KUPI BEUNGOH

Tanah dan Marwah Bagi Orang Aceh

Sebagai Warga Negara Indonesia yang lahir di Aceh, sepertinya terlampau lelah warga di provinsi paling barat

|
Editor: Nur Nihayati
For Serambinews.com
Muhammad Alkaf 

Saat itulah, orang Aceh kehilangan tanahnya untuk berpijak. Bukan kali pertama tentunya. Belanda, lalu kita hanya Jepang, telah terlebih dahulu melakukannya. Tetapi, hal demikian dalam bentuk kolonialisme dan imperialisme.

Namun, kehilangan tanah, yang dinamakan provinsi, oleh negara yang mereka pertahankan, adalah sensasi kesakitan yang tidak pernah terbayangkan. Saat itulah, orang Aceh memproduksi kosakata baru untuk melihat "Jakarta."Kosakata yang sama sekali berbeda dengan apa yang mereka produksi di zaman revolusi.

Kosakata, setelah kehilangan tanahnya, merupakan ekspresi kemarahan, jijik, dan melawan. Lalu, Indonesia dilihat oleh orang Aceh sebagai liyan. Akhirnya, sepanjang zaman, hubungan yang terbangun dengan landasan kecurigaan.

 *

"Jakarta tidak pernah ikhlas memberi hak orang Aceh!" Kalimat ini tidak datang dari suara politisi. Suara demikian merupakan cara berpikir orang yang terendap. Pikiran itu serta merta akan diucapkan ketika perasaannya tersinggung. Baik karena identitas yang diganggu atau karena persinggungan pada aspek material.

Hal inilah yang sedang kita lihat dalam hari-hari terakhir ketika publik Aceh mengetahui ada tanahnya, yang terletak di tengah lautan, telah berpindah tangan ke provinsi yang tujuh dekade lalu telah mencabik-cabik dada kaum Republiken:  Sumatra Utara.

Kisahnya bukan lagi peleburan provinsi yang berakibat meletusnya perlawanan bersenjata, melainkan raibnya pulau yang selama ini milik provinsi Aceh. Kehilangan tanah demikian, lalu berlanjut pada endapan tentang "kita" dan "mereka." Kita yang selalu dikhianati dan mereka yang tidak pernah ikhlas bersikap. Dua kosakata itu, khianat dan tidak ikhlas, akan menjadi cara komunikasi orang Aceh, selama pulau itu tidak dikembalikan, terhadap Jakarta.

Jika hal ini terus berlanjut, maka upaya integrasi dan rekonsiliasi yang dibangun dengan tertatih, alamat ambruk kembali. Di sinilah perlu kecakapan dan kebijaksanaan Jakarta. Kapal kemarahan belum terlalu jauh berlayar. Kita masih bisa kembali ke dermaga Ibu Pertiwi. 

*) Muhammad Alkaf, atau lebih dikenal dengan Bung Alkaf, adalah seorang Dosen IAIN Langsa dan esais

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggungjawab penulis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved