Kupi Beungoh
Ketergantungan Gawai pada Anak: Dampak, Tanda dan Solusi Bijak
Di era digital ini, gawai (gawai) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita, termasuk kehidupan anak-anak.
Oleh dr Imam Maulana *)
Di era digital ini, gawai (gawai) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita, termasuk kehidupan anak-anak.
Namun demikian, penggunaan gawai yang berlebihan semakin menjadi perhatian serius, terutama di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, sekitar 33,44 persen anak usia dini (0-6 tahun) sudah menggunakan ponsel, termasuk 25,5 % anak berusia 0-4 tahun dan 52,76 % anak berusia 5-6 tahun.
Selain itu, survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkap bahwa 71,3 % anak usia sekolah memiliki gawai dan menghabiskan waktu yang signifikan untuk menggunakannya setiap hari.
Bahkan, 79?ri mereka diizinkan bermain gawai untuk keperluan non-belajar.
Angka ini menunjukkan bahwa gawai telah menjadi bagian besar dalam kehidupan anak-anak.
Sayangnya, kondisi ini menjadi ancaman terhadap perkembangan fisik, emosional, dan sosial mereka.
Ketergantungan gawai yang berlebihan dapat memberikan dampak buruk yang sering kali tidak disadari oleh orang tua.
Sebagai masyarakat yang hidup di era digital, kita tentu tidak bisa menghindari teknologi sepenuhnya.
Namun, penggunaan gawai oleh anak harus diarahkan dengan bijaksana.
Bagaimana tidak, ancaman dari penggunaan gawai yang tidak terkontrol sangat nyata adanya.
Anak-anak menjadi lebih rentan terhadap berbagai gangguan kesehatan fisik, sosial, hingga emosional dan bukan sekadar kekhawatiran kosong.
Oleh karena itu, ayo kenali tanda anak kecanduan gawai, dampak buruknya, dan solusinya.
Bagaimana kita bisa mengenali anak yang ketergantungan gawai? Pertama, anak kesulitan berhenti menggunakan gawai yang ditandai dengan adanya perlawanan saat diminta untuk berhenti bermain gawai.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.