Sengketa Pulau Aceh Sumut

BEM Unimal Lhokseumawe Sebut 4 Pulau Milik Aceh, Antara Fakta, Sejarah, dan Keadilan Administratif

BEM Unimal Lhokseumawe Sebut 4 Pulau Milik Aceh, Antara Fakta, Sejarah, dan Keadilan Administratif

Penulis: Zaki Mubarak | Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Ramazani Akbar 

SERAMBINEWS.COM, LHOKSEUMAWE - Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Ramazani Akbar menjelaskan, sengketa wilayah bukanlah perkara yang hanya berpijak pada koordinat geografis.

Namun menyentuh sesuatu yang jauh lebih dalam, identitas, sejarah, dan harga diri masyarakat.

 Itulah yang kini tengah terjadi dalam polemik penetapan empat pulau di wilayah Aceh Singkil Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang (Mangkir Besar) dan Pulau Mangkir Ketek (Mangkir Kecil) yang oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 secara administratif ditetapkan masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.

Keputusan tersebut memantik reaksi keras dari masyarakat Aceh, baik masyarakat civitas akademika maupun masyarakat umum yang melihat bahwa bukan hanya wilayah yang dipindahkan, melainkan juga potongan sejarah dan legitimasi yang selama ini mereka jaga. 

Menurutnya, Pemerintah Aceh, meski menyampaikan keberatan, memilih untuk menempuh jalur administratif dan politis ketimbang jalur hukum formal melalui pengadilan tata usaha negara. 

Baca juga: Jakarta Jangan Pancing Amarah Rakyat Aceh

"Sebuah langkah yang mencerminkan kehati-hatian dan kehendak menjaga stabilitas sosial-politik, namun tidak boleh dipahami sebagai kelemahan," sebut ketua BEM Unimal Ramazani Akbar, Minggu (15/6/2025).

Dikatakannya, dari sudut pandang hukum administrasi, keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut jelas merupakan produk dari diskresi pemerintah pusat. 

Namun diskresi bukan berarti bebas nilai. Dalam perspektif yang dikemukakan oleh Prof Philipus M Hadjon, diskresi pemerintahan harus tunduk pada prinsip-prinsip ABBB (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) atau asas-asas umum pemerintahan yang baik, termasuk prinsip keterbukaan, akuntabilitas, proporsionalitas, dan keadilan. 

"Dalam konteks inilah, dapat dipertanyakan sejauh mana proses penetapan keputusan tersebut telah melibatkan Pemerintah Aceh secara substansial dan bukan hanya prosedural," ucapanya.

Lebih lanjut, ketua BEM Unimal menjelaskan, Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah memberikan dasar bahwa penetapan batas wilayah dapat menggunakan dokumen kesepakatan antarpemerintah daerah sebagai landasan sah. 

Dalam kasus ini, dokumen perbatasan laut yang telah disepakati sejak tahun 1992 antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, menjadi argumen legal yang kuat dan tidak boleh diabaikan begitu saja. 

"Mengabaikan dokumen tersebut dan menggantinya dengan pembacaan sepihak atas data rupa bumi dan verifikasi topografi, dikhawatirkan justru mengurangi prinsip legitimate expectation dalam praktik administrasi pemerintahan," sebutnya.

Baca juga: Tgk Agam Desak DPRA Bentuk Pansus, Bongkar Dugaan Pengkhianatan Negara dalam Pengalihan 4 Pulau Aceh

Ia menambahkan, keputusan administratif yang legal dari sisi formil, dapat kehilangan legitimasi sosial jika tidak berpijak pada realitas historis dan sosiokultural masyarakat. 

Empat pulau tersebut, sejak lama terintegrasi dalam sistem sosial dan pemerintahan Aceh. 

Kehidupan masyarakatnya terhubung dengan Aceh Singkil, baik secara administrasi pelayanan publik, hubungan ekonomi, hingga praktik keagamaan dan adat. 

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved