Citizen Reporter
Fenomena Orang Dalam
Sepanjang kiprahnya, setidaknya ada dua tema lagu yang akan dinyanyikan para ordal menyertai
Oleh: Zulkifli Abdy, politisi, melaporkan dari Banda Aceh
Ada fenomena di dalam dialektika sosial kita akhir-akhir ini yang kerap menjadi "buah bibir". Gejala itu kita sebut saja sebagai fenomena "orang dalam", yang muncul dalam berbagai bentuk. Ada yang objektif, ada pula yang konotatif. Tergantung sudut pandang orang yang melihatnya. Uniknya, orang dalam (ordal) yang dimaksud justru berada di luar lembaga atau sistem. Baiklah, selanjutnya orang dalam ini kita sebut saja sebagai ordal.
Menjadi ordal dalam pandangan yang objektif tentu boleh jadi membanggakan, tetapi ordal dalam perspektif yang konotatif tidak jarang membuat seseorang menjadi canggung atau bahkan risih. Betapa tidak, ordal yang objektif itu biasanya karena yang bersangkutan memang benar-benar dekat secara kekerabatan dengan seorang tokoh, politisi, pejabat, atau tuan rumah dalam suatu perhelatan.
Sebaliknya, ordal dalam pandangan konotatif, biasanya ditabalkan pada seseorang hanya sebagai sindiran belaka. Setidaknya untuk membuat yang bersangkutan merasa ada kebanggaan "kecil" di dalam hatinya karena keberadaannya dianggap lebih "penting" daripada orang lain.
Baca juga: Pembantaian di Rafah, Israel Tewaskan 12 Orang dalam Satu Serangan Udara, Termasuk Anak dan Wanita
Akan tetapi, mungkin itu tidak terlalu penting, yang ingin saya bahas justru esensi dari ordal itu sendiri.
Uniknya lagi, orang kerap dipersepsikan sebagai ordal tersebut, secara kelembagaan atau sistemik sesungguhnya adalah orang luar juga.
Karena yang bersangkutan tidak sedang berada katakanlah dalam suatu jabatan, juga tidak pula berada dalam sistem.
Dia disebut sebagai ordal hanya semata-mata karena kedekatannya secara personal dengan tokoh penting, sebutlah politisi, pejabat, atau orang yang benar-benar ada di dalam sistem lembaga tertentu.
Sebenarnya, ada enak atau bangganya juga disebut sebagai ordal. Namun, ada pula tidak enaknya, dan yang hendak saya bahas justru aspek tidak enaknya itu, karena kalau enaknya mungkin tidak perlu kita bahas lagi.
Bagian tidak enaknya sebagai ordal, katakanlah pada suatu hajatan yang kebetulan diselenggarakan oleh orang penting atau lembaga tertentu yang punya kedekatan secara empiris dengan ordal tersebut. Misalnya, ketika hampir bersamaan serombongan tamu tiba-tiba datang dan kursi yang tersedia tidak mencukupi.
Dalam kondisi seperti itu, biasanya Ordal dianggap paling bertanggungjawab untuk segera mengatasi keadaan "genting" itu agar tamu tidak kecewa.
Demikian pula ketika makanan yang tersedia di meja prasmanan tidak mencukupi atau menunya tidak lengkap, tanpa sungkan orang akan melirik seraya mengarahkan pandangannya pada ordal.
Begitu menariknya fenomena ordal akhir-akhir ini, sampai-sampai ada anggapan bahwa memiliki akses terhadap ordal sangat penting. Apalagi bagi orang yang relatif tidak memiliki cukup "jaringan" dalam pergaulan sehari-harinya, walaupun yang bersangkutan orang kaya baru (OKB) sekalipun, yang bersangkutan tentu sangat memerlukan ordal untuk dapat benar-benar masuk ke dalam.
Sehingga, tidak berlebihan cara yang paling sederhana untuk mengakses bagian dalam atau 'inner cyrcle' adalah dengan mendekati ordal.
Tidak berlebihan pula bagi orang tertentu, sosok yang disebut sebagai ordal itu di awal pendekatannya dianggap lebih penting daripada orang dalam yang sesungguhnya. Karena, itulah satu-satunya pintu baginya untuk dapat masuk ke dalam.
Saat Penulis Sastra Wanita 5 Negara Berhimpun di Melaka |
![]() |
---|
Saat Mahasiswi UIN Ar-Raniry Jadi Sukarelawan Literasi untuk Anak Singapura |
![]() |
---|
IKOeD Peusijuek Alumni Leting Intelegencia Generation 2025 di Pantai Lampu’uk |
![]() |
---|
Dinamika Spiritual dan Teknis dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji Modern |
![]() |
---|
Dari Aceh Menuju Makkah Ibadah Haji yang Mengajarkan Arti Keluarga |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.