Kupi Beungoh

Waspada Pelecehan Berselimut Candaan di Media Sosial

Meskipun di dunia maya, namun kekerasan yang terjadi di dalamnya meninggalkan luka yang sangat nyata.

Editor: Firdha Ustin
FOR SERAMBINEWS.COM
Syifaul Nazila, Anggota Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN-A) dan Mahasiswa Ilmu Keperawatan USK 

Jawabannya adalah semua pihak. Indonesia sebenarnya telah memiliki sejumlah regulasi yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku kekerasan daring, antara lain Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), KUHP, serta UU Penghapusan Kekerasan Seksual (TPKS).

Namun implementasinya belum maksimal. Banyak kasus yang berhenti di tahap pelaporan.

Oleh karena itu, selain memperbaiki regulasi, kita juga butuh pendekatan yang berpihak pada korban, termasuk penyediaan layanan bantuan hukum, psikologis, dan pendampingan selama proses pelaporan.

Sudah terlalu sering kita melihat korban harus “membuat kegaduhan” dulu di media sosial agar mendapatkan perhatian. Harus membuat thread panjang, menangis di video, atau bahkan membuka luka lama secara publik.

Barulah aparat, masyarakat, dan media merespons. Mau sampai kapan? Keadilan tidak boleh bersyarat viral. Kita tidak bisa terus mengandalkan perhatian massa sebagai satu-satunya alat perlawanan.

Negara, institusi, dan masyarakat harus punya sistem yang menjamin keamanan dan keadilan sejak awal, bukan setelah ramai.

Perlu disadari, tanggung jawab menciptakan ruang digital yang aman tidak bisa dibebankan pada korban semata.

Memblokir akun pelaku, menghapus komentar, atau menghindari media sosial hanya menyelesaikan permukaan masalah.

Akar persoalannya ada pada budaya permisif terhadap pelecehan, serta minimnya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan secara online.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, mulai dari diri sendiri.

Stop menggunakan istilah atau komentar yang merendahkan, seksis, dan melecehkan.

Kedua, edukasi publik tentang KGBO harus diperluas, khususnya bagi generasi muda pengguna aktif media sosial.

Literasi digital tidak cukup hanya sebatas cara menggunakan teknologi, tapi juga etika dan nilai kemanusiaan di dalamnya.

Ketiga, dorong platform digital untuk bertanggung jawab. 

Algoritma media sosial harus diberi tekanan untuk tidak memperkuat konten pelecehan.

Laporan pengguna harus ditindaklanjuti dengan serius, bukan hanya formalitas. Keempat, negara tidak bisa diam. Regulasi perlindungan pengguna, khususnya perempuan, harus diperkuat.

Aparat penegak hukum perlu pelatihan khusus agar mampu menangani kasus KGBO dengan perspektif gender yang adil dan empatik.

Ini bukan sekadar tentang konten viral. Ini tentang arah budaya kita ke depan.

Apakah kita ingin membentuk generasi yang kebal empati dan menganggap kekerasan sebagai hiburan? Atau kita ingin membangun masyarakat yang peduli, beradab, dan menolak normalisasi kekerasan, dalam bentuk apa pun?

Mari mulai dari hal kecil.

Tidak menertawakan konten seksis, tidak ikut menyebarkan video yang melecehkan, tidak menyalahkan korban.

Mari lebih banyak mendengar, lebih banyak mendukung, dan lebih banyak bersuara. Karena bercanda dan pelecehan adalah dua hal yang sangat berbeda.

Dan jika kita tak bisa membedakannya, barangkali kitalah masalahnya.

Sudah saatnya kita berhenti menunggu korban untuk viral agar masalah ini mendapat perhatian.

Kita harus bergerak sekarang sebelum lebih banyak lagi yang terluka dalam diam. (*)

*) PENULIS adalah Anggota Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN-A) dan Mahasiswa Ilmu Keperawatan USK

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved