Salam
Benahi Sektor Pertanian di Aceh
Di sisi lain, beras juga komoditas politik. Ketidakstabilan harga atau kelangkaan beras dapat memicu protes yang bisa menjungkalkan kekuasaan.
Sektor pertanian tanaman padi di Aceh berada di persimpangan kritis. Dengan luas lahan sawah mencapai 300.000 hektare beberapa tahun silam, potensi produksi pangan provinsi ini seharusnya menjadi pilar utama ketahanan pangan nasional dan berdampak besar pada kesejahteraan rakyat Aceh. Namun, alih fungsi lahan untuk perumahan terus menggerus lahan produktif, sementara ribuan hektar sawah terbengkalai akibat masalah irigasi dan infrastruktur. Dalam situasi dunia yang penuh ketidakpastian, pemerintah harus segera turun tangan untuk membenahi sektor pertanian ini. Di sisi lain, beras juga komoditas politik. Ketidakstabilan harga atau kelangkaan beras dapat memicu protes yang bisa menjungkalkan kekuasaan.
Salah satu masalah utama adalah ketergantungan pada lahan tadah hujan, yang rentan terhadap kekeringan dan gagal panen. Sebagaimana diberitakan harian ini sebelumnya, di Aceh Utara misalnya, sekitar 8.671 hektar sawah di delapan kecamatan tidak bisa ditanami sejak Bendungan Krueng Pase jebol pada 2020. Petani seperti Muhammad dari Kecamatan Meurah Mulia terpaksa meninggalkan sawah karena ketiadaan aliran air. “Berharap air hujan sudah tidak mungkin. Serangan hama tikus makin parah karena tidak semua petani mau tanam padi,” ujarnya pada Jumat (25/4/2025). Kondisi ini diperparah oleh lambannya perbaikan bendungan, meskipun masalah ini telah dilaporkan hingga ke Presiden Prabowo Subianto melalui Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, dua pekan lalu. Tanpa intervensi cepat, mimpi swasembada pangan di Aceh Utara hanya akan menjadi angan.
Pemerintah harus menjadikan pertanian sebagai prioritas utama. Visi ketahanan pangan nasional yang digaungkan Presiden Prabowo, ditandai dengan berhentinya impor beras berkat lonjakan produksi dalam negeri, harus diwujudkan di daerah seperti Aceh. Infrastruktur irigasi yang memadai, pasokan pupuk yang mudah didapat, dan pengendalian alih fungsi lahan adalah langkah konkret yang tidak boleh ditunda. Bendungan yang rusak harus segera diperbaiki, dan saluran irigasi perlu direvitalisasi untuk mengairi lahan tadah hujan yang kini terlantar. Selain itu, pemerintah harus melibatkan petani dalam perencanaan dan memberikan solusi nyata.
Petani seperti Martunis di Aceh Utara, yang beralih menanam jagung dan timun karena sawah tak lagi produktif, adalah potret ketangguhan sekaligus keputusasaan. Mereka tidak ingin meninggalkan pertanian, tetapi terpaksa mencari alternatif karena sistem yang tidak mendukung. Bertahun-tahun tidak ada yang peduli dengan kondisi mereka.
Padahal, sektor pertanian bukan hanya soal produksi pangan, tetapi juga identitas budaya dan stabilitas ekonomi masyarakat. Makanya jika lahan terus terbengkalai, dampaknya begitu besar. Kondisi demikian tentu tidak hanya di Aceh Utara. Pemerintah Aceh juga harus memberikan perhatian kepada kabupaten lain seperti Pidie, Aceh Besar, dan lainnya. Banyak lahan bertahun-tahun telantar dan tak bisa dioptimalkan untuk sektor pertanian.
Dalam konteks dunia yang sedang tidak baik-baik saja, Aceh harus bangkit sebagai lumbung pangan. Pemerintah provinsi dan pusat perlu berkolaborasi, menghentikan alih fungsi lahan, dan memastikan setiap hektar sawah produktif. Dengan irigasi yang baik, dukungan ketersediaan pupuk, Aceh bisa menjadi teladan swasembada pangan. Saatnya bertindak, sebelum peluang ini hilang ditelan waktu.(*)
POJOK
Gaza diambang kematian massal
HAM ternyata punya syarat: Hanya berlaku untuk negara Barat
DPRK Nagan Raya rekom tambang batu bara disegel
Moga-moga bukan balas dendam!
Sampah sudah menjadi persoalan di Aceh
Pemerintah jangan kalah sama pemulung
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.