Kupi Beungoh

Pilgub Aceh 2024 dan Kelelahan Demokrasi

Aceh, sebagai wilayah dengan sejarah panjang konflik dan perdamaian, memiliki dinamika politik yang unik

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Dr. Iswadi, M.Pd, Dosen Universitas Esa Unggul-Jakarta 


Oleh: Dr. Iswadi, M.Pd*)

Pemilihan Gubernur (Pilgub) Aceh yang dijadwalkan berlangsung pada 27 November 2024 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan politik lokal. 

Aceh, sebagai wilayah dengan sejarah panjang konflik dan perdamaian, memiliki dinamika politik yang unik. 

Pilgub sering kali menghadirkan isu-isu identitas, agama, serta narasi lokal yang kuat. 

Namun, di balik persiapan pesta demokrasi ini, muncul fenomena kelelahan demokrasi yang semakin terasa di masyarakat. 

Fenomena ini mencerminkan apatisme, frustrasi, hingga sinisme terhadap proses politik yang dianggap tidak lagi mampu membawa perubahan nyata bagi rakyat.  

Setelah penandatanganan Perjanjian Helsinki pada 2005, Aceh memasuki babak baru sebagai wilayah otonomi khusus dengan hak politik yang lebih luas. 

Baca juga: Pj Gubernur dan Komisi II DPR RI Bahas Pilkada Aceh

Pilkada langsung menjadi bagian dari transformasi tersebut, memberikan ruang bagi masyarakat untuk menentukan pemimpin mereka secara demokratis. 

Namun, hampir dua dekade sejak perubahan itu, perjalanan demokrasi di Aceh belum sepenuhnya membawa stabilitas dan kesejahteraan yang diharapkan. 

Beberapa capaian pembangunan memang dapat dirasakan, tetapi tantangan besar seperti tingginya angka pengangguran, ketimpangan ekonomi, dan korupsi masih membayangi.  

Politik lokal di Aceh sering kali menjadi arena konflik kepentingan elit, alih-alih menjadi sarana untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. 

Hal ini menciptakan kesan bahwa proses demokrasi di Aceh hanyalah formalitas tanpa substansi. Situasi ini memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin dan institusi politik, memperkuat fenomena kelelahan demokrasi.  

Kelelahan demokrasi di Aceh terlihat dari rendahnya partisipasi masyarakat dalam sejumlah pilkada terakhir. Apatisme politik semakin nyata, dan banyak warga menunjukkan sentimen sinis terhadap para calon pemimpin yang dianggap tidak mampu menawarkan solusi konkret untuk persoalan rakyat. 

Krisis kepercayaan ini semakin diperparah oleh dominasi elit lokal dalam kontestasi politik. Aceh sering kali dikuasai oleh kelompok-kelompok lama dengan pengaruh besar, menciptakan kesan bahwa politik hanya untuk segelintir pihak, sementara aspirasi masyarakat luas diabaikan.  

Baca juga: Konstitusionalitas Hak Pilih dalam Pilkada Aceh

Kondisi ini diperburuk oleh kegagalan pemimpin dalam mengatasi masalah-masalah mendasar seperti ekonomi, pengangguran, pendidikan, dan kesehatan.

 Janji-janji politik yang tidak terpenuhi membuat masyarakat merasa dikhianati dan kehilangan semangat untuk terlibat dalam proses politik. 

Selain itu, polarisasi sosial akibat isu-isu sensitif seperti agama atau etnis yang sering muncul dalam Pilgub semakin memecah belah masyarakat. Luka sosial akibat polarisasi ini sulit dipulihkan, bahkan setelah pemilu berakhir.  

Pilgub Aceh 2024 menjadi ujian besar untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi

Penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, harus memastikan proses yang adil, transparan, dan bebas dari kecurangan. Kredibilitas KIP sangat menentukan tingkat partisipasi dan kepercayaan masyarakat. 

Para kandidat juga diharapkan menawarkan visi dan misi yang konkret serta relevan dengan kebutuhan rakyat. Retorika semata tidak lagi cukup untuk menarik simpati masyarakat yang semakin kritis.  

Selain itu, pemerintah dan aparat keamanan harus mampu menjaga situasi tetap kondusif selama masa kampanye hingga pasca-pemilu. 

Mengingat sejarah konflik di Aceh, potensi gesekan akibat rivalitas politik perlu diantisipasi dengan baik. Situasi yang damai dan terkendali menjadi syarat utama untuk melahirkan proses demokrasi yang bermartabat.  

Untuk mengatasi kelelahan demokrasi, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pihak. Edukasi politik bagi masyarakat perlu digencarkan untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya partisipasi politik.

 Partai politik juga harus bertransformasi menjadi wadah yang benar-benar mampu menampung aspirasi rakyat, dengan proses kaderisasi yang transparan dan akuntabel.  

Baca juga: KIP Pastikan Distribusi Logistik Pilkada Aceh 2024 Berjalan Lancar

Pemerintah juga perlu memberikan perhatian serius pada isu-isu kesejahteraan, seperti pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, serta peningkatan akses pendidikan dan kesehatan. 

Ketika kebutuhan mendasar masyarakat diperhatikan, kepercayaan terhadap demokrasi akan tumbuh kembali. Pemanfaatan teknologi digital juga dapat menjadi sarana untuk meningkatkan partisipasi dan transparansi dalam proses politik.  

Pilgub Aceh 2024 adalah momentum penting untuk mengevaluasi dan memperbaiki arah demokrasi di Aceh. Meski kelelahan demokrasi menjadi tantangan besar, harapan untuk perubahan belum sepenuhnya pupus. 

Dengan komitmen bersama dari seluruh elemen masyarakat, demokrasi dapat kembali menjadi sarana efektif untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Aceh, dengan segala keunikannya, memiliki potensi besar untuk menjadi contoh sukses dalam menjalankan demokrasi lokal yang berdaya guna bagi masyarakat.

*) PENULIS adalah Dosen Universitas Esa Unggul, Jakarta

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved