KUPI BEUNGOH
Damai Aceh dalam Transisi: Pentingnya Mempraktikkan Demokrasi dengan Benar dalam Pilgub
Demokrasi seharusnya memberikan ruang bagi pilihan yang beragam, bukan hanya terbatas pada dua opsi yang mungkin tidak memuaskan.
Oleh: Zulhadi *)
DAMAI Aceh masih dalam tahap transisi yang rapuh, sehingga sangat penting untuk tidak bermain-main dalam mempraktikkan demokrasi, terutama dalam pemilihan gubernur (Pilgub) yang akan datang.
Jika dua kandidat yang telah mendaftar ke Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh ternyata tidak dianggap layak atau baik oleh masyarakat, maka hal ini berpotensi memicu kemunculan konflik baru dan mempersempit makna serta praktik demokrasi itu sendiri.
Memaksakan hanya dua kandidat yang mungkin tidak memenuhi harapan publik bukan hanya berisiko mengembalikan Aceh ke dalam ketegangan, tetapi juga melanggar prinsip konstitusi negara yang menghargai kebebasan rakyat dalam memilih.
Demokrasi seharusnya memberikan ruang bagi pilihan yang beragam, bukan hanya terbatas pada dua opsi yang mungkin tidak memuaskan. Oleh karena itu, sangat penting untuk menyediakan setidaknya tiga pilihan kandidat kepada rakyat Aceh.
Partai politik perlu menyesuaikan strategi mereka untuk memenuhi kebutuhan ini, sementara KIP harus mempertimbangkan perpanjangan jadwal pendaftaran agar lebih banyak calon yang potensial dapat mendaftar.
Perlu dicatat bahwa ini adalah masalah politik dan bukan semata-mata urusan hukum murni.
Baca juga: Unsur KPA dan PA Abdya Minta DPP PA Copot Abdurrahman dari Jabatan Ketua DPW PA dan KPA
Baca juga: Jangan Sakiti Ulama, Awas Kualat
Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa transisi damai Aceh sangat bergantung pada praktik demokrasi yang adil dan inklusif. Dengan memberikan lebih banyak pilihan kepada rakyat, kita tidak hanya mendukung proses demokrasi yang lebih sehat tetapi juga memastikan stabilitas dan perdamaian yang berkelanjutan di Aceh.
KIP Harus Tindaklanjuti Jalur Independen
Dalam upaya memastikan demokrasi yang sehat dan inklusif di Aceh, penting untuk menilai kembali keputusan terkait jalur independen dalam pemilihan gubernur (Pilgub).
Ketika jalur independen dibuka pada Mei lalu, proses tersebut tidak memenuhi syarat yang diperlukan karena tidak adanya Panwaslih.
Ketiadaan lembaga pengawas ini menciptakan cacat hukum dan menunjukkan bahwa pembukaan jalur independen terkesan terburu-buru dan dibatasi hanya dalam beberapa hari.
Hal ini tidak hanya merugikan calon independen, tetapi juga berpotensi menimbulkan kemarahan di kalangan masyarakat yang ingin maju secara independen.
Apakah Komisi Independen Pemilihan (KIP) siap menghadapi konsekuensi dari keputusan ini jika rakyat Aceh bereaksi dengan keras?
Baca juga: Birahi Teungku dan Politik Panglima Tibang
Baca juga: Lawan Kotak Kosong, KIP Aceh Utara Buka Kembali Pendaftaran Bakal Paslon Bupati/Wabup Pilkada 2024
Masyarakat mungkin merasa tertekan dan kecewa jika jalur independen tidak diperluas, dan ini dapat memicu respons yang tidak diinginkan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.