Kupi Beungoh
Ekonomi Kreatif: Solusi Inovatif atau Hanya Omong Kosong dalam Pengentasan Kemiskinan di Aceh?
Meskipun memiliki sumber daya alam yang kaya dan potensi budaya yang luar biasa, angka kemiskinan masih tinggi.
Oleh: Fadilah Tria Adinda
Aceh bertahan sangat lama sebagai provinsi termiskin di Sumatera. Kemiskinan di Aceh telah menjadi isu yang terus-menerus diperbincangkan, dari era Gubernur Irwandi Yusuf (2006-2011) hingga Muzakir Manaf (2025-2030).
Meskipun memiliki sumber daya alam yang kaya dan potensi budaya yang luar biasa, angka kemiskinan masih tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh mencatat, angka kemiskinan di Aceh turun secara signifikan pada periode September 2024 dibandingkan dengan Maret 2024.
Berdasarkan data terbaru yang dirilis BPS Provinsi Aceh, pada Rabu (15/1/2025), pada September 2024, kemiskinan Aceh tercatat berada pada kisaran 12,64 persen, atau mengalami penurunan sebesar 1,59 persen poin dibandingkan dengan Maret 2024 sebesar 14,23 persen (www.acehprov.go.id).
Meskipun angka ini menunjukkan penurunan, Aceh masih menempati posisi sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera.
Dalam berbagai forum dan seminar, ekonomi kreatif sering disebut-sebut sebagai solusi inovatif untuk mengatasi masalah ini. Pada Kamis, (3/4/2025) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh menerima kunjungan Staf Khusus Menteri Ekonomi Kreatif (Ekraf) Bidang Isu Strategis dan Antarlembaga, Rian Syaf di UINAr-Raniry. Pertemuan tersebut membahas peluang kerja sama dalam pengembangan ekonomi kreatif di Aceh. (https://aceh.tribunnews.com/2025/04/04/majukan-ekonomi-kreatif-di-aceh-uin-ar-raniry-siap-jadi-mitra-strategis-kemenekraf).
Namun, pertanyaannya adalah, sejauh mana ekonomi kreatif benar-benar mampu mengentaskan kemiskinan di Aceh? Apakah ini hanya sekadar wacana atau memang bisa menjadi solusi konkret?
Baca juga: Pemerintah Aceh Diharapkan Beri Perhatian Khusus Terhadap Perkembangan Ekonomi Kreatif
Ekonomi Kreatif: Konsep yang Menjanjikan
Dalam kompetisi kompetitif ini, industri kreatif dapat digunakan sebagai konsep yang menjanjikan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, sementara secara bersamaan mengurangi ukuran pengangguran dan kemiskinan.
Berbeda dengan ekonomi tradisional berdasarkan sumber daya alam, industri kreatif didasarkan pada ide, imajinasi, dan inovasi manusia. Ini membuatnya fleksibel, terintegrasi, dan berkelanjutan.
Mengapa industri kreatif berharga? Ini karena tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga mempromosikan pertumbuhan industri budaya lokal dan kebijaksanaan lokal.
Di Aceh, misalnya, spesialisasi spesialisasi kuliner, seni, kerajinan tangan, syariah dan produk fashion budaya lokal, jika dikelola dengan baik, maka bisa menjadi kekuatan ekonomi baru.
Bayangkan jika pelaku UMKM lokal dilatih untuk pemasaran digital, akses ke platform e-commerce, dan dukungan modal tentu ini akan mempercepat pertumbuhan ekonomi rakyat kecil.
Contoh nyata dari keberhasilan ekonomi kreatif dapat kita lihat dari Korea Selatan. Negara ini dulunya dikenal sebagai negara berkembang yang miskin sumber daya alam.
Namun melalui investasi besar-besaran di sektor budaya, musik (K-pop), film, kuliner, hingga game, kini Korea sekarang menjadi salah satu raksasa ekonomi kreatif dunia. Industri hiburannya tidak hanya berkontribusi pada PDB yang hebat, tetapi juga memperkuat identitas dan citra mereka di mata dunia (https://unctad.org/news/k-pop-blueprint-drawing-inspiration-south-koreas-creative-industries).
Baca juga: Soal Dinas Ekonomi Kreatif, Ampon Man: Pemerintah Aceh Akan Sesuaikan dengan Kementerian Ekraf
Antara Aceh dan Bandung
Contoh lain berasal dari Kota Bandung, Indonesia, yang diakui oleh UNESCO sebagai kota kreatif di area desain. Kota ini berhasil memanfaatkan potensi anak muda dalam desain grafis, fashion, dan arsitektur untuk membangun ekosistem ekonomi kreatif yang hidup.
Pemerintah Kota Bandung juga secara aktif mempromosikan inkubasi kreatif peralatan bisnis, menyediakan co-working space dan membuka akses pasar untuk produk lokal.
Bandung pun mempetahankan sebagai tujuan wisata “Kota Mode” di Indonesia. Outlet pakaian dan cemilan kreatif sebagai oleh-oleh dapat dengan mudah ditemui hampir di semua sudut Kota Bandung.
Uang pun mengalir deras ke Bandung dari tamu berdatangan, terutama di akhir pekan. Semua jalan dari Jakarta menuju Bandung, baik via Puncak maupun Tol Cipularang, dipastikan padat merayap setiap akhir pekan.
Jika Aceh mampu menggali potensi ekonomi kreatifnya dengan dukungan kebijakan pemerintah, pendidikan yang relevan, serta akses teknologi, maka bukan mustahil provinsi ini bisa keluar dari jerat kemiskinan dan menjadi pusat ekonomi kreatif berbasis budaya Islam yang kuat di Asia Tenggara.
Staf Khusus (Stafsus) Menteri Ekonomi dan Kreatif (Ekraf), Rian Syaf mengatakan, Aceh masuk dalam 15 provinsi prioritas pengembangan ekonomi kreatif dari total 38 provinsi se-Indonesia.
Menurutnya, kesempatan ini harus dimanfaatkan oleh Aceh dalam mengembangkan ekonomi kreatif jangka panjang yang tidak hanya mengandalkan insentif pemerintah, namun juga bisa mandiri secara ekonomi serta membuka lapangan kerja bagi masyarakat luas, dan itu mesti dimulai dari daerah. (www.https://aceh.tribunnews.com/2025/03/24/aceh-masuk-dalam-15-provinsi-prioritas-ini-kata-stafsus-menteri-ekonomi-kreatif.)
Ekonomi kreatif mengandalkan kreativitas, inovasi, dan pemanfaatan keterampilan individu sebagai penggerak ekonomi. Konsep ini terdengar menjanjikan, terutama karena dapat menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis komunitas.
Di Aceh, sektor-sektor seperti kuliner, kerajinan tangan, budaya, wisata agama dan tsunami, serta industri digital memiliki peluang besar untuk berkembang.
Namun, apakah potensi ini sudah dimanfaatkan secara maksimal?
Apakah dinas-dinas terkait, terutama Dinas Koperasi UKM, Dinas Pariwisata, Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Badan Promosi dan Investasi sudah memiliki blue print dan road map tentang ini?
Itulah beberapa pertanyaan yang mesti ditanyakan pada Gubernur Aceh Muzakir Manaf.
“Jika Pemerintah Aceh belum menyusun blue print pembangunan ekonomi kreatif untuk Aceh, maka dipastikan ia masih jauh panggang dari api alias omong kosong,” kata dosen kami Hasan Basri M Nur dalam membahani mahasiswa untuk menulis artikel opini di FDK UIN Ar-Raniry.
Baca juga: Majukan Ekonomi Kreatif di Aceh, UIN Ar-Raniry Siap Jadi Mitra Strategis Kemenekraf
Tantangan Nyata di Lapangan
Realitanya, mengembangkan ekonomi kreatif di Aceh bukan perkara mudah. Banyak pelaku usaha kecil yang kesulitan mendapatkan modal, akses pasar, serta dukungan teknologi.
Pemerintah memang sering mengadakan pelatihan dan seminar, tetapi apakah hasilnya benar-benar berdampak signifikan bagi masyarakat bawah? Banyak program ekonomi kreatif yang akhirnya hanya berhenti di tahap perencanaan tanpa implementasi yang jelas.
Mengembangkan ekonomi kreatif di Aceh tidak semudah membalik telapak tangan. Tantangan yang dihadapi sangat kompleks dan berlapis. Berikut beberapa tantangan utama yang nyata di lapangan:
1. Akses Permodalan Terbatas
Banyak pelaku usaha mikro dan kecil di Aceh kesulitan mendapatkan pembiayaan. Perbankan sering mensyaratkan agunan dan rekam jejak usaha yang belum dimiliki oleh pelaku ekonomi kreatif pemula.
Berdasarkan data BPS tahun 2023, jumlah perusahaan industri skala mikro di Aceh mencapai 106.527 unit, sedangkan industri kecil sebanyak 3.999 unit. (www.aceh.bps.go.id)
2. Minimnya Literasi Digital dan Teknologi
Proporsi individu yang menggunakan internet di Aceh masih tergolong rendah. Pada tahun 2019, baru 35,60 persen penduduk Aceh yang menggunakan internet secara aktif (www.aceh.bps.go.id). Ini tentu menghambat pemanfaatan teknologi digital sebagai sarana promosi dan distribusi produk kreatif.
3. Kualitas dan Daya Saing Produk
Produk ekonomi kreatif Aceh sering terkendala dalam hal kualitas, kemasan, dan inovasi. Tanpa dukungan terhadap riset dan pengembangan, sulit bagi produk lokal untuk bersaing di pasar yang lebih luas.
4. Keterbatasan Infrastruktur dan Distribusi
Distribusi barang kreatif dari daerah-daerah terpencil di Aceh menghadapi kendala besar akibat infrastruktur jalan dan logistik yang belum merata. Panjang jalan di Aceh pada 2023 tercatat 23.660 km, tetapi distribusi tetap menjadi tantangan karena kondisi jalannya. (www.aceh.bps.go.id)
5. Kurangnya Pendampingan dan Akses Pasar
Program pelatihan dan pendampingan dari pemerintah belum menyentuh semua kalangan. Data dari BPS Aceh menyebutkan bahwa pendataan lengkap UMKM dan koperasi baru dilakukan bertahap mulai 2022 hingga 2024. (www.aceh.bps.go.id)
6. Pandangan Masyarakat Terhadap Pekerjaan Kreatif
Masih ada stigma bahwa pekerjaan kreatif adalah pekerjaan sampingan atau tidak menjanjikan, sehingga anak muda kurang terdorong untuk terjun secara serius di sektor ini. Perlu ada edukasi dan perubahan pola pikir masyarakat terhadap profesi di bidang ekonomi kreatif.
Peran Pemerintah dan Swasta
Jika ekonomi kreatif benar-benar ingin menjadi solusi, maka peran pemerintah dan sektor swasta harus lebih aktif dan konkret. Pemerintah tidak cukup hanya memberikan seminar dan pelatihan, tetapi juga harus menyediakan akses permodalan yang mudah, regulasi yang mendukung, serta infrastruktur yang memadai.
Di sisi lain, sektor swasta juga perlu dilibatkan dalam ekosistem ekonomi kreatif. Kemitraan antara perusahaan besar dan usaha kecil dapat membuka peluang baru bagi masyarakat lokal. Kolaborasi dengan marketplace digital, misalnya, dapat membantu produk-produk kreatif Aceh menjangkau pasar nasional dan internasional.
Selain itu, Pemerintah Aceh melalui Dinas Pariwisata juga perlu menggerakkan sektor pariwisata yang mampu mendorong wisatawan berkunjung ke Aceh dalam jumlah memadai dan teratur.
Adanya produk ekonomi kreatif, pemasaran secara digital dan arus kunjungan wisatawan nasional (antar-provinsi), regional (terutama Malaysia) dan internasional ke Aceh akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat Aceh dari usaha-usaha UMKM kreatif sehingga ia tidak sekedar omong kosong.
Kesimpulan: Solusi atau Sekedar Wacana?
Ekonomi kreatif memang berpotensi menjadi solusi inovatif dalam mengentaskan kemiskinan di Aceh. Namun, tanpa strategi yang jelas, dukungan yang nyata, dan perubahan pola pikir di masyarakat, ekonomi kreatif hanya akan menjadi sekadar wacana.
Jika kita benar-benar ingin melihat ekonomi kreatif sebagai pilar utama dalam pembangunan Aceh, maka diperlukan langkah konkret, bukan sekadar retorika.
Jadi, apakah ekonomi kreatif benar-benar bisa mengubah nasib masyarakat Aceh?
Jawabannya ada pada keseriusan kita semua, terutama pada instansi pemerintah di bawah Pemerintah Aceh, dalam mengubah wacana menjadi aksi nyata. Semoga!
Banda Aceh, 9 April 2025
Penulis, Fadilah Tria Adinda (Mahasiswi Prodi KPI FDK UIN Ar-Raniry Banda Aceh, email: fadilahadinda1902@gmail.com.)
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Artikel KUPI BEUNGOH lainnya baca DI SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.