Kupi Beungoh
Waspada Pelecehan Berselimut Candaan di Media Sosial
Meskipun di dunia maya, namun kekerasan yang terjadi di dalamnya meninggalkan luka yang sangat nyata.
Oleh Syifaul Nazila *)
Pernahkah kamu membaca komentar seperti “tobrut” di media sosial? Atau barangkali lebih familiar dengan kalimat seperti, “Ada yang bulat tapi bukan tekad, ada yang menonjol tapi bukan bakat,”?
Frasa-frasa seperti ini tampak sepele, bahkan sering dianggap lucu.
Tapi coba renungkan kembali, adakah sisi kelucuan dari sebuah komentar yang secara terang-terangan merendahkan tubuh perempuan dan menjadikannya objek seksual?
Di balik layar ponsel, laptop, dan jaringan internet, ruang digital Indonesia sedang menghadapi darurat kekerasan yang kerap tak terlihat mata, atau yang biasa dikenal dengan sebutan Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO).
Meskipun di dunia maya, namun kekerasan yang terjadi di dalamnya meninggalkan luka yang sangat nyata.
Tidak ada yang benar-benar “maya” bagi korban, karena yang mereka rasakan adalah ketakutan, trauma, kehilangan rasa aman, dan dalam banyak kasus, berdampak hingga ke dunia nyata.
Komnas Perempuan mencatat bahwa sepanjang tahun 2022 terdapat 1.697 kasus KGBO.
Angka ini naik dibanding tahun sebelumnya dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Namun angka ini sesungguhnya bukan gambaran utuh.
Banyak korban memilih diam. Alasannya? Mulai dari rasa malu, takut disalahkan, hingga tidak tahu harus melapor ke mana.
Masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memahami bahwa pelecehan seksual tidak harus terjadi secara langsung di ruang publik.
Banyak juga yang belum menyadari bahwa apa yang mereka alami atau bahkan mereka lakukan adalah bentuk kekerasan seksual.
Secara global, masalah ini tak kalah mengkhawatirkan. Survei yang dilakukan Plan International pada tahun 2020 terhadap 14.000 perempuan muda di 31 negara menunjukkan bahwa 58 persen pernah mengalami pelecehan di dunia maya.
Separuh dari mereka mengatakan bahwa pelecehan di ruang digital lebih sering mereka alami dibanding pelecehan di ruang publik.
Ini mengindikasikan bahwa platform digital yang seharusnya menjadi media ekspresi diri, justru menjadi ladang subur kekerasan seksual.
Refleksi 20 Tahun Damai Aceh: Menanti Peran Anak Syuhada Menjaga Damai Aceh Lewat Ketahanan Pangan |
![]() |
---|
Utang: Membangun Negeri atau Menyandera Masa Depan? |
![]() |
---|
Melihat Peluang dan Tantangan Potensi Migas Lepas Pantai Aceh |
![]() |
---|
Dua Dekade Damai, Rakyat Masih Menanti Keadilan Pengelolaan Sumber Daya Alam |
![]() |
---|
Kampung Haji Indonesia dan Wakaf Baitul Asyi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.