Breaking News

Opini

Burung-burung Nasar Pelindung Kelompok Jihadis Suriah yang Dilematis

Mereka tidak lebih dari bagian kelompok jihadis brutal dan tidak berkeadaban yang datang dari belahan dunia lain untuk mengklaim Suriah.

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
Teuku Taufiqulhadi, mantan Reporter Perang, dan menulis disertasi tentang Perang Suriah. 

Oleh: T Taufiqulhadi*)
 
BUANG dulu narasi kediktatoran karena ini bukan narasi yang relevan di dunia Arab. Tapi yang pasti rezim Ba'ath yang dipimpin oleh Bashar al-Assad di Suriah telah tumbang tanpa banyak ribut.

Al Assad sendiri menyingkir dan diterima suakanya oleh Presiden Rusia Vladimir Putin, prosesnya di Moskow. 

Disebutkan, rezim al-Assad ditumbangkan oleh sebuah kelompok milisi islamis radikal Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sebuah kelompok islamis hasil reinkarnasi dari kelompok milisi sayap militer al-Qaeda di Suriah yaitu Jabhat al-Nusra.

Tapi pertanyaan kini adalah setelah Assad tumbang maka bagaimana kelanjutan politik Suriah? Jika HTS yang memimpin Suriah, apakah negara tersebut akan berubah menjadi sebuah negara demokratis yang membedakan dengan rezim Ba'ath yang dituduh sebagai rezim kediktatoran brutal?

Suriah yang kita lihat sekarang adalah bagian dari apa yang disebut Suriah Raya, yang dalam bahasa Arab disebut asy-Syam dan Barat menyebutnya Levant, yang meliputi Suriah pascakolonial, Lebanon dan Palestina. 

Baca juga: Meminjam Tangan Pemberontak Suriah untuk Menjamin Keamanan Israel

Orang Suriah sendiri dipandang sebagai bangsa Arab kelas aristokratis karena memiliki cara pandang yang kosmopolit dengan berperilaku halus. Berbeda dengan bangsa-bangsa Arab di bagian selatan jazirah Arab, yang kasar dan kurang toleran.

Karakter aristokratis orang Suriah merupakan warisan budaya orang Suriah yang dahulu wilayah mereka merupakan kiblat kegiatan intelektualitas dunia dan pusat pemerintahan Daulah Umayyah yang berpengaruh.

Orang-orang mengendarai tank di kota Daraa, Suriah selatan, pada tanggal 7 Desember setelah runtuhnya pasukan pemerintah.
Orang-orang mengendarai tank di kota Daraa, Suriah selatan, pada tanggal 7 Desember setelah runtuhnya pasukan pemerintah. (SERAMBINEWS.COM/AFP)

Hingga era modern, Suriah tetap dipandang sebagai salah satu dari tiga episentrum penyebaran pemikiran-pemikiran maju yang memengaruhi pemikiran di Timur Tengah. 

Di era helenistik dari 323 SM hingga 30 SM, Damaskus, ibu kota Suriah modern, telah menjadi tempat bersemayam para filosof, arsitek, dan seniman hebat.

Suburnya iklim intelektualitas di Damaskus di masa praislam, karena para filosof Damaskus ini akrab dengan semua pemikiran para filosof Yunani kuno seperti Plato, Aristoteles, dan Socrates. 

Mereka juga sangat terpengaruh dengan mazhab filsafat Yunani kuno seperti aliran Stoa, mazhab Pitagoras, Paripatetik dll.   

Di era Daulah Abbasiyah awal, terutama di masa ar-Rasyid dan putranya al-Makmun, semua khasanah filsafat Damaskus ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab di Darul Hikmah (pusat kajian dan penelitian ilmu pengetahuan) Abbasiyah.

Boleh dibilang, Darul Hikmah Abbasiyah ini telah menstimulasi munculnya pemikir-pemikir raksasa yang memiliki jejak kuat hingga hari ini. 

Kebanyakan adalah para pemikir bebas dan kaum rasionalis Islam klasik yang disebut sebagai kaum mu'tazilah. Kaum mu'tazilah ini, seperti al-Kindi, ar-Razi, Ibnu Sina, al-Biruni dan lainnya ini menjadi penghela kemajuan hemisphere dunia saat itu. Jadi warisan Damaskus ini, masih menjadi faktor kesadaran semua orang Suriah hingga hari ini.

Tapi, Suriah tidak beruntung, sama seperti dunia Islam lainnya, menjadi objek kolonialisme dan kemudian mundur total. Pasca Perang Dunia II hingga Perang Dingin, Damaskus masih dipandang sebagai pusat intelektual Arab bersama dengan Kairo dan Beirut.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved