Kupi Beungoh
Waspada Pelecehan Berselimut Candaan di Media Sosial
Meskipun di dunia maya, namun kekerasan yang terjadi di dalamnya meninggalkan luka yang sangat nyata.
Kekerasan gender berbasis online sering kali tersembunyi dalam bentuk-bentuk yang dianggap wajar atau bahkan lucu.
Istilah “tobrut atau singkatan dari “toket brutal” adalah salah satu contohnya.
Komentar ini kerap muncul di kolom komentar konten video perempuan, entah karena mereka berpakaian tertentu, sedang berjoget, atau sekadar berbicara di depan kamera.
Sementara sebagian orang menganggapnya guyonan, korban justru mengalami tekanan psikis.
Ini bukan sekadar “candaan”, ini adalah bentuk verbal sexual harassment yang membidik tubuh perempuan dan menjadikannya objek hiburan. Pertanyaannya, dimanakah letak lucunya?
Bahasa semacam ini bukan sekadar tidak sopan. Ia mengandung kekerasan simbolik yang terus-menerus menciptakan stigma, memperkuat stereotip, dan melemahkan posisi perempuan di ruang publik.
Perempuan akhirnya terpaksa membatasi diri, menyensor diri, atau bahkan keluar dari media sosial demi menjaga kesehatan mentalnya. Diulang terus menerus, komentar seperti ini menciptakan atmosfer yang tidak aman bagi perempuan di ruang digital.
Lebih parah lagi, ia bisa menjadi pintu masuk bagi bentuk kekerasan seksual secara langung.
Jika ditelusuri lebih dalam, KGBO adalah cerminan dari kekuasaan yang timpang dalam masyarakat patriarki.
Dunia digital, meski terlihat netral, sesungguhnya tidak bebas nilai. Ia membawa serta bias, budaya, dan cara pandang dunia nyata ke dalam ranah daring.
Maka tidak mengherankan jika kekerasan terhadap perempuan tetap subur di platform-platform digital.
Dalam masyarakat yang terbiasa melihat perempuan sebagai objek, platform digital hanya memperbesar skala dan kecepatannya. Komentar seksis bisa menyebar dalam hitungan detik, diperkuat algoritma, dan diulang oleh ratusan bahkan ribuan pengguna lain.
Sebuah unggahan yang seharusnya menjadi bentuk ekspresi diri bisa berubah menjadi ladang serangan verbal.
Sayangnya, banyak yang memilih menyalahkan korban, “Ngapain juga tampil begitu?” atau “Salah sendiri, upload video joget-joget.”
Mentalitas victim blaming ini tidak hanya memperburuk kondisi korban, tapi juga memperkuat kekuasaan pelaku.
Refleksi 20 Tahun Damai Aceh: Menanti Peran Anak Syuhada Menjaga Damai Aceh Lewat Ketahanan Pangan |
![]() |
---|
Utang: Membangun Negeri atau Menyandera Masa Depan? |
![]() |
---|
Melihat Peluang dan Tantangan Potensi Migas Lepas Pantai Aceh |
![]() |
---|
Dua Dekade Damai, Rakyat Masih Menanti Keadilan Pengelolaan Sumber Daya Alam |
![]() |
---|
Kampung Haji Indonesia dan Wakaf Baitul Asyi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.