Opini

Ketika Pujaan Hati tak Direstui Orang Tua

Orang tua sejatinya perlu peka terhadap perubahan tingkah laku, gaya komunikasi dan gelagat yang tidak biasa pada anak

Editor: mufti
IST
Dr H Agustin Hanapi Lc, Dosen Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry dan Anggota Ikat-Aceh 

Agustin Hanapi, Dosen Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry, dan Anggota Ikat-Aceh

AKHIR-akhir ini masyarakat Aceh digemparkan oleh berita yang membuat hati miris dan tercabik-cabik bak petir di siang bolong, seorang anak gadis nekat menghabisi hidupnya karena mengalami depresi berat dan frustasi lantaran tidak direstui oleh orang tuanya menikah dengan laki-laki pujaan hati yang berbeda agama.Sebenarnya kasus bunuh diri bukanlah kasus pertama terjadi, bahkan di Indonesia untuk tahun 2024 telah mencapai 849 kasus dengan berbagai motif, di antaranya ekonomi, utang piutang, calon pasangan hidup yang tak direstui oleh orang tua dan lain-lain.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kasus bunuh diri setiap tahunnya mencapai lebih dari 700.000 kasus, dan tanggal 10 September ditetapkan sebagai hari peringatan Pencegahan Bunuh Diri Sedunia atau World Suicide Prevention Day (WSPD).

Peran orang tua

Menurut para ilmuwan, salah satu alasan orang bunuh diri adalah karena ia mengalami depresi berat akibat merasakan sakit emosional yang parah dan kehilangan harapan, termasuk ketika merasa takut atau benar-benar kehilangan, juga karena mengalami  berbagai kesulitan atau tekanan entah itu terkait pekerjaan, keuangan, asmara, atau perundungan, dan lainnya.

Ketika seseorang merasa hidupnya hampa, buntu, tidak berguna lagi bagi orang terdekatnya, maka dunia ini telah berakhir dan mengakhiri hidup menjadi pilihan terbaik baginya. Pada kasus di atas, hadirnya peran orang tua dan keluarga secara maksimal di rumah sangat diharapkan.

Orang tua sejatinya perlu peka terhadap perubahan tingkah laku, gaya komunikasi dan gelagat yang tidak biasa pada anak, misalnya tiba-tiba lebih senang berdandan, lebih intens berkomunikasi diam-diam melalui Hp, sangat lekat dengan Hp, kadang menjadi pemurung, pemarah, sensitif, dan lainnya.
Perubahan sikap drastis seperti ini pada anak kemungkinan besar ia sedang jatuh cinta dan menjalin hubungan asmara dengan seseorang. Maka perlu pendekatan yang lebih serius dari orang tua dengan mengedukasi prinsip hidup agar anak tidak terlalu jauh melangkah yang dapat berakibat fatal dan membuat aib bagi keluarga.

Dengan demikian, semenjak dini sudah berupaya mengedukasi anak misalnya bahwa  menikah dalam Islam harus telah siap lahir batin, menikah hanya dengan yang berbeda jenis, hidup berkeluarga jauh lebih indah dari hidup sendirian, dan sikap bertanggung jawab dalam berkeluarga adalah sebuah keniscayaan. Mengingatkan anak secara serius bahwa dalam memilih jodoh, harus sekufu` dan penekanannya harus seagama dan pengamalan terhadap nilai-nilai agama secara baik.

Islam tidak membolehkan pemeluknya menikah dengan yang berbeda keyakinan terlebih seorang muslimah dengan laki-laki yang nonmuslim. “Sungguh hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik dari laki-laki yang musyrik meskipun dia memikat hatimu” Q.S. al-Baqarah:221. Karena soal keyakinan merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar, dan berbeda keyakinan antara suami-istri dalam berumah tangga dapat menjadi pemicu utama sulit mewujudkan tujuan pernikahan yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah.

Pendekatan persuasif

Terlebih nanti setelah memiliki anak, tidak mustahil nanti anak akan berpindah keyakinan mengikuti jejak sang ayah yang nonmuslim. Walaupun sebagian orang berkelit, tidak akan mencampuri urusan keyakinan pasangannya biarkan masing-masing menjalaninya dengan senyaman mungkin. Namun kenyataannya itu hanya ungkapan manis di bibir saja karena dalam budaya kita yang menjadi kepala rumah tangga adalah laki-laki sehingga dia akan mudah mendikte dan mengatur sesuai misinya.

Jika istrinya tidak mengikuti keinginannya berpindah agama maka mudah baginya mengancam dan menakut-nakuti misalnya nantinya akan ditinggal dan diceraikan. Menikah bukan hanya menyangkut kelezatan jasmaniah semata tetapi kepuasan batin dan kenyamanan lubuk hati yang paling dalam, dan itu dapat terwujud tatkala memiliki pasangan yang seiman sehingga bisa menunaikan shalat berjamaah bersama, mengaji bersama dan lainnya.

Dalam Islam memiliki pasangan hidup seorang laki-laki yang beragama Islam adalah harga mati yang tidak dapat ditolerir, dan tidak ada satupun ayat Alquran yang membolehkan seorang muslimah menikah dengan lelaki yang bukan muslim. Untuk itu, orang tua harus berusaha secara maksimal melakukan pendekatan secara persuasif agar anak secara perlahan memiliki sikap tega dan bersedia melepaskan sang pujaan hati karena Islam tidak merestui pernikahan beda agama.

Di sisi lain, tentang bagaimana karakter sang calon, alamat dan domisilinya, pendidikan dan profesinya, latar belakang keluarga, seriuskah meneruskan hingga ke jenjang pelaminan dan lain-lain. Hal ini dirasa penting terlebih di era digital seperti saat ini, sekiranya ada masalah maka akan mudah melacak dan mendeteksi serta dapat bekerja sama dengan masyarakat dimana dia tinggal. Tak lupa, memberikan pandangan dan pengalaman hidup secara mendalam kepada anak bahwa hari ini banyak orang  yang berpura-pura baik dan perhatian, tidak sepenuhnya tulus dan terkadang ada sesuatu yang diharapkan dan ambil manfaat dari kita.

Bak kata pepatah, ada udang di balik batu. Mudah mengobral janji, bahkan belum pernah bertemu sekalipun dengan mudahnya mengatakan cinta dan sayang sehingga jika anak tidak memiliki benteng yang kuat akan terhipnotis dan klepek-klepek. Jangan biarkan anak kita curhat kepada kawannya yang sama-sama memiliki mental labil sehingga tidak dapat keluar dari belenggu perasaan yang tidak menentu.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved