KUPI BEUNGOH

Tanah dan Marwah Bagi Orang Aceh

Sebagai Warga Negara Indonesia yang lahir di Aceh, sepertinya terlampau lelah warga di provinsi paling barat

|
Editor: Nur Nihayati
For Serambinews.com
Muhammad Alkaf 

 

Oleh: Muhammad Alkaf *)

KALAU saja Mendagri, Tito Karnavian, tidak ngotot dalam merespon polemik hilangnya empat pulau di Provinsi Aceh, tentu esai ini tidak ditulis.

Bagi saya, setelah GAM membatalkan keinginan untuk merdeka, lalu menerima tawaran otonomi khusus dari Pemerintah Pusat, maka hanya ada satu identitas: Indonesia, dengan Aceh di dalamnya.

Sebagai Warga Negara Indonesia yang lahir di Aceh, sepertinya terlampau lelah warga di provinsi paling barat ini berteriak di setiap zaman hanya untuk mengatakan bahwa mereka ada.

Tanpa bermaksud minta diistimewakan, relasi "Aceh" dengan "Jakarta" bukanlah dalam situasi normal antara pusat dan daerah. Betapa pun hal tersebut hendak dilakukan selama berdekade sejak Republik ini lahir. Acap kali usaha itu dilakukan, acap pula riak yang berujung ke gelombang hadir menerjang.

Baca juga: 20 Opini Karya Siswa di Aceh Utara Lolos di Kegiatan Ramadhan, Ini Nama-nama Juaranya

Apa yang dipikirkan oleh enam orang terkemuka di Aceh pada bulan Oktober 1945 ketika dukungan kepada proklamasi kemerdekaan Indonesia diberikan? Ada empat ulama yang mewakili orientasi keislaman orang Aceh sejak awal abad ke dua puluh dan dua bangsawan terkemuka yang menandatangani maklumat itu.

Maklumat Ulama Aceh itu dinyatakan dua bulan setelah Sukarno-Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan dan satu bulan setelah Raja Jawa terakhir, Hamengkubowono IX, menyatakan dukungan secara the jure dan the facto kepada negara Indonesia yang baru saja lahir.

Tiga peristiwa politik itu menjadi penanda zaman baru yang datang. Orang Indonesia, yang selama masa kolonial menjadi tukang lap keringat bangsa Eropa dan Asia Timur, tidak lagi sama. Suara lantang Sukarno yang datang dari Jawa, Bengkulu sampai Ende telah membawa kesadaran baru sebagai manusia merdeka. Hal itulah yang dirasakan di Aceh.

Kala itu, Aceh telah takluk. Orang Aceh tidak hanya terluka, tetap juga malu dan marah atas kekalahan dari bangsa Eropa, Belanda. Sebagai wilayah yang diperhitungkan dalam skala regional sejak pertengahan abad ke tujuh belas, penaklukan demikian sangatlah membekas. Sampai-sampai ada kepercayaan bahwa orang Aceh tidak pernah kalah dan terus melawan sampai Belanda pergi saat Perang Asia Pasifik menggulung.

Perasaan demikian membawa konsekuensi, yang belakangan baru disadari oleh "Jakarta," ketika Aceh menuntut diperlakukan secara khusus dan istimewa dalam struktur pemerintahan Indonesia, negara yang tidak hanya diakui, tetapi juga dipertahankan dengan segenap darah dan jiwa. Namun, setelahnya adalah sejarah.

*

"Masih ingat apa yang tersisa dari Indonesia beberapa tahun yang lampau?" Seru Daud Beureueh di hadapan para pendukungnya menjelang meletusnya Peristiwa Aceh 1953. Secara kolektif, di tahun-tahun itu, orang Aceh mengingat Indonesia sebagai negara ringkih yang mereka selamatkan.

Tetapi, di saat yang sama, pengakuan kedaulatan Kerajaan Belanda kepada Indonesia menjadi titik anjak baru dalam menata sistem politik dan pemerintahan. Satu pilihan yang membuat romansa zaman revolusi terpinggirkan.

Bagi orang Aceh, hal itu merupakan sebuah pengkhianatan. Bagi elite di Jakarta, sebaliknya, hal demikian adalah konsekuensi logis dari sebuah bentuk negara modern yang dingin, yang mengabaikan romantisme dalam percakapan kebangsaan.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved