Breaking News

Opini

Awal Mula Syariat Islam di Aceh

Artinya mau tidak mau harus mau bagi setiap muslim untuk melaksanakan dan menjalankan syariat Islam dalam hidup dan kehidupannya secara kaffah. Dan wa

Editor: Ansari Hasyim
IST
Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan MCL MA 


Oleh: Prof Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan MCL MA, Ketua Majelis Syura Dewan Dakwah Aceh dan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry

DALAM rangka menyambut satu Muharram 1446 H yang pada tanggal tersebut juga diisytiharkan berlakunya syariat Islam di Aceh sekitar 23 tahun yang lalu, maka perlu kita beritahu kembali kepada segenap muslim Aceh bagaimana awal terjadinya implementasi syariah di Bumi Serambi Mekkah ini.

Tidak dapat dipungkiri kalau berlakunya syariat Islam di Aceh pada 1 Muharram 1423 H/15 Maret 2002 tersebut terkait dengan perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang pada awal gerakannya mengangkat isu negara Islam dan syariat Islam untuk Aceh sehingga para ulama dan tokoh masyarakat Aceh bergabung dengan pergerakan tersebut.

Syariat Islam dalam Bahasa Arab disebut syariah yang makna terminologinya adalah jalan sempit menuju sumber mata air. Secara terminologi bermakna undang-undang dan peraturan Allah yang diturunkan kepada umat manusia melalui Rasulullah saw untuk diamalkan dan dijalankan sepenuhnya oleh hamba-Nya sebagai satu kewajiban yang apabila dikerjakan berpahala dan bila ditinggalkan berdosa.

Artinya mau tidak mau harus mau bagi setiap muslim untuk melaksanakan dan menjalankan syariat Islam dalam hidup dan kehidupannya secara kaffah. Dan wajib pula bagi para pemimpin, penguasa dan pembesar muslim untuk memimpin implementasi syariat Islam tersebut terhadap rakyat dan bawahannya.

Baca juga: Pelaksanaan Hiburan Dinilai tak Sesuai Syariat Islam, Begini Tanggapan Akademisi IAIN Lhokseumawe

Karena di situlah terletak konsekuensi logis seorang pemimpin dalam Islam yang nanti harus mempertanggungjawabkan hasil kepemimpinannya di dunia di hadapan Allah swt. Lagipula kalau para pemimpin umat Islam mau dan serius menjalankan syariat Islam dipastikan hukum Allah tersebut tetap jalan dalam wilayah kepemimpinannya.

Sebaliknya, ketika para penguasa negara abai dan lalai tidak menjalankan syariat Islam maka rakyat senegeri tidak akan menjalankannya pula. Di situlah nilai komitmen dan istiqamah seorang pemimpin muslim diuji ketika ia berkuasa bukan berkoar-koar setelah tidak punya kuasa.

Masyarakat Aceh yang terkenal fanatik dalam menjalankan syariat Islam, semenjak sebelum lahir negara Indonesia sudah menjalankan syariat Islam dengan bebas, sebebas-bebasnya sehingga Aceh menduduki salah satu negara super power negara Islam dunia, bersama Kerajaan Islam Turki Utsmaniyah yang berpusat di Istanbul Asia Minor, Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara, Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah, Kerajaan Islam Akra di anak benua India dan Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.

Pengaruh konflik

Konflik Aceh dengan Indonesia dalam kasus Aceh Merdeka (AM) atau Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bermula 4 Desember 1976 dan berakhir pada masa terjadinya Perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005, telah menciptakan sejarah baru bagi negeri Aceh. Manakala para pejuang kemerdekaan Aceh dengan sungguh-sungguh membela dan memperjuangkan kemerdekaan Aceh dari aneksasi Indonesia walau kemudian berakhir dengan sebuah perdamaian dan cita-cita para pejuang terkuburkan.

Selama Aceh berkonflik dengan Indonesia dalam dua zaman (DI/TII dan GAM), Aceh telah dilumpuhkan oleh pemerintah Indonesia dalam berbagai dimensi hidup dan kehidupan bangsa Islam di Aceh. Kalau dirunut secara bersahaja, marwah Aceh diporak-porandakan, adat istiadat Aceh dirusak, ukhuwah Aceh dihancurkan, ekonomi Aceh dirampas, pendidikan Aceh diabaikan, politik Aceh dirunyamkan, harta bangsa Aceh dirampas, perempuan Aceh diperkosa, muslim Aceh dibantai, Islam Aceh diinjak-injak, secara keseluruhan peradaban Aceh diserang sampai ke sarangnya.

Kondisi semisal itu terjadi dalam dua kali konflik di Aceh baik dalam masa perjuangan Darul Islam/Tentara Islam (DI/TII) yang dipimpin Tgk Muhammad Daud Beureueh maupun dalam kasus GAM yang dipimpin Tengku Hasan Tiro. Semua itu sangat berpengaruh terhadap fisik, psikis dan mental umat Islam di Aceh sehingga masyarakat Aceh menjadi apatis dalam kehidupan pada masa-masa tersebut. Situasi tersebut muncul dikarenakan masyarakat tidak boleh keluar rumah secara bebas sebagaimana waktu seperti di luar masa konflik.

Efek dari itulah muncul rasa apatis, ambigu dan pasrah karena takut terkena peluru tajam sehingga masjid dan meunasah banyak kosong, lembaga pendidikan banyak tutup, kedai toko banyak bangkrut, kilang padi banyak dijarah dan seumpamanya. Satu hal yang paling tajam membawa efek negatif adalah dikotomi kehidupan antara satu dengan lain komunitas masyarakat oleh para pemanggul senjata.

Sehingga sampai hari ini masih berkesan hidup masyarakat Aceh menjadi dikhotomis yang sangat sulit untuk disatukan kembali seperti sediakala. Yang lebih kita sayangkan lagi adalah para pemimpin Aceh tidak lagi berkiblat kepada adat budaya dan peradaban Aceh melainkan semuanya berkiblat ke ibukota Jakarta untuk mempertahankan dan menyambung jabatan yang ada.

Semua itu menjadi catatan sejarah betapa pengaruh konflik Aceh telah menghancurkan sisi-sisi dan dimensi syariat Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh yang melekat dengan Islam dan syariat Islam. Hari ini belum nampak pihak-pihak yang berhati ikhlas yang mau memperbaiki suasana negatif tersebut ke arah positif karena kehidupan masyarakat Aceh sudah sangat terinfiltrasi dengan peradaban racikan Indonesia.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved