Kupi Beungoh

Antara Scroll dan Suara: Digital Well-Being Gen Z yang Kritis Politik

Bukan hal baru jika kita menemukan anak muda yang aktif secara politik, tapi diam-diam bergulat dengan kelelahan emosional.

Editor: Agus Ramadhan
FOR SERAMBINEWS.COM
Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala dan Piskologi UIN Ar-Raniry, Ulya Faizah 

*) Oleh: Ulya Faizah

MENJELANG akhir April 2025, jejak digital Gen Z dalam ranah politik semakin menguat.

Mereka bukan hanya generasi yang tumbuh bersama teknologi, tetapi juga generasi yang menjadikan media sosial sebagai medan perjuangan politik dan sosial.

Mulai dari menyuarakan isu lingkungan, HAM, hingga pengawasan terhadap kebijakan pemerintah, Gen Z hadir sebagai suara-suara lantang yang tak bisa diabaikan.

Namun, di balik semangat membara itu, ada sisi lain yang sering terabaikan yaitu Digital Well-Being mereka.

Di tengah derasnya informasi, notifikasi tanpa jeda, dan dinamika politik yang terus berubah, Gen Z kerap terjebak dalam siklus yang melelahkan secara mental.

Aktivisme digital yang intens bisa dengan mudah berubah menjadi kelelahan digital, kecemasan sosial, hingga kejenuhan yang berujung pada apatisme.

Ironisnya, semakin mereka peduli, semakin besar pula beban mental yang mereka pikul.

Perdebatan sengit di kolom komentar, tekanan untuk selalu update isu terkini, hingga konten-konten yang memicu kemarahan atau kesedihan, semuanya menjadi racikan kompleks yang memengaruhi kesehatan mental mereka.

Bukan hal baru jika kita menemukan anak muda yang aktif secara politik, tapi diam-diam bergulat dengan kelelahan emosional.

Di sinilah pentingnya membicarakan digital well-being secara lebih serius.

Gen Z bukan hanya butuh ruang untuk berbicara, tapi juga ruang untuk bernapas.

Literasi digital harus berkembang ke arah yang lebih utuh dan tidak hanya mengajarkan cara menyaring informasi, tetapi juga cara menjaga jarak dari hal-hal yang menguras energi.

Mereka perlu tahu bahwa mengambil jeda dari dunia maya bukanlah bentuk ketidakpedulian, melainkan strategi bertahan yang sehat.

Peran sekolah, media, bahkan influencer sangat krusial. Kita perlu membentuk ekosistem digital yang tidak toxic.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved