Kupi Beungoh

Qismullah Yusuf : Elegi, Ode, Doa, dan Panglima Itam - Bagian Tiga

Ada sebuah barang biasa dalam perang Aceh yang diwariskan oleh Panglima itam kepada kakek buyut Qismullah yang disimpan.

Editor: Firdha Ustin
For Serambinews
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Ahmad Humam Hamid *)

Dr. Baidowi agak sedikit gundah, karena hampir tak ada data tertulis yang tersedia untuk sejarah itu. Yang ada hanya sejumlah penuturan tentang keberadaan dan sepak terjang Panglima Itam yang tersebar di beberapa tempat di Pidie, Lhoksukon, dan Tamiang. Ketika ia menyebut nama bang Qis sebagai penulis saya secara reflektif merespon, “ you got it”- itu sudah benar.

Saya ingat sekali beberapa kali bang Qis menyebut dan menceritakan kepada saya tentang keberadaan panglima Itam. Ia mendapatkan kisah itu dari ibu ayahnya, yang sudah renta.

Sang nenek yang renta itu hidup pada masa tiga dekade akhir abad 19 sempat melihat Panglima Itam, karena ayahnya adalah seorang anggota lasykar Panglima Itam.

Tak mengherankan pada saat-saat tertentu Panglima Itam bertandang ke rumah kakek buyut Qismullah.

Ada sebuah barang biasa dalam perang Aceh yang diwariskan oleh Panglima itam kepada kakek buyut Qismullah yang disimpan.

Kemudian benda itu diwariskan kepada ibu ayahnya. Barang itu adalah pedang sang Panglima. Saya tak pernah melihat pedang itu, dan menurut cerita Dr. Baidowi, pedang itu telah dilihatnya, dan nampak klasik bentuknya.

Ketika Dr. Baidowi menyampaikan kerisauannya, saya menepis kekuatiran itu. Berlagak sok ahli sejarah saya menyampaikan kepada Baidowi, penulisan sejarah Aceh modern pada dasarnya bersumber pada dua.

Pertama, catatan para pengunjung seperti Laksamana Perancis, Augustin de Beaulieu (1589–1637),Frederick de Houtman (1603) Pedagang dan penjelajah Belanda, dan Admiral Kerajaan Inggris Sir James Lancaster,- utusan khusus ratu Elizabeth I kepada Sultan Al Mukamil , dan cukup banyak catatan pengunjung lain ke Aceh.

Sumber kedua adalah sejarah versi tutur “oral history” yang ditulis dalam bentuk hikayat, seperti Hikayat Aceh, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Malem Dagang, Adat Aceh dan berbagai hikayat lain yang menjadi bahan awal yang kemudian dikaitkan dengan berbagai fakta lain dari berbagai sumber lainnya.

Pengakuan tentang hikayat sebagai salah satu sumber utama sejarah Aceh juga bukan barang baru.

Bukankah Husein Jayadingrat, Denys Lombard, Anthony Reid, dan Sheerbanu Khan juga menggunakan hikayat sebagai salah satu sumber tulisan mereka.

Bukankah sejarawan Takeshi Ito dari Jepang, dan cukup banyak peneliti sejarah kontempoer Aceh lain yang juga menggunakan berbagai koleksi hikayat untuk menulis sejarah Aceh?

Apa yang salah dengan Qismullah jika dia menggunakan metode yang sama, dengan menggunakan metode sejarah tutur- “oral history” untuk menulis tentang Panglima Itam?

Bukankah sebagian cerita itu seperti itu dapat dikonfirmasi dengan Dutch Register tentang Aceh. Bukankah semuanya dapat diuji lagi dari berbagai sumber lain dari gudang informasi Aceh di KITLV, di Leiden, negeri Belanda.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved