Breaking News

Kupi Beungoh

Belajar Dari Pengelolaan Zakat di Lembaga Zakat Dunia

Saat itulah sistem zakat mulai diatur secara rinci dimana mencakup jenis harta yang dizakati, nisab, haul, serta golongan penerima zakat siapa saja.

Editor: Agus Ramadhan
FOR SERAMBINEWS.COM
Aklima Mardiana, mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh 

*) Oleh: Aklima Mardiana

SETIAP kali berbicara tentang kemiskinan dan ketimpangan sosial di Indonesia, zakat hampir selalu menjadi kata kunci yang kembali digaungkan.

Sebagai bagian dari rukun Islam yang ke tiga zakat memang tidak hanya dimaknai sebagai ibadah individual, tetapi juga sebagai instrumen ekonomi dan sosial yang mampu mendorong distribusi kekayaan secara adil.

Sayangnya, di negeri ini, potensi zakat yang sangat besar belum sepenuhnya dikelola dengan optimal.

Dilihat dari historis sejarah kewajiban zakat ini mulai ditegaskan secara formal setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, yaitu sekitar tahun 2 Hijriah atau 623 Masehi, pada abad ke-7. 

Saat itulah sistem zakat mulai diatur secara rinci dimana mencakup jenis harta yang dizakati, nisab, haul, serta golongan penerima zakat siapa saja didalamnya. 

Zakat merupakan “Pembersih” yang dimana tidak hanya sebagai pembersih harta tetapi sekaligus sebagai pembersih jiwa.

 Dalam Islam Zakat itu hukumnya wajib bagi yang mampu yang hartanya sudah mencapai nisab.

Zakat merupakan kewajiban ibadah Maliyah (harta) yang ditegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 43:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Artinya: "Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang - orang yang rukuk."

Data menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar zakat melalui lembaga resmi masih tergolong rendah.

Banyak yang lebih memilih menyalurkan zakat langsung kepada tetangga atau kerabat, ketimbang mempercayakannya kepada badan atau lembaga zakat resmi.

Di sisi lain, beberapa lembaga zakat pun belum sepenuhnya menunjukkan transparansi dan efisiensi yang memadai.

Biaya operasional yang tinggi, data mustahik yang tidak akurat, serta kurangnya pelaporan publik menjadi sederet persoalan yang terus membayangi.

Namun, tantangan ini bukan berarti tak ada jalan keluar. Sejumlah negara muslim telah lebih dulu membuktikan bahwa zakat bisa dikelola secara profesional, transparan, bahkan modern. Kita bisa belajar dari negara – negara tersebut.

Ambil contoh negara Pakistan yang menerapkan sistem zakat yang bersifat sentralistik dan wajib.

Zakat ditarik langsung dari rekening bank umat Islam yang telah mencapai nisab. Penolakan terhadap kewajiban ini bisa dikenai sanksi administratif.

Proses pengelolaan zakat dilakukan oleh kementerian khusus dan dewan zakat di tingkat provinsi. Hasilnya, pengumpulan zakat berjalan otomatis dan terorganisasi.

Lalu lihat bagaimana Malaysia mengelola zakat dengan pendekatan yang lebih modern.

Masing -masing negara bagian memiliki lembaga zakat tersendiri di bawah pengawasan Majlis Agama Islam Negeri (MAIN).

Pembayaran bisa dilakukan secara daring, bahkan lewat aplikasi ponsel. Meski bersifat sukarela, sistem digitalisasi dan kesadaran yang dibangun membuat kepatuhan masyarakat cukup tinggi.

Beberapa MAIN memberlakukan denda administratif atau pelaporan bagi muzakki yang tidak membayar zakat, terutama bagi ASN atau karyawan yang tercatat dalam sistem penggajian otomatis.

Di Arab Saudi zakat dikelola melalui lembaga resmi yang juga menangani pajak dan bea cukai.

Menariknya zakat perusahaan menjadi bagian dari regulasi komersial. Perusahaan yang tidak patuh bisa dikenai sanksi hingga pembekuan izin usaha.

Kebijakan ini menunjukkan bahwa zakat tidak hanya urusan personal, tapi juga bagian dari kewajiban bisnis dan tata kelola negara diarab saudi.

Sedangkan di Sudan zakat dijadikan bagian dari kebijakan fiskal nasional. Pemerintah melalui lembaga bernama Diwan Al-Zakah memegang kendali penuh atas pengumpulan dan distribusi zakat.

Tidak hanya mengatur, lembaga ini juga memiliki wewenang hukum untuk menindak pelanggaran yang ada dinegara tersebut.

Zakat di sana menyatu dalam sistem anggaran negara untuk membiayai program - program pengentasan kemiskinan.

Dari keempat contoh di atas, terlihat bahwa peran negara sangat menentukan dalam efektivitas pengelolaan zakat.

Pakistan dan Sudan menunjukkan pentingnya keterlibatan pemerintah dalam penghimpunan.

Malaysia dan Arab Saudi menekankan pentingnya sistem yang profesional dan teknologi digital yang memudahkan serta meningkatkan akuntabilitas. 

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Mengapa negara dengan mayoritas Muslim terbesar ini belum berhasil memaksimalkan zakat sebagai kekuatan ekonomi umat Islam?

Mungkin kita perlu jujur bahwa sebagian masalah terletak pada aspek tata kelola seperti tidak adanya sanksi hukum yang kuat bagi muzaki yang tidak menunaikan zakat (berbeda dengan pajak).

Kita belum memiliki sistem yang benar - benar terintegrasi, data yang akurat atau sistem pelaporan yang transparan.

Belum lagi pendekatan lembaga zakat kita masih kerap bersifat administratif belum menyentuh wilayah teknologi, inovasi, dan kemitraan strategis yang lebih luas.

Kemudiaan Aceh sebagai satu - satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam secara formal, seharusnya menjadi pelopor dalam pengelolaan zakat.

Namun faktanya, masih banyak kendala yang dihadapi. Mulai dari regulasi qanun yang belum relevan (seperti penyebutan "budak" dalam kategori mustahik), minimnya sosialisasi, keterbatasan teknologi, hingga rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap Baitul Mal.

Indonesia dan Aceh punya potensi besar zakat sebagai alat pemberdayaan umat. Namun, pengelolaannya masih terkendala regulasi, tata kelola, dan partisipasi masyarakat. Aceh perlu perbaikan hukum dan sistem digital.

Penataan ulang pengelolaan zakat dengan regulasi jelas dan teknologi modern sangat penting agar zakat bisa berperan maksimal dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan.

Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, sejatinya memiliki modal sosial dan ekonomi yang sangat kuat untuk menjadikan zakat sebagai instrumen keuangan Islam yang strategis.

Namun dari pengelolaan zakat di Indonesia masih belum sepenuhnya mencerminkan potensi tersebut.

Ketidakefisienan operasional, rendahnya partisipasi masyarakat, serta lemahnya regulasi dan sistem tata kelola menjadi kendala utama yang terus berulang dari tahun ke tahun.

Padahal, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan berbagai Lembaga Amil Zakat (LAZ) telah menunjukkan komitmen besar melalui pengembangan Standar Tata Kelola Syariah (SGS).

Standar ini terdiri dari enam pilar utama dan puluhan sub-standar yang secara ideal dapat menjamin bahwa proses pengumpulan, pengelolaan, hingga distribusi zakat berjalan secara akuntabel, transparan, dan sesuai syariah.

Namun sayangnya, penerapan standar ini masih belum merata di seluruh lembaga zakat, terlebih lagi pada level daerah - daerah.

Di sinilah kita menemukan tantangan paling mendasar kegagalan dalam memperkuat institusionalisasi dan legalitas zakat sebagai sistem fiskal Islam yang utuh.

Dalam praktiknya, masih banyak wilayah di Indonesia yang memperlakukan zakat sebatas praktik ibadah individu saja bukan sebagai kewajiban publik yang memerlukan sistem regulasi dan tata kelola setingkat dengan pajak atau instrumen keuangan negara lainnya.

Aceh yang menerapkan syariat Islam secara formal semestinya dapat menjadi laboratorium zakat nasional.

Namun dalam kenyataannya, Aceh pun menghadapi masalah serupa. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal, sebagai regulasi dasar pengelolaan zakat masih menyisakan banyak ruang pembenahan.

Beberapa pasal terkesan tidak kontekstual dengan realitas sosial hari ini, seperti penggunaan istilah “budak” dalam kategori mustahik, atau definisi “usaha” yang terlalu umum.

Yang lebih penting lagi, qanun tersebut belum mengatur secara tegas sanksi bagi muzakki yang tidak menunaikan kewajibannya.

Dimana minimnya penegakan hukum dalam urusan zakat menjadi salah satu titik lemah yang membuat tingkat kepatuhan Masyarakat menjadi rendah.

Tanpa instrumen hukum yang tegas diprediksikan zakat akan terus diperlakukan sebagai pilihan moral individual untuk beberapa tahun kedepan, bukan sebagai kewajiban yang berdampak pada ekonomi umat secara luas.

Ini berbeda jauh dari model negara seperti Pakistan atau Sudan yang menjadikan zakat sebagai bagian dari kerangka hukum fiskal yang bersifat mengikat.

Selain aspek hukum tata kelola juga menjadi tantangan krusial di Aceh. Banyak laporan menunjukkan bahwa Baitul Mal di tingkat kabupaten/kota masih kekurangan SDM yang kompeten, infrastruktur teknologi yang lemah, dan sistem informasi yang belum terintegrasi.

Hal ini berdampak pada lemahnya pendataan mustahik, minimnya transparansi laporan keuangan, dan distribusi zakat yang belum sepenuhnya tepat sasaran.

Untuk menjadikan zakat sebagai sistem keuangan Islam yang kokoh, maka arah kebijakan di Aceh dan Indonesia secara umum harus digeser dari pendekatan seremonial ke arah pendekatan kelembagaan dan struktural.

Dimana regulasi zakat harus lebih adaptif dan progresif. Lembaga zakat harus memiliki mandat yang kuat dan dilengkapi dengan sistem audit independen, ada supervisi yang transparan serta dukungan teknologi digital agar bisa menjangkau lebih banyak muzaki dan mustahik secara adil dan tertata dengan rapi.

Penting juga untuk membuka ruang kolaborasi lintas sektor dimana ada pemerintah, akademisi, ulama, dan pelaku industri keuangan syariah.

 Tanpa sinergi multipihak pengelolaan zakat akan selalu berjalan di tempat, padahal tantangan sosial ekonomi umat terus berkembang apalagi pada era global saat ini.

Zakat bukan hanya instrumen ibadah tetapi juga ada amanah publik. Ia harus dikelola dengan standar yang tinggi, regulasi yang jelas, dan orientasi pembangunan yang berkeadilan.

Jika Aceh mampu memperkuat kerangka hukumnya dan menata ulang tata kelola zakat secara lebih professional, maka ada kemungkinan Aceh bisa menjadi contoh sukses pengelolaan zakat berbasis syariah yang sesungguhnya bukan hanya simbolik tapi berdampak nyata bagi pemberdayaan umat dimana bisa kita liat pada kesejahteraan seluruh Masyarakat dan bisa memberantas angka kemiskinan.

Zakat juga bisa menjadi kekuatan ekonomi yang mampu menggerakkan pemberdayaan dan menghadirkan solusi riil atas ketimpangan yang terus membesar.

Namun untuk mewujudkan peran itu, kita tidak cukup hanya dengan kampanye kesadaran. Kita butuh lompatan besar dalam sistem, regulasi dan inovasi tata Kelola yang baru.

Zakat seharusnya tidak hanya berhenti pada memberi saja tapi juga membangun. Agar itu tercapai, ada lima langkah strategis yang perlu segera dilakukan: pertama, revisi regulasi zakat di tingkat lokal agar lebih relevan dan aplikatif.

Kedua, meningkatkan literasi zakat melalui sosialisasi yang dilakukan secara aktif, media digital dan pendidikan berbasis komunitas.

Ketiga, adopsi teknologi digital secara menyeluruh dalam sistem penghimpunan, distribusi, dan pelaporan.

Keempat, penguatan kapasitas SDM melalui pelatihan dan rekrutmen profesional. Dan kelima, memperkuat transparansi dan akuntabilitas lembaga zakat termasuk laporan keuangan terbuka dan audit independen.

Langkah lebih jauh, bisa dengan diperlukan regulasi nasional yang tegas dan integrasi zakat ke dalam sistem fiskal negara, termasuk kolaborasi dengan sistem perpajakan dan perbankan, kemudian memberikan sansi berupa hukuman atau denda apabila zakat tidak dibayarkan.

Dengan begitu, zakat bisa menjadi instrumen pemerataan sosial dan pembangunan ekonomi umat yang terukur dan berkelanjutan.

Jika zakat dikelola dengan standar tinggi, profesionalisme, dan integritas, maka ini akan berdampak positif bagi negara dan Masyarakat apalagi pada keadaan saat ini dengan keadaan ekonomi yang sulit akan saangat membantu dan bisa menjadi jantung dari keuangan Islam dan kesejahteraan umat.

Indonesia dan Aceh punya potensi besar untuk itu tinggal keberanian untuk berbenah dan bergerak bersama menuju kebangkitan ekonomi. (*)

*) PENULIS adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved