Opini
Konstitusionalitas Hak Pilih dalam Pilkada Aceh
Situasi ini turut dialami dalam dinamika kontestasi Pilkada di Aceh yang sedang berlangsung saat ini.
Dr H Muhd Heikal Daudy SH MH, Kepala Bapel KKN Unmuha & Anggota Panwaslih Pilkada BNA 2016-2017
TAK terasa perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak pada tahun 2024 ini akan berlangsung dalam beberapa pekan ke depan. Nuansa kompetisi yang berlangsung di antara para calon kepala daerah (cakada) berbeda-beda satu dengan lainnya. Pada satu sisi dinamika, dialektika dan romantika yang dialami sesama cakada yang telah ditetapkan sebagai calon, berbeda dengan apa yang dialami oleh para bakal calon yang masih harus memperjuangkan hak-haknya sebagai calon pada sisi yang lain. Situasi ini turut dialami dalam dinamika kontestasi Pilkada di Aceh yang sedang berlangsung saat ini.
Seperti yang dialami salah satu pasangan bakal calon di Kabupaten Aceh Tamiang. Dimana sesuai langkah hukum yang telah ditempuh dengan putusan dari Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang telah diterimanya, pasangan bakal calon tersebut berhak ditetapkan sebagai cakada di daerah asalnya. Keputusan yang sejatinya harus dihormati oleh semua pihak dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Dalam perkembangannya putusan tersebut mendapat respons dari Komisi Independen Pemilihan (KIP) selaku pihak terkait. Hanya saja sampai dengan opini ini ditulis, KIP Aceh bersama KIP Kabupaten Aceh Tamiang tampak tidak “kompak” alias tidak bulat menyatakan pendapatnya masing-masing terhadap putusan PTTUN tersebut. Bahkan KIP Kabupaten Aceh Tamiang sebagai prinsipal alias pihak tergugat belum menentukan sikap apa pun. (Harian Serambi Indonesia, Jumat 1/11/2024).
Pendapat yang menyatakan bahwa putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena terikat dengan norma hukum di dalam regulasi pilkada (UU Nomor 10 Tahun 2016) beserta peraturan derivasinya, khusus berkenaan masa tenggat waktu dari tahapan terkait yang diasumsikan tidak memadai karena akan berdampak tidak dapat dilaksanakannya hari pemilihan secara tepat waktu. Jika pun dipaksakan para penyelenggara dapat dipidana dengan dalil dianggap lalai dalam melaksanakan tahapan pilkada.
Terlepas dari asumsi tersebut di atas, pada prinsipnya norma-norma tersebut masih dapat diuji konstitusionalitasnya. Maknanya di sini bahwa apakah hak-hak konstitusional warga negara, dalam hal ini adalah hak pilih berupa hak untuk dipilih maupun hak untuk memilih, telah terpenuhi dan terlindungi? Karena sejatinya hak pilih adalah hak dasar bagi warga negara dan bersifat asasi.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Kemudian pasal 28D ayat (3) yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Selanjutnya pada pasal 28I ayat (5) disebutkan: “Untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.
Dari sana pula pengejawantahan norma konstitutif HAM tersebut diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan terkait dengan hak pilih termaktub di dalam pasal 43 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Maka dari itu, pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), pasal 28I ayat (5) UUD 1945 serta pasal 43 ayat (1) UU HAM, juga merupakan fondasi yang menjadi tempat berdirinya pilar dalam perlindungan dan penjagaan hak pilih bagi pemilih maupun figur yang akan dipilih dalam beragam kontestasi pemilu dan pilkada sebagai wujud pemenuhan dan perlindungan HAM.
Secara paradigmatik pun kehadiran institusi-institusi pengawal demokrasi dan konstitusi pasca reformasi sejatinya untuk memberikan keadilan bagi segenap warga negara melalui kebijakan maupun vonis-vonis yang konstruktif demi tegaknya demokrasi substantif. Oleh karena hanya dengan jalan tersebut dengan turut menghadirkan keadilan substantif rasa adil publik niscaya dapat terpenuhi demi keberlangsungan cita-cita reformasi, serta konstitusionalisme yang menjadi tujuannya.
Membuka kesempatan
Berkenaan dengan ulasan-ulasan tersebut di atas, dengan apa yang saat ini sedang terjadi di “Bumi Muda Sedia”. Masih terbuka kesempatan bagi penyelenggara pilkada setempat yakni KIP Kabupaten Aceh Tamiang untuk bersikap. Mengambil keputusan berdampak strategis untuk melanjutkan jalannya kontestasi pemilihan kepala daerah yang demokratis di sana. Salah satunya dengan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi warga negara yang telah memenuhi syarat terlebih lagi telah dikuatkan dengan vonis yang berkekuatan hukum.
Benar bahwa setiap keputusan sedianya mempunyai implikasi hukum yang turut menyertainya. Baik secara administratif, perdata bahkan pidana. Walaupun kebenaran akan penerapan norma-norma tersebut masih sangat debatable. Misalnya saja tafsir mengenai Putusan PTTUN a quo terikat dengan tenggat waktu paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara, dan secara mutatis mutandis kewenangan ini sangat tergantung kesiapan dari penyelenggara setempat dalam mengkalkulasi dan mengakumulasi waktu yang tersedia tanpa bermaksud untuk tidak menuntaskan tahapan secara tepat waktu.
Jika pun terjadi pergeseran waktu tahapan pemungutan suara di wilayah tersebut, apakah serta-merta penyelenggara dapat dianggap telah lalai atau bahkan telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah menyimpang dari peraturan yang ada. Sedangkan pada norma yang lain masih di dalam peraturan yang sama. Bagi penyelenggara yang dengan sengaja melakukan upaya atau tindakan menghalang-halangi pencalonan pasangan calon apalagi telah berkekuatan hukum dapat pula diancam dengan hukuman pidana.
Untuk diketahui bahwa di Aceh terdapat banyak ketidaksinkronan bahkan inkonsistensi dari Pemerintahan Aceh sendiri secara bersama-sama dengan penyelenggara pemilu dan pemilihan di Aceh dalam mensub-ordinasi rezim pilkada di Aceh yang notabene merupakan bagian dari kekhususan daerah ini ke dalam rezim pemilu serentak secara nasional. Dimana harapan publik di Aceh sejatinya berpeluang dapat berlangsung secara asimetris, walaupun faktanya tidak berjalan demikian.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.