Kupi Beungoh

CSR Hak Masyarakat, Bukan Hak Perusahaan

Sederhananya, perusahaan yang beroperasi di Aceh Barat diwajibkan menyisihkan 1 persen dari nilai total produksi yang mereka jual sepanjang tahun.

Editor: Agus Ramadhan
FOR SERAMBINEWS.COM
Mustafaruddin, Anggota Bursa Efek Indonesia (BEI) 

Ada apa dengan Rp25,5 miliar yang belum tersalurkan itu?

Contoh yang Bisa Ditiru

Aceh Barat bukan satu-satunya daerah yang memiliki dana TJSLP. Banyak daerah lain yang berhasil memanfaatkannya dengan baik.

Di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, dana CSR digunakan untuk membangun tambak udang dan bandeng. Hasilnya? Nelayan dan petani ikan di sana bisa menikmati peningkatan pendapatan.

Di Cilacap, Jawa Tengah, Pertamina Refinery Unit IV menggunakan dana CSR sebesar Rp1,37 miliar untuk pemberdayaan usaha kecil, pelestarian lingkungan, dan peningkatan pendidikan.

Di Jawa Barat, dana CSR yang terkumpul mencapai Rp100,5 miliar dari 77 perusahaan. Sebagian besar dialokasikan untuk pembangunan ruang kelas, laboratorium sekolah, dan fasilitas air bersih.

Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dana CSR digunakan untuk membantu rumah ibadah dan organisasi sosial.

Di Jawa Tengah, CSR sebesar Rp86 miliar dimanfaatkan untuk mengurangi angka kemiskinan dan stunting.

Mereka bisa. Kenapa Aceh Barat tidak?

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Persoalan ini tidak murni soal angka. Ada faktor lain yang ikut bermain: oknum-oknum yang berkepentingan.

Ada vendor yang ingin mempertahankan proyeknya. Ada pihak luar yang ingin masuk dan mendapatkan bagian. Bahkan ada oknum kader partai tertentu yang mengincar posisi strategis di perusahaan.

Maka, yang terjadi bukan transparansi, melainkan fitnah dan adu domba. Dari sejak masa kampanye, Bupati difitnah sebagai anti-investasi. Setelah menjabat, diframing lagi seolah ingin memusuhi investor.

Yang bicara di media tidak paham akar masalah. Bahkan Direktur Utama PT Mifa sendiri, yang berkantor di Jakarta, lebih banyak menerima informasi sepihak. Dia tidak turun langsung ke lapangan, tidak berkomunikasi dengan pemerintah daerah, tidak memahami kondisi sosial-politik setempat.

Yang berhadapan dengan Pemda justru pengacara perusahaan. Masalah sosial diselesaikan dengan pendekatan hukum. Tidak ada dialog, tidak ada negosiasi, tidak ada keinginan untuk mencari solusi bersama.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved