Kupi Beungoh

Prabowo - Mualem: Sabang, Sumitronomics, dan Agenda yang Belum Selesai – Bagian 4

Dalam pandangan Sumitro, pelabuhan Sabang adalah simpul penting untuk menghubungkan Indonesia dengan jalur perdagangan global.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*) 

Di ujung barat Indonesia, terdapat sepotong tanah yang sejak dulu menyimpan potensi strategis luar biasa — Sabang

Di kota kecil itu, sejarah pernah menaruh harapan besar. 

Pada awal Orde Baru, Sumitro Djojohadikusumo--selaku Menteri Perdagangan-- menetapkan Sabang sebagai pelabuhan bebas. 

Keputusan ini bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan manifestasi dari strategi ekonomi nasional yang berani memanfaatkan geografi sebagai sumber daya strategis. 

Dalam pandangan Sumitro, pelabuhan Sabang adalah simpul penting untuk menghubungkan Indonesia dengan jalur perdagangan global, sekaligus pintu untuk membangun kedaulatan logistik nasional.

Namun sejarah memilih jalur lain. 

Setelah ditetapkan sebagai freeport, proyek Sabang tidak berlanjut secara signifikan. 

Saat itu, Batam belum dibangun, dan Singapura--di bawah visi Lee Kuan Yew--mulai berkembang pesat sebagai pelabuhan kelas dunia.

Sementara Sumitro punya mimpi besar untuk Sabang, kenyataan politik dan prioritas nasional tidak mendukung keberlanjutannya. 

Ironisnya, pada saat Singapura berakselerasi, Sabang justru terdiam. 

Maka pelabuhan bebas itu pun terabaikan, meninggalkan jejak sebagai “agenda yang belum selesai” dalam lembar sejarah Indonesia.

Kini, di tengah kepemimpinan nasional yang baru, dan kedekatan Prabowo dengan tanah Aceh--melalui sejarah dan simpul emosional keluarganya-- warisan Sumitro itu seolah menemukan kembali momentumnya. 

Dalam situasi global yang ditandai oleh ketegangan geopolitik, tekanan pada rantai pasok, dan perubahan jalur logistik dunia, Sabang bukan hanya relevan--ia menjadi mendesak. 

Baca juga: Dorong Kepatuhan Regulasi, Lembaga Migas Aceh Minta Kantor Mubadala Ditempatkan di Wilayah Operasi

Dari Mubadala Hingga Premier Oil

Indonesia tak bisa selamanya menjadi penonton dalam lalu lintas global yang melintasi jantung maritim kita sendiri, Selat Malaka.

Ada dua level strategis yang bisa digerakkan sekaligus. 

Pertama, Sabang harus segera dikembangkan sebagai shorebase untuk eksplorasi dan eksploitasi migas lepas pantai, baik di pantai Timur Laut Aceh maupun Barat Selatan. 

Pada dua wilayah perairan itu, terdapat sejumlah blok migas potensial. 

Di bagian timur laut, paling kurang, kita mengenal Blok Andaman I dan II yang dikelola oleh Mubadala Petroleum, Harbour Energy, dan Premier Oil. 

Sementara di kawasan Barat Selatan, terdapat Blok Meulaboh dan Blok Singkil, yang saat ini konsesinya dipegang oleh perusahaan Singapura, Conrad Energy Asia.

Potensi migas lepas pantai ini membutuhkan fasilitas penunjang yang memadai--terutama basis logistik laut -shorebase-, yang bisa melayani pergerakan rig, logistik teknis, serta penyimpanan peralatan eksplorasi dan produksi. 

Sabang, dengan posisi geografis dan kedalaman laut yang mendukung, bisa menjadi pilihan utama.

Dibandingkan membangun shorebase baru di lokasi lain, optimalisasi Sabang dapat menghemat biaya, mempercepat proses, dan memperkuat posisi Aceh dalam peta energi nasional. 

Dari Sabang, dukungan logistik bisa menjangkau seluruh operasi offshore di Aceh dengan efisien.

Level strategis kedua adalah menjadikan Sabang sebagai Outerport Selat Malaka--sebuah pelabuhan pelengkap sekaligus alternatif yang menjawab tantangan logistik abad ke-21. 

Selat Malaka adalah salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia, namun juga paling sempit dan rawan. 

Dari sekitar 100.000 kapal yang melewati jalur itu setiap tahun, sebagian besar adalah kapal tanker dan kargo besar yang mengangkut minyak, gas, dan barang manufaktur dari  dan ke Timur Tengah dan Afrika ke Asia Timur ke kawasan ASEAN dan Asia Pasifik.

Baca juga: Iboih, Surga Lumba-lumba di Sabang, Atraksi Langka Bikin Wisatawan Takjub, Shireen Sungkar Terharu

Potensi Pelabuhan Pengumpan

Namun, selat Malaka mempunyai batas fisik. 

Selat Malaka hanya bisa dilewati oleh kapal dengan ukuran tertentu karena melewati sebuah titik sempit yang disebut “Malaccamax”. 

Ini adalah istilah teknis untuk mengklasifikasikan kapal dengan lebar maksimal sekitar 32,2 meter, panjang sekitar 333 meter, dan draft tidak lebih dari 21 meter agar bisa melintasi perairan tersempit di selat tersebut.

Kapal-kapal yang lebih besar dari Malaccamax, seperti VLCC (Very Large Crude Carrier) dan ULCC (Ultra Large Crude Carrier), harus menghindari Selat Malaka dan mengambil jalur lebih jauh, misalnya melalui Selat Lombok. 

Ini menciptakan tantangan logistik, waktu tempuh, dan biaya. 

Di sinilah Sabang bisa memainkan peran sebagai pelabuhan transshipment -pemindahan muatan antarkapal, atau pelabuhan pengumpan -feeder port untuk kapal besar yang tak bisa melintasi Malaka. 

Dengan kedalaman alamiah Sabang yang mencapai lebih dari 20 meter, pelabuhan ini bisa disiapkan menjadi pelabuhan samudera yang melayani kapal besar.

Peran inilah yang selama ini dalakoni oleh  Pelabuhan Salalah di Oman, Jabal Ali di Dubai, atau Pelabuhan Port Said, Suez, di Mesir.

Ketiganya menjadi simpul logistik utama yang menghubungkan pergerakan kapal antar benua, dan Sabang punya potensi sejajar jika dikelola dengan visi dan investasi jangka panjang.

Sabang juga dapat berperan sebagai buffer hub-pusat penyangga dalam konteks ketegangan geopolitik. 

Dalam situasi seperti krisis Laut Cina Selatan, konflik di Timur Tengah, atau blokade rute pelayaran di Laut Merah, Selat Hormuz, dan Terusan Suez, dunia membutuhkan titik-titik logistik cadangan untuk rerouting-pengalihan rute. 

Sabang dapat menjadi salah satunya--pelabuhan yang netral, aman, dan strategis secara geopolitik. 

Dalam konteks kerja sama India–ASEAN, atau inisiatif Indo-Pasifik, Sabang juga bisa menjadi penyeimbang bagi dominasi pelabuhan besar seperti Singapura atau Colombo, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam arsitektur maritim regional.

Namun untuk semua ini terwujud, kita butuh konsistensi dan keberanian politik. 

Sabang bukan hanya soal anggaran dan infrastruktur. 

Ini soal keberpihakan dan arah kebijakan.

Titik Balik Sejarah yang Tertunda 

Maka inisiatif pembangunan Sabang harus melibatkan kepemimpinan nasional, provinsi, dan aktor strategis lainnya dalam satu visi besar- menjadikan Sabang sebagai titik balik dari sejarah yang tertunda. 

Dalam konteks ini, Prabowo punya posisi simbolik dan substantif. 

Sebagai anak biologis dan ideologis dari Sumitro Djojohadikusumo--arsitek awal freeport Sabang--dan sebagai Presiden, Prabowo bisa menghidupkan kembali semangat Sumitronomics

Yang dimaksud adalah pendekatan pembangunan yang berbasis pada  strategi “big push” dengan melihat kawasan sebagai pusat pertumbuhan baru, bukan sekadar pinggiran administratif.

Ketika Sumitro Djojohadikusumo membayangkan Sabang sebagai pelabuhan bebas di barat Indonesia, ia sesungguhnya menerjemahkan semangat besar dari teori pembangunan yang dikenal sebagai “big push” yang diperkenalkan oleh ekonom kelahiran Austria Rosenstein-Rodan pada awal tahun limapuluhan yang digunakan negara-negara barat dałam membantu pebangunan negara berkembang setelah Perang Dunia ke II.

Dalam pandangannya, pertumbuhan tidak akan lahir dari langkah kecil yang tersebar, melainkan dari dorongan besar yang terkoordinasi, melibatkan negara sebagai motor utama, dan menargetkan simpul strategis ekonomi untuk membangkitkan kawasan secara keseluruhan. 

Sabang bagi Sumitro pada waktu itu bukan sekadar pulau pelabuhan, melainkan proyek harapan--tempat di mana investasi, infrastruktur, dan kebijakan disatukan untuk menciptakan daya ungkit ekonomi yang bisa menjalar hingga ke pedalaman Aceh. 

Meskipun kemudian terganggu oleh gejolak politik dan konflik pusat-daerah, gagasan Sumitro tetap mencerminkan keyakinan seorang teknokrat bahwa dengan intervensi besar dan perencanaan matang, sebuah wilayah dapat dilahirkan kembali sebagai kutub pertumbuhan.

Sumitro percaya bahwa geografi bukan nasib, tetapi peluang. 

Dan dalam konteks Sabang, peluang itu lebih terang dari sebelumnya. 

Pemerintah harus segera menyusun ulang roadmap Sabang dengan dua prioritas- shorebase migas dan outerport strategis. 

Pelabuhan Sabang tidak perlu menyaingi Singapura secara langsung, tetapi harus menempati ceruk strategisnya sendiri--sebagai pelabuhan transshipment kelas dunia dan pusat logistik energi yang melayani sektor lepas pantai Aceh.

Kini saatnya menjadikan sejarah bukan sekadar kenangan, tapi energi yang menggerakkan. 

Sabang bisa menjadi warisan hidup dari visi Sumitro, dan pada saat yang sama, menjadi simbol pertemuan antara gagasan dan kepemimpinan. 

Ketika Sabang dibangun kembali dengan arah yang jelas, bukan hanya Aceh yang akan tumbuh, tapi seluruh wajah Indonesia bagian barat akan menemukan denyut barunya, lebih tangguh, lebih berdaulat, dan lebih terhubung dengan dunia.(bersambung)

 

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved