Ketua DPRD Sumut Keukeuh Pertahankan 4 Pulau Sengketa, Bunda Salma:Jangan Bertindak Seperti Penjajah

Salma menilai sikap Erni yang bersikeras mempertahankan 4 pulau sengketa yang kini dipetakan masuk wilayah Sumut sebagai bentuk dominasi kekuasaan ata

Penulis: Yeni Hardika | Editor: Muhammad Hadi
KOLASE SERAMBINEWS.COM
POLEMIK PULAU ACEH-SUMUT - Anggota DPRA Salmawati memberikan kritikan pedas terhadap pernyataan Ketua DPRD Sumut yang bersikeras meminta Sumut mempertahankan empat pulau Aceh yang telah dipindahkan ke wilayah Sumut oleh Kemendagri. 

SERAMBINEWS.COM - Sengketa empat pulau yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang (Pulau Mangkir Besar) dan Pulau Mangkir Ketek (Pulau Mangkir Kecil) antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) terus memicu polemik.

Kali ini, giliran Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Hj Salmawati turun memberikan tanggapannya terhadap polemik 4 pulau Aceh yang dipindah ke wilayah administrasi Sumut tersebut.

Wanita yang akrab disapa Bunda Salma tersebut memberikan kritik tegas terhadap pernyataan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara (DPRD Sumut) Erni Ariyanti Sitorus.

Salma menilai sikap Erni yang bersikeras mempertahankan 4 pulau sengketa yang kini dipetakan masuk wilayah Sumut sebagai bentuk dominasi kekuasaan atau hegemonik.

Ia menolak keras cara pandang tersebut dan menyebutnya tidak mencerminkan etika kebangsaan antar daerah.

“Saya mohon DPRD Sumut tidak bertindak seperti penjajah yang berlindung di balik kertas Pusat," kata Anggota Komisi III DPRA dari Partai Aceh tersebut, Jumat (13/6/2025), dikutip dari Serambinews.com.

Istri dari tokoh utama perdamaian Aceh sekaligus Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem) tersebut juga mengingatkan, bahwa keputusan administratif bukan satu-satunya ukuran kebenaran.

Baca juga: Anggota DPRA Bunda Salma Ingatkan Ketua DPRD Sumut Erni A Sitorus Prihal 4 Pulau di Aceh Singkil

Menurutnya, empat pulau tersebut memiliki nilai historis dan kedaerahan yang kuat bagi masyarakat Aceh, dan tidak bisa begitu saja dialihkan atas nama kebijakan pusat.

“Jangan seolah-olah karena Mendagri sudah memutuskan, maka itu jadi kebenaran mutlak,” kritik Bunda Salma.

“Ini bukan zaman Hindia Belanda. Negara ini dibangun dengan kesepakatan, bukan dengan pemaksaan administratif,” imbuhnya.

Bunda Salma pun menyayangkan sikap ketua DPRD Sumut yang mendesak semua pihak untuk patuh terhadap keputusan Mendagri.

Ia mengatakan, penetapan Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Pulau Panjang sebagai bagian dari Sumut melalui keputusan administratif Mendagri adalah tindakan sepihak yang tidak mengindahkan spirit rekonsiliasi antara Aceh dan pusat.

“Saya bicara bukan hanya sebagai anggota DPRA, tapi sebagai warga Aceh. Ini bukan semata urusan teknis-administratif seperti yang coba dibingkai ketua DPRD Sumut. Ini adalah soal keadilan konstitusional, soal bagaimana negara memperlakukan Aceh pascaperdamaian,” kata Salma.

Ketua DPRD Sumut minta Sumut pertahankan 4 pulau sengketa

Sebelumnya, Ketua DPRD Sumut Erni Afriyanti Siregar sempat mengeluarkan pernyataan terkait polemik perpindahan empat pulau Aceh ke Sumut.

Erni mengatakan, Sumut harus bisa mempertahankan perpindahan empat pulau tersebut, karena telah ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Baca juga: Tajam! Bunda Salma Kritik Ketua DPRD Sumut: Aceh Wilayah Sensitif, jangan Asal Bingkai Soal 4 Pulau

Menurutnya, keputusan Kemendagri memindahkan pemetaan empat pulau Aceh ke Sumut itu bukan dilakukan secara tiba-tiba, tetapi sudah melalui kajian ilmiah.

"Ya kita harus mempertahankan juga ya. (Perpindahan pulau) itu juga tidak dilakukan secara tiba-tiba, ini ada kajian ilmiahnya," jelasnya, Jumat (13/6/2025), dikutip dari Tribun Medan.

Kendati demikian, Erni juga meminta semua pihak menunggu hasil diskusi lanjutan dari Pemerintah Aceh dan Pemerintah Sumut di hadapan Mendagri.

Meskipun Kemendagri telah membuka jalan bagi Aceh untuk mempertahankan empat pulau sengketa itu tetap berada di wilayahnya melalui gugatan ke PTUN.

Disamping itu, Gubernur Sumut Bobby Nasution juga telah menemui Gubernur Aceh Muzakkir Manaf (Mualem) dan menawarkan kerja sama untuk mengelola empat pulau sengketa tersebut secara bersama-sama.

Menurut Erni, sikap Gubernur Sumut tersebut sebagai langkah untuk meredam ketegangan masyarakat antar dua daerah.

"Itu sebagai bentuk sikap Pemprov Sumut ingin meredam ketegangan masyarakat di Aceh. Pak Bobby juga sudah mengatakan ingin mengelola bareng empat pulau itu," jelas Erni.

Tawaran Bobby dinilai problematis

Disisi lain, Bunda Salma menilai, tawaran 'Kelola Bersama" empat pulau sengketa oleh Gubernur Sumut tersebut problematis.

Menurutnya, pendekatan tersebut menyesatkan karena menggunakan bahasa kompromi di atas pelanggaran.

“Apa artinya ‘kelola bersama’ kalau wilayahnya sendiri diambil tanpa diskusi? Itu seperti mencuri sawah orang lalu mengajak bertani bersama. Bukan kompromi, itu pelecehan terhadap logika keadilan,” tegas Salmawati  dalam pernyataannya, Sabtu (14/6/2025).

Lebih lanjut, Bunda Salma mengakui bahwa jalur PTUN adalah mekanisme legal yang harus ditempuh.

Namun, ia menegaskan, bahwa proses hukum saja tidak cukup. 

Menurutnya, negara harus mengoreksi prosedur internalnya, mulai dari peta dasar, kajian ilmiah, hingga mekanisme pengambilan keputusan. 

Baca juga: Ajakan Gubernur Sumut Bobby Kelola Bersama 4 Pulau, JK: Tidak Ada Kelola Bersama, Masa Bupatinya Dua

Apalagi menyangkut Aceh yang dinilai sebagai bagian wilayah yang paling sensitif.

“Jangan berlindung di balik frasa ‘kajian ilmiah’. Jika memang ada dasar ilmiah, publikasikan," kata Bunda Salma.

"Undang tim ahli netral, buka diskusi publik, biarkan rakyat Aceh melihat apakah ini keputusan objektif atau keputusan politis yang dibungkus birokrasi,” usulnya.

Keputusan Pemerintah Pusat dinilai langgar prinsip perdamaian

Selain memberikan kritik tegas terhadap pernyataan Ketua DPRD Sumut, dalam pernyataannya pada Sabtu (14/6/2025), Bunda Salma juga menanggapi sikap pemerintah pusat terhadap keputusan Kemendagri yang memindahkan empat pulau Aceh ke wilayah Sumut.

Bunda Salma mengingatkan publik bahwa wilayah Aceh diatur secara khusus oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai manifestasi dari MoU Helsinki yang mengakhiri konflik bersenjata puluhan tahun. 

Dalam konteks itu, tindakan Mendagri menerbitkan keputusan tanpa konsultasi resmi dengan DPRA dan Pemerintah Aceh bukan hanya keliru, tapi juga melanggar prinsip perdamaian yang dijamin negara.

“Kalau Pemerintah Pusat bisa seenaknya menyeret wilayah Aceh tanpa dialog, tanpa musyawarah, lalu di mana lagi ruang kami sebagai daerah bersatus khusus?"

"Ini bukan sekadar penghapusan empat pulau, ini pengingkaran terhadap kehormatan Aceh sebagai pihak dalam kesepakatan damai,” ujar Salma.

Istri dari Gubernur Aceh Muzakkir Manaf tersebut mengatakan, bahwa sikap Aceh tetap dalam kerangka hukum Indonesia, tapi menuntut negara untuk mematuhi konstitusi dan etika keadilan.

“Aceh bukan provinsi manja, tapi juga bukan provinsi yang bisa dikebiri haknya. Kalau pusat ingin damai ini langgeng, maka perlakukan Aceh sebagai partner dalam rekonsiliasi, bukan sebagai objek peta-peta yang digeser sesuka hati,” tegasnya.

Baca juga: JK Sebut Empat Pulau yang Masuk Sumut Milik Aceh: Dasarnya UU 1956 dan MoU Helsinki, Bukan Kepmen

Dalam kesempatannya, Bunda Salma juga menyinggung soal awal mula konflik Aceh yang muncul karena ketidakadilan dan pemaksaan dari Pemerintah Pusat.

Menurutnya, Jika luka lama itu dihidupkan kembali lewat keputusan teknokratik yang tak transparan, maka konsekuensi sosial-politiknya harus ditanggung bersama.

“Kami rakyat Aceh tidak sedang mencari musuh. Tapi jangan anggap kesabaran kami rakyat Aceh sebagai kelemahan. Negara harus segera memperbaiki proses ini. Jangan ulangi dosa historis terhadap Aceh dalam bentuk baru. Bukan Aceh yang terlalu sensitif, tetapi negara yang terlalu cepat lupa,” pungkas Bunda Salma

(Serambinews.com/Yeni Hardika)

BACA BERITA LAINNYA DI SINI

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved