Kupi Beungoh
Peunayong, Imlek, dan Kerukunan Umat Beragama
Kata itu nama seorang Tionghoa yang pertama tinggal di kawasan tersebut, sehingga dari kata Pie-Nan-Yong menjadi Peunayong dalam tuturan bahasa Aceh.
Apalagi orang-orang asing tersebut merupakan utusan-utusan raja dari berbagai negara di dunia.
Oleh sebab itu, adalah masuk akal bahwa toponemi “Peunayong” dari asal kata bahasa Aceh “payong” yang berarti “payung”.
Di mana dalam perkembangannya untuk tempat yang dipayungi disebut “peunayong” atau daerah yang dipayungi atau dilindungi, terutama oleh Sultan Aceh Darussalam sebagai penguasa pelabuhan.
Pada zaman Kesultanan Aceh ketika Kota Banda Aceh menjadi pusat perdagangan hasil bumi dan rempah (Marco Polo dalam Reid, 1995: 7), menjadi kota transito yang sangat kosmopolitan.
Peunayong merupakan daerah antara atau rest area bagi pendatang dari berbagai bangsa dari pelabuhan menuju ke istana atau ke berbagai tempat dengan berbagai keperluan.
Baca juga: Inara Rusli Ada Keturunan Tionghoa, Mantan Istri Virgoun Ikut Rayakan Imlek
Oleh karena itu, pada zaman dahulu di Peunayong tinggal berbagai bangsa yang berbilang agama, yang keberadaan mereka dilindungi oleh pemerintah dan masyarakat Aceh.
Jadi, pada dasarnya penduduk Peunayong bukan saja orang-orang Tionghoa (Pecinaan).
Tetapi keberadaan Peunayong sebagai daerah yang dilindungi sampai hari ini menjadi warisan budaya dan sejarah bagi masyarakat Aceh.
Di mana pada masa lalu sesungguhnya masyarakatnya sangat plural dan mereka bebas hidup dengan keyakinan dan budayanya.
Meski hari ini terlihat seolah-olah Peunayong merupakan kawasan pecinaan, di mana penduduknya didominasi orang-orang Tionghoa.
Sementara orang-orang yang berasal dari bangsa-bangsa lain barangkali sudah berbaur dan larut menjadi orang Aceh.
Baca juga: Ini Jadwal Pelayanan SIM Selama Libur Panjang Isra Mikraj dan Imlek
Setidaknya jika diperhatikan warna kulit dan profilnya juga mencerminkan bahwa mereka berasal dari multi ras di dunia, termasuk dari Cina.
Meskipun penduduk Peunayong saat ini yang kelihatan dominan orang-orang Tionghoa, tetapi “pemayungannya” masih tetap sama seperti pada masa lalu.
Bahkan “pemayungan” tersebut tidak pernah berubah, meskipun masyarakat dan pemerintah Aceh kini menerapkan Syariat Islam.
Masyarakat non muslim baik yang tinggal di Peunayong maupun yang ditinggal di tempat lain di di seluruh Aceh tidak akan terganggu oleh masyarakat Aceh yang menjalankan syariat Islam dalam kehidupannya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.