Breaking News

Opini

Burung-burung Nasar Pelindung Kelompok Jihadis Suriah yang Dilematis

Mereka tidak lebih dari bagian kelompok jihadis brutal dan tidak berkeadaban yang datang dari belahan dunia lain untuk mengklaim Suriah.

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
Teuku Taufiqulhadi, mantan Reporter Perang, dan menulis disertasi tentang Perang Suriah. 

Milisi binaan Turki

Di sisi kelompok nonislamis ini , masih ada lagi kaum Ba'athis serta loyalis Assad yang masih tetap kuat. Meskipun sekarang mereka tengah tiarap, tapi pasti enggan membiarkan aktor-aktor lain menentukan wajah Suriah.

Mereka memiliki isu kuat yang heroik yaitu kedaulatan negara dan prinsip nasiosiolistik dalam sistem perekonomian nasionalnya. Kelompok ini akan berafiliasi dengan kelompok nonislamis lainnya, dan yang paling potensial dengan SDF di utara.

Kedua kelompok ini memiliki kedekatan dan dulu hampir tidak pernah bentrok dalam perang Suriah lalu. Kaum Ba'athis dan loyalis Assad dengan mudah dapat berafiliasi dengan SDF lantaran keduanya sama-sama anti-Turkiye dan sama-sama menentang kehadiran milisi Islamis  di Suriah.

Stakeholder lain adalah aktor-aktor regional yaitu Turki, Israel, dan Qatar, serta aktor internasional terkemuka yaitu AS. Kesemua mereka mirip dengan burung-burung nasar yang sedang mengincar bangkai (Suriah).

Kekuatan-kekuatan ini merasa memiliki andil yang kuat dalam menjatuhkan Assad atau memiliki himpitan kepentingan nasionalnya dengan Suriah pasca-Assad.

Bagi Turki, yang bergembira karena komponen utamanya dalam isu-isu persaingan pengaruh kawasan tersingkir, merasa semua kelompok milisi yang menjatuhkan Assad adalah kelompok milisi binaannya.

Turki sangat berkepentingan melihat pemerintah di Damaskus tetap di bawah pengaruhnya dan bersedia menghancurkan organisasi perjuangan kaum Kurdi di wilayah utara timur Suriah.

Qatar sangat menghendaki terbentuknya sebuah rezim islamis yang didukung oleh Ikhwanul Muslimin di Suriah. Negara ini menyatakan telah siap mendanai pembangunan kembali Suriah jika HTS atau kelompok yang berafiliasi dengan Ahrar asy-Syam memimpin Suriah. 

Sementara Israel yang dengan cepat mengambill-alih zona penyangga di di Golan sepeninggal pasukan rezim al-Assad, berkepentingan untuk menjaga keutuhan wilayahnya dan menjaga tidak muncul ancaman dari sebelah utara Israel. Israel mencaplok Dataran Tinggi Golan dari Suriah dalam perang enam hari pada 1967.

Kini mencaplok kembali wilayah Suriah yang sebelumnya menjadi zona penyangga di Golan Suriah. Wilayah pendudukan (occupied area)  yang strategis itu kini diklaim sebagai bagian integral Israel.

Dengan demikian, Israel menghendaki terbentuknya sebuah pemerintah di Damaskus yang ramah kepadanya dan bersedia menghapus konstitusi Suriah yang menyatakan, harus merebut kembali wilayah Suriah yang dicaplok Israel 57 tahun yang lalu itu.

Israel agaknya berkenan dengan HTS. Tapi mengingatkan, HTS itu bukan siapa-siapa jika rejim Zionis di Tel Aviv tidak memperlemah Hizbullah di Lebanon terlebih dahulu. Israel mengancam tidak akan menolerir hadirnya sebuah rezim yang bermusuhan dengannya di Damaskus pasca Assad.

Amerika kini tengah menatap erat bagaimana nasib pangkalan militer Rusia di Suriah. Sejak Perang Dingin, Rusia (dulu Uni Soviet) telah hadir di Suriah dengan pangkalan laut dan udara di Latakia, provinsi yang dominan dihuni kaum Alawi, komunitas asal usul al Assad.

Washington kelihatan tidak terlalu peduli soal garis islamis atau sekuler, sepanjang mereka mampu bersikap tegas terhadap pangkalan air hangat Rusia di Suriah itu. Tapi sejauh ini, Kremlin kelihatan masih bersikap tenang saja.

Sikap tenang Rusia erat kaitannya dengan fakta bahwa negara itu memiliki hubungan yang akrab dengan hampir semua negara di Timur Tengah seperti Turki, Qatar, Arab Saudi dan lain-lain. Pada saat bersamaan, hampir semua negara-negara yang disebut di atas itu akan  memiliki peranan penting di Suriah.   

Dengan lanskap politik seperti ini,  HTS harus segera  memperbaiki posisi ideologisnya dan bersikap kompromistis dalam isu pembagian kekuasaan (power sharing). Gagal dalam dua hal itu, HTS segera akan menjadi nonfaktor dalam politik Suriah.

Ia akan digantikan segera oleh kelompok lain, yang paling dekat dengan Turki  seperti FSA. Saat ini memang FSA sangat lemah tapi karena mendapat dukungan Turki dan semua negara Barat, organisasi ini bisa bangkit kembali dengan cepat karena sudah memiliki jaringan yang kuat dan luas.

HTS tak punya legitimasi

Di pihak lain, Turki juga harus siap kecewa karena nafsu untuk mendominasi Suriah secara penuh tidak akan berjalan mulus. Jika maksudnya untuk menghancurkan SDF secara militer dan secara politik, juga pasti akan gagal.

Kenapa? Karena Washington masih membutuhkan SDF dalam konteks balance of power di internal Suriah. Bagaimanapun, Washington tetap curiga kepada semua kelompok islamis di Suriah.

HTS, meski dapat diterima oleh Israel karena kelihatan mau melakukan kompromi tapi kelompok milisi islamis ini bukan favorit Washington. Amerika mengidealkan gabungan FSA dengan SDF untuk memimpin Suriah ke depan. 

Kelompok-kelompok proislamis diperkirakan tidak mengalami kesulitan untuk melakukan persekutuan di antara mereka tapi itu untuk sementara. Dalam jangka panjang, kelompok-kelompok islamis ini akan saling bersaing sesamanya, jika tidak ada partai politik, maka persaingan faksional sengit yang terjadi. 

Jika berminat melihat persaingan dalam bentuk partai politik di Suriah, maka itu agak mustahil. Lantaran persaingan sejenis itu mengharuskan rakyat Suriah  membuat sebuah konstitusi baru yang demokratis. Sementara demokrasi dengan sistem multipartai bukan kehendak kelompok islamis.

Bahkan konsep demokrasi yang kita pahami sekarang tidak berada dalam khazanah pemikiran mereka karena konsep itu berasal dari kaum "kafir". Tapi demokrasi dan pemilu multipartai bisa saja hadir di Suriah jika para burung nasar tersebut memaksanya.

Maka ini ukuran menjadi sangat jelas, sepanjang kelompok Islamis mengambil-alih kekuasan, dengan diterima sistem demokrasi, maka dapat diduga HTS gagal menjaga martabatnya.

Tapi di pihak lain, ada problem besar, HTS tidak memiliki legitimasi politik sama sekali sejauh ini. Mereka mampu masuk ke Damaskus bukan karena upaya keras sendiri tapi rezim Assad tidak mau memberi perlawanan karena melemahkan Poros Perlawanan.

 Jadi Assad menyerah bukan karena takut kepada HTS tapi takut kepada Barat, Israel, Turki dan Qatar. Karena itulah mayoritas rakyat Suriah tidak menyetujui HTS mewakili mereka.

Legitimasi harus diraih, dengan sebuah pembuktian. Pembuktiannya adalah dengan kemampuan menjaga kedaulatan negara dan independensi politik.

HTS tidak boleh membiarkan pihak asing memaksa agenda politik mereka terhadap persoalan nasionalnya, bahkan termasuk demokrasi. Pemaksaan itu bukti Suriah tidak berdaulat dan tidak mandiri.

Tapi sebuah kelompok yang mendapat kekuasaan karena hadiah pihak luar, sejauh mana HTS mampu menampik kehadiran kepentingan luar di Suriah? Saya rasa tidak ada daya.

HTS akan membiar agenda luar berlaku di Suriah dan akan membiarkan klaim Israel atas tanah Suriah yang direbut pada 1967, dan wilayah Suriah baru yang dicaplok Israel beberapa hari lalu. 

Memang sungguh dramatis juga, istilah kedaulatan dan demokrasi, yang seharus memiliki nilai agung, berubah menjadi konsep peyoratif dalam konteks Suriah sekarang. 

Jika nanti terbukti HTS menempatkan kedua konsep ini menjadi bagian dari dilema politiknya, terbukti bahwa HTS ini bukan pewaris peradaban Suriah yang agung dan besar.

Mereka tidak lebih dari bagian kelompok jihadis brutal dan tidak berkeadaban yang datang dari belahan dunia lain untuk mengklaim Suriah.

*) Penulis wartawan yang pernah meliput semua konflik di Timur Tengah di dekade 2000-an, dan lulusan S3 Unpad dengan disertasi tentang Perang Suriah. 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved