Kupi Beungoh

Peunayong, Imlek, dan Kerukunan Umat Beragama

Kata itu nama seorang Tionghoa yang pertama tinggal di kawasan tersebut, sehingga dari kata Pie-Nan-Yong menjadi Peunayong dalam tuturan bahasa Aceh. 

Editor: Mursal Ismail
For Serambinews.com
NURDIN AR - Wakil Ketua II Forum Keukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Aceh, H Nurdin AR 

Kata itu nama seorang Tionghoa yang pertama tinggal di kawasan tersebut, sehingga dari kata Pie-Nan-Yong menjadi Peunayong dalam tuturan bahasa Aceh. 

Oleh: H Nurdin AR *) 

DARI tradisi lisan yang berkembang tentang toponemi Peunayong, ada yang mengatakan bahwa Peunayong dari asal kata Pie-Nan-Yong.

Kata itu nama seorang Tionghoa yang pertama tinggal di kawasan tersebut, sehingga dari kata Pie-Nan-Yong menjadi Peunayong dalam tuturan bahasa Aceh. 

Selain itu, karena pada dasarnya Kota Bandar Aceh Darussalam tempo dulu merupakan kota pelabuhan besar dan sering disinggahi kapal-kapal besar Cina atau Jung. 

Maka ketika orang mau mengetahui kapal apa yang berlabuh atau berangkat, sering muncul pertanyaan dalam bahasa Aceh:

“Peue nan jong teuka uroe nyoe” atau “peue nan jong beurangkat uroe nyoe”.

Dari pertanyaan yang berulang-ulang tersebut maka melekatlah sebutan itu menjadi nama kampung di sisi timur kuala Krueng Aceh itu yang lambat laun berubah ucap menjadi Peunayong. 

Tahun Baru Imlek 2572, Ustaz Tengku Zulkarnain mengucapkan Kiong Hi Fat Choi di Tahun Baru China dan akhirnya membuka siapa dia sebenarnya.
Tahun Baru Imlek 2572, Ustaz Tengku Zulkarnain mengucapkan Kiong Hi Fat Choi di Tahun Baru China. (Twitter @ustadtengkuzul)

Baca juga: Pimpin Patroli Malam Jelang Puncak Imlek, Ini Penegasan Kapolresta Banda Aceh

Dalam suatu kajian ilmiah Pierre Yves Manguin (2011:237) menyebut Peunayong berasal dari kata “Pendayung” atau tempat tinggal para pendayung. 

Alasannya bahwa sebagian besar daerah tersebut pada masa lalu merupakan daerah berair dan rawa-rawa.

Akan tetapi, mengingat toponemi selalu berdasarkan bahasa setempat, maka dasar nama Peunayong tersebut di atas terasa kurang dapat diterima dan tidak logis. 

Pasalnya, bagaimana bisa sebuah toponemi tempat di Aceh disebut dengan bahasa Melayu dari asal kata “dayung” dalam kata sifat “Pendayung”, bukan dalam bahasa tempatan atau bahasa Aceh.

Karena itu, mengingat Bandar Aceh Darussalam sejak 1514 menjadi kota pelabuhan, dan malah kemudian berkembang menjadi kota pelabuhan terbesar di Sumatera (Manguin, 2011: 228) yang kosmopolitan. 

Para pedagang dari berbagai bangsa, seperti orang-orang Arab, Persia, India, Pegu, Cina, Eropa, bahkan orang-orang Yahudi dan lain-lainnya berlabuh untuk tinggal permanen atau sementara.

Baca juga: Kapal Cepat Tambah Trip, Sabang Kebanjiran Wisatawan Libur Imlek dan Isra Mikraj

Mereka memperoleh perlindungan dan diperlakukan secara ramah dan bersahabat oleh masyarakat dan sultan tempatan. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved