Salam
Dukung Aparat Berantas Pungli
Pungli sering kali menimpa pedagang kecil yang sudah berada di posisi rentan, sementara pelaku pungli (misalnya, oknum petugas pasar atau preman)
Pungutan liar (pungli) bagaikan benalu yang menggerogoti kehidupan masyarakat. Dilakukan secara diam-diam atau bahkan terang-terangan, praktik ini merajalela di berbagai sektor, mulai dari pendidikan hingga ekonomi. Yang paling memprihatinkan adalah aksi premanisme ekonomi yang menyasar pedagang kecil, seperti pedagang kaki lima. Pungli ini bukanlah masalah kecil.
Pungli sering kali menimpa pedagang kecil yang sudah berada di posisi rentan, sementara pelaku pungli (misalnya, oknum petugas pasar atau preman) memanfaatkan kekuasaan atau otoritas mereka. Ini menciptakan ketidakadilan, di mana kelompok miskin terus ditekan, sementara pelaku pungli mendapatkan keuntungan tanpa kerja keras. Jika penegak hukum membiarkan pungli berlangsung di depan mata, maka hal tersebut sama saja dengan membiarkan pelecehan dan diskriminasi terhadap hak-hak warga.
Baru-baru ini, langkah tegas aparat kepolisian di Aceh Utara patut diapresiasi. Dalam operasi pada 15-16 Mei 2025, Satuan Tugas Anti Premanisme Polres Aceh Utara berhasil mengamankan empat pelaku pungli di dua lokasi berbeda. Di Kecamatan Tanah Luas, dua pria berinisial AF (42) dan MJ (36) diduga memungut iuran bulanan Rp 20.000 hingga Rp 50.000 dari sekitar 70 pedagang sejak 2023. Pungutan ini, meski diklaim sebagai "kesepakatan", jelas mengandung unsur pemaksaan dan intimidasi. Sementara di Kota Panton Labu, Kecamatan Tanah Jambo Aye, dua pelaku lain, A (42) dan T (39), memeras pedagang dengan tarif harian Rp 2.000, mengatasnamakan organisasi kepemudaan.
“Praktik ini tidak bisa ditoleransi. Meski berkedok iuran keamanan atau kesepakatan, pungli adalah tindakan kriminal yang merugikan masyarakat,” tegas AKP Dr Boestani SH MH MSM, Kepala Satuan Tugas Penegakan Hukum Anti Premanisme Polres Aceh Utara, kepada Serambi, Sabtu (17/5/2025). Keempat pelaku kini menjalani pemeriksaan intensif dan dikenakan wajib lapor sembari menunggu proses hukum lebih lanjut.
Operasi ini adalah bukti nyata komitmen aparat untuk memberantas premanisme dan pungli. Namun, keberhasilan pemberantasan tidak hanya bergantung pada polisi. Masyarakat memiliki peran besar. Keberanian untuk melapor menjadi kunci. Polres Aceh Utara telah membuka saluran pengaduan, termasuk layanan darurat 110, untuk memudahkan warga melaporkan aksi pungli, terutama yang disertai ancaman. “Jangan takut melapor. Tidak ada tempat bagi premanisme, siapa pun pelakunya,” ujar Boestani dengan tegas.
Pungli bukan hanya soal uang, tetapi juga tentang martabat. Setiap rupiah yang dipungut secara paksa adalah bentuk perampasan hak dan kebebasan. Pedagang kecil, yang berjuang mencari nafkah di tengah kondisi ekonomi Aceh yang sulit, tidak seharusnya menjadi korban pemerasan. Oleh karena itu, kita mendukung penuh upaya aparat penegak hukum. Masyarakat juga harus diajak untuk tidak bungkam. Harus ada suara lantang untuk melawan praktik culas ini.
Pemberantasan pungli membutuhkan kerja sama semua pihak. Pemerintah, aparat hukum, dan masyarakat harus bersinergi. Operasi di Aceh Utara adalah langkah awal yang menggembirakan, tetapi perjuangan ini masih panjang.
Pemberantasan pungutan liar (pungli) harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan, bukan hanya bersifat musiman atau sekadar menjalankan perintah dari Jakarta. Upaya ini perlu menjadi komitmen bersama di semua tingkatan. Jika pungli dibiarkan terus berulang dan meluas, maka akan menciptakan budaya korupsi yang sulit diberantas.(*)
POJOK
Wagub berharap Aceh jadi pusat embarkasi jamaah haji Indonesia
Semoga ‘mimpi’ ini ditunjang dengan perbaikan fasilitas, termasuk kapasitas bandara
RS di Gaza kehabisan kain kafan
Kita di sini juga kehabisan kata-kata...
Wamen Sosial: Siswa miskin di sekolah rakyat dibekali iPad
Semoga menjadi kenyataan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.