jika saja hari ini dilakukan audit forensik terhadap berbagai instansi pemerintah Aceh, akan ada berita besar yang sangat tidak menyenangkan dan bahkan sangat memalukan.

Baca juga: Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029 : Aceh-Jakarta, Paradigma Aceh Pungo, Jawa Sopan - Bagian XX

Dipastikan, penyalahgunaan terbesar dan terparah akan ditemui pada lembaga-lembaga yang berurusan dengan penerapan dan penguatan syariat islam

Realitas Aceh hari ini yang mesti diakui, otonomi khusus yang gagal dan bahkan dengan sangat sadar telah digagalkan.

Tambahan yang juga sangat utama, substansi syariat Islam yang sama sekali nyaris telah menjadi “aib nasional”. Apalagi sesuatu yang melekat pada Aceh hari ini yang dapat dibanggakan?

Aceh memang pernah menjadi menu utama nasional, terutama setelah reformasi, dan menemukan momentumnya ketika tsunami pada 2004, an tercapainya perdamaian pada 2005.

Aceh bahkan menjadi bagian dari menu utama nasional praktis selama pemerintahan SBY-JK , SBY-Budiono. Aceh mulai stagnan dan bahkan menurun ketika Jokowi berkuasa selama dua periode.

Jika semua realitas itu kemudian terbaca dan dibaca dengan baik, pantaskah kita bertanya “apakah Aceh masih ada dalam menu utama nasional hari ini?”.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar USK

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved