KUPI BEUNGOH

Aceh dan Hegemoni Pusat: Dari Batas Wilayah ke Batas Kesabaran

Aceh tidak hanya dilukai secara administratif, Aceh sedang diuji batas kesabaran damainya.

Editor: Yocerizal
Serambinews.com
Dr Tabrani ZA, Peneliti pada SCAD Independent dan Wakil Ketua Umum ISAD Aceh. 

Oleh: Dr. Tabrani. ZA, S.Pd.I., M.S.I., MA. *)

KETIKA Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia secara sepihak menetapkan empat pulau--Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek--sebagai bagian dari wilayah administratif Sumatera Utara, publik Aceh tidak sekadar merasa kehilangan wilayah, mereka merasa dicabut dari sejarahnya sendiri. 

Keputusan yang terbit melalui Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138/2025 itu, meskipun dibungkus dalam kerangka legal-formal, pada hakikatnya adalah manifestasi dari kekuasaan yang arogan: kekuasaan yang tidak lagi mendengarkan, melainkan menetapkan. Aceh tidak hanya dilukai secara administratif, Aceh sedang diuji batas kesabaran damainya.

Secara faktual, pulau-pulau tersebut telah lama berada dalam jejaring kehidupan masyarakat Aceh Singkil. Pemerintah daerah memberi pelayanan, masyarakat nelayan menjadikannya ruang hidup, dan ikatan sosial-budaya telah membentuk koneksi yang mapan. 

Maka ketika Pemerintah Pusat mencabut wilayah ini dari Aceh tanpa proses musyawarah terbuka, itu bukan hanya pelanggaran atas prinsip demokrasi partisipatoris, melainkan juga bentuk kekerasan simbolik yang mencerminkan keangkuhan kekuasaan.

Antonio Gramsci dalam teori hegemoninya menyebut bahwa kekuasaan tidak hanya ditegakkan dengan paksa, tetapi juga melalui konstruksi persetujuan sosial-consent yang dibangun lewat ideologi, hukum, dan narasi negara. 

Dalam konteks ini, Pemerintah Pusat sedang membangun hegemoni baru atas Aceh: bahwa definisi wilayah, kebenaran administratif, dan tafsir legal adalah milik Jakarta, bukan daerah. 

Negara sedang menciptakan versi kebenarannya sendiri dan berharap Aceh akan tunduk, bukan karena takut, tetapi karena merasa tidak punya pilihan. Inilah wajah halus dari dominasi: bukan melalui senjata, tapi melalui regulasi.

Namun Aceh bukan ruang kosong. Aceh adalah daerah dengan identitas historis yang kuat dan memori konflik yang belum sepenuhnya reda. Aceh bukan hanya memiliki status kekhususan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, tetapi juga memegang kontrak politik yang sakral: Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 2005, yang menjadi fondasi dari perdamaian setelah lebih dari 30 tahun konflik bersenjata.

Baca juga: Iran Ngamuk! Dialog Nuklir Dicap Omong Kosong Usai Israel Menggempur!

Baca juga: Jusuf Kalla soal Sengketa Pulau Aceh-Sumut: Jangan Ulangi Luka Lama, Rakyat Bisa Tak Percaya Pusat

Dalam MoU Helsinki 2005, yang merupakan hasil perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ditegaskan bahwa Aceh akan menjalankan pemerintahan sendiri, termasuk pengelolaan wilayah administratifnya, kecuali dalam bidang-bidang tertentu yang menjadi kewenangan pusat (Pasal 1.1.2 dan 1.1.3). 

Jaminan ini kemudian dikodifikasikan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang berlaku sebagai lex spesialis, yang pada Pasal 4 dan Pasal 5 secara tegas menyebutkan bahwa Aceh memiliki kewenangan khusus dalam mengatur dan mengurus dirinya, termasuk penetapan wilayah administratif dan pengelolaan sumber daya alamnya. 

Maka keputusan Kemendagri dapat dipahami bukan hanya sebagai pelanggaran hukum administratif, melainkan sebagai pengkhianatan terhadap kesepakatan damai yang telah dibangun dengan darah, air mata, dan harapan. 

Oleh karena itu, penetapan sepihak wilayah oleh Pemerintah Pusat dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran atas semangat perjanjian damai dan inkonsistensi terhadap peraturan perundang-undangan.

Negara yang hegemonik mengandalkan birokrasi untuk menetapkan kebenaran dan menutup ruang kritik. Namun dominasi administratif tanpa sensitivitas terhadap realitas sosial hanya akan memperlebar jurang antara pusat dan daerah. 

Dalam kasus Aceh, yang diperlebar bukan hanya jarak administratif, tetapi juga jarak kepercayaan. Negara tampaknya lupa bahwa luka lama Aceh bukan luka pribadi, melainkan luka kolektif. Dan setiap bentuk pengingkaran atas keadilan simbolik bisa membangkitkan kembali semangat resistensi yang selama ini tertidur.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved