KUPI BEUNGOH

Birahi Teungku dan Politik Panglima Tibang

Di lisan teungku-teungku ini terdengar asma-asma Allah, gaya berbicaranya lemah lembut seakan pelita di tengah kegelapan, akan tetapi...

|
Editor: Yocerizal
Serambinews.com
Rizki Ardial, Koordinator Lingkar Publik Strategis. 

Pertikaian elite politik sering berujung pada terhambatnya pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Hal ini terjadi karena perpolitikan di Aceh masih didominasi birahi teungku-teungku dalam merebut kekuasaan.

Baca juga: Makin Segar, Irwandi Yusuf Selalu Tampil Modis dan Kekinian Bersama Sang Istri Muda Steffy Burase 

Baca juga: Melihat Aktivitas Darwati Pasca Cerai dengan Irwandi Yusuf

Lihat saja di awal perdamaian, perpolitikan Aceh terbelah antar sesama teungku dari kombatan GAM, sehingga pembangunan Aceh tidak dapat dijalankan dengan maksimal.

Sekarang ini, saat para teungku dari kalangan eks kombatan GAM telah belajar dari pengalaman dan mereka sedang mempersatukan diri untuk menghadapi Pilgub yang akan datang, perpecahan kembali terjadi antara teungku dari kalangan GAM dengan teungku dari kalangan sebagian dayah.

Salah satu alasannya adalah mereka ingin berpartisipasi aktif dalam konstestasi politik. Tentu hal ini merupakan sebuah harapan dari undang-undang. Akan tetapi, dalam menentukan arah politik, mereka kembali tidak sejalan dan berujung pada pembelahan masyarakat.

Mungkin Ini pula yang dimaksud birahi kekuasaan yang sedang berkamuflase. Jika ini dibiarkan terus terjadi, maka tidak mustahil ke depan akan muncul istilah 'Panglima Tibang' baru di Aceh.

Sungguh, inilah yang menjadi kekhawatiran kita bersama. Di saat klaim Panglima Tibang disematkan kepada siapa saja yang tidak sejalan dengan birahi politiknya, maka tidak mustahil konflik horizontal akan kembali terjadi di Aceh antara para pengikut fanatik sesama bangsa Aceh, sebagaimana terjadinya Perang Cumbok (Desember 1945-Januari 1946).

Istilah Panglima Tibang masih sangat berbekas di kepala rakyat Aceh. Sebuah istilah yang diceritakan secara turun-temurun tentang kisah pengkhianatan seorang panglima Aceh yang memilih bersekongkol dengan Belanda demi memperoleh jabatan dan kekuasaan. 

Baca juga: VIDEO VIRAL Rara Pawang Hujan Beraksi Jelang PON XXI Aceh Sumut, Hujan Lebat Turun usai Ritual

Baca juga: VIDEO - Televisi Meledak, Satu Unit Rumah di Lhokseumawe Terbakar 

Dan kemudian Panglima Tibang menjadi sebuah istilah pengkhianatan dan kemunafikan dalam budaya masyarakat Aceh.

Sama halnya dengan apa yang sedang terjadi di Aceh sekarang ini, hanya saja dengan wujud yang berbeda. 

Di lisan teungku-teungku ini terdengar asma-asma Allah, gaya berbicaranya lemah lembut seakan pelita di tengah kegelapan, seakan-akan hanya dirinyalah yang mampu membangun Aceh dan mensejahterakan rakyat.

Akan tetapi dari propaganda politik yang dilakukan, terlihat jelas birahi politik dirinya untuk merebut kekuasaan dengan memecah belah persatuan dan kesatuan umat.

Tidak beda dengan Panglima Tibang. Keahlian sulapnya mampu menghipnotis Sultan Aceh dan setelah ia berhasil masuk istana dan saat kepercayaan diberikan kepadanya, ia menjadi 'gunting' yang menggunting dalam lipatan. Wallahu’alam

*) PENULIS adalah Koordinator Lingkar Publik Strategis. (email:  rizkiardial10@gmail.com)

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved