Jurnalisme Warga

Green Budgeting, Solusi Masa Depan Pembangunan Aceh

Biaya kesehatan, kerusakan infrastruktur akibat bencana, dan hilangnya sumber daya untuk generasi mendatang ini menjadi beban kolektif.

Editor: mufti
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Dr. RITA MEUTIA, S.E., M. Si. Ak., Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK), melaporkan dari Banda Aceh 

Dr. RITA MEUTIA, S.E., M. Si. Ak., Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK), melaporkan dari Banda Aceh

ACEH memiliki kekayaan alam berlimpah, mulai dari hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia hingga garis pantai yang membentang indah. Namun, di balik keelokan itu, ancaman degradasi lingkungan mengintai. Banjir bandang, erosi pantai, dan menipisnya keanekaragaman hayati menjadi alarm yang tak bisa diabaikan. Di sinilah konsep ‘green budgeting’ dan keuangan nerkelanjutan bukan sekadar wacana modern, melainkan manifestasi nyata dari nilai-nilai syariat Islam yang dianut, sekaligus strategi cerdas untuk menjamin kemakmuran jangka panjang masyarakat Aceh.

Teori ekonomi neoklasik telah lama memperingatkan tentang eksternalitas negatif, yakni biaya lingkungan yang ditanggung masyarakat akibat aktivitas ekonomi, tetapi tidak terhitung dalam harga pasar. Polusi udara dari industri, kerusakan hutan untuk perkebunan monokultur, atau eksploitasi sumber daya laut berlebihan adalah contoh nyata.

Biaya kesehatan, kerusakan infrastruktur akibat bencana, dan hilangnya sumber daya untuk generasi mendatang ini menjadi beban kolektif.

Syariat Islam, sebagai panduan hidup utama di Aceh, memiliki fondasi kuat untuk mengatasi hal ini. Al-Qur'an secara tegas menekankan prinsip keseimbangan (mizan) dan larangan berbuat kerusakan (ifsad) di muka Bumi (QS. Ar-Rum: 41, QS. Al-A'raf: 56).

Konsep khalifah (QS. Al-Baqarah: 30) menempatkan manusia sebagai pengelola Bumi yang bertanggung jawab, bukan perusak.

Maqashid syariah, tujuan utama syariat yang dijaga (hifzh ad-din, hifzh an-nafs, hifzh al-'aql, hifzh an-nasl, hifzh al-mal/hifzh al-bi'ah), secara implisit dan eksplisit mencakup pelestarian lingkungan (hifzh al-bi'ah) sebagai prasyarat menjaga jiwa, keturunan, dan harta benda. Maka, membiarkan eksternalitas negatif lingkungan terus terjadi bukan hanya kegagalan ekonomi, melainkan juga pelanggaran terhadap prinsip dasar syariat.

Langkah strategis

‘Green budgeting’ adalah jawaban konkret. Ini adalah pendekatan yang menginternalisasikan biaya lingkungan dan tujuan keberlanjutan ke dalam seluruh siklus anggaran pemerintah, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga evaluasi. Bukan sekadar "menambah" program lingkungan, melainkan mentransformasi lensa kebijakan fiskal secara menyeluruh.

Data BPS serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh menunjukkan tren mengkhawatirkan. Laju deforestasi meski melambat masih terjadi, dengan faktor utama peralihan fungsi untuk perkebunan dan permukiman. Bencana hidrometeorologi (banjir, longsor) semakin intens, menimbulkan kerugian ekonomi ratusan miliar rupiah setiap tahun. Ancaman abrasi pantai juga nyata, terutama di pesisir utara dan timur.

Ekonomi Aceh masih bertumpu pada sektor ekstraktif (migas, pertambangan, pertanian/perkebunan skala besar) yang rentan terhadap fluktuasi harga dan berpotensi besar menimbulkan degradasi lingkungan jika tidak dikelola secara lestari.

APBA hijau

Kabar baiknya, Aceh telah menunjukkan komitmen awal. Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) mulai memasukkan label "hijau" pada program tertentu. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 26 Tahun 2022 tentang Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) Tahun 2023 secara eksplisit menyebutkan pendekatan ‘green economy dan green budgeting’ sebagai arahan. Beberapa inisiatif konkret patut diapresiasi:

-     Perjalanan menuju ‘green budgeting’ yang matang masih panjang, memiliki tantangan krusial perlu segera diatasi, yaitu masih banyak SKPD di Aceh masih kesulitan merumuskan program yang benar-benar berbasis analisis lingkungan dan berorientasi keberlanjutan jangka panjang;

-      Sistem pemantauan dan evaluasi yang ketat untuk mengukur dampak lingkungan dari belanja publik juga masih perlu penguatan. Apakah program "hijau" benar-benar mengurangi emisi, meningkatkan tutupan hutan, atau memperbaiki kualitas air? Data lapangan sering kali belum terintegrasi dengan baik untuk menjawab ini; dan

-     Alokasi APBA untuk program lingkungan hidup yang benar-benar signifikan dan transformatif masih sangat kecil, sering kali di bawah 2 persen dari total APBA (berdasarkan analisis beberapa lembaga pemantau APBD). Padahal, kebutuhan untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, penanganan sampah, dan restorasi ekosistem sangatlah besar. Bandingkan dengan besarnya anggaran untuk pembangunan fisik konvensional yang sering kurang mempertimbangkan aspek lingkungan jangka panjang.

Terkadang, terjadi inkonsistensi antara komitmen ‘green budgeting’ dengan kebijakan sektoral lainnya. Pemberian izin usaha perkebunan atau pertambangan di kawasan hutan lindung/hutan bernilai konservasi tinggi, misalnya, bertolak belakang dengan upaya perlindungan lingkungan yang didanai APBA hijau. Sinergi dan penegakan hukum lingkungan mutlak diperlukan.

Partisipasi publik

Proses perencanaan dan pengawasan ‘green budgeting’ perlu melibatkan masyarakat sipil, ulama, dan akademisi secara lebih substansial. Transparansi dalam pelaporan penggunaan dana dan capaian lingkungan menjadi kunci akuntabilitas.

Keuangan berkelanjutan

‘Green budgeting’ hanya satu sisi koin. Keuangan berkelanjutan adalah sisi lainnya, yang menekankan peran sektor keuangan (perbankan, asuransi, pasar modal) dalam mendukung aktivitas ekonomi yang ramah lingkungan dan inklusif. Aceh memiliki potensi besar. Sebagai daerah syariat, Aceh bisa menjadi pelopor ‘green finance’ dan ‘green sukuk’ (obligasi syariah hijau). Dana dari instrumen ini dapat dialirkan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur hijau (pengolahan air limbah terpadu, transportasi ramah lingkungan), energi terbarukan (solar, bayu), atau pertanian organik berkelanjutan yang sesuai syariat.

Lembaga keuangan ssariah (LKS) di Aceh perlu didorong untuk mengembangkan produk pembiayaan khusus untuk usaha ramah lingkungan (UMKM hijau).

Bank dan lembaga keuangan perlu mengintegrasikan risiko lingkungan dan sosial (ESG - Environmental, Social, Governance) dalam analisis kredit. Pemberian pinjaman untuk proyek yang berpotensi merusak lingkungan tinggi harus dibatasi.

Lestari dan bermartabat

Menerapkan ‘green budgeting’ dan keuangan berkelanjutan di Aceh bukanlah pilihan, melainkan keharusan agama dan akal sehat. Ini adalah jalan untuk mengurangi risiko bencana, yitu anggaran yang dialokasikan untuk pencegahan (rehabilitasi hutan, tata ruang berbasis risiko) jauh lebih efisien daripada belanja besar untuk penanggulangan bencana.

Mendorong ekonomi hijau yang inklusif dengan  menciptakan lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan, ekowisata, pertanian organik, dan pengelolaan sampah yang memberdayakan masyarakat lokal. Menjaga sumber daya untuk generasi mendatang (amanah).  Kewajiban sebagai khalifah yang bertanggung jawab atas kelestarian alam.

Mewujudkan kesejahteraan hakiki (maqashid syariah), yaitu lingkungan yang sehat adalah dasar terwujudnya perlindungan jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Pemerintah Aceh perlu merperkuat kapasitas perencanaan dan monev ‘green budgeting’ di semua SKPD. Tingkatkan signifikan alokasi APBA hijau yang benar-benar transformatif (minimal mendekati 10 % sebagai komitmen nyata). Perbaiki koherensi kebijakan dan tegakkan hukum lingkungan. Transparansikan data capaian.

DPRA perlu melakukan pengawasan ketat terhadap implementasi ‘green budgeting’ dan pastikan APBA benar-benar mencerminkan komitmen keberlanjutan. Lembaga keuangan perlu mengembangkan produk ‘green finance’ dan ‘green sukuk Aceh’. Integrasikan prinsip ESG secara ketat.

Ulama dan dayah perlu melakukan sosialisasi terhadap pentingnya pelestarian lingkungan sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam.

Aceh telah memilih syariat sebagai jalan hidup. Kini saatnya menjadikan ‘green budgeting’ dan keuangan berkelanjutan sebagai perangkat operasional syariat di bidang ekonomi dan lingkungan. Dengan menginternalisasikan nilai-nilai keseimbangan, larangan berbuat kerusakan, dan amanah pengelolaan Bumi ke dalam kebijakan fiskal dan keuangan, Aceh bukan hanya akan terhindar dari bala bencana lingkungan, tetapi juga akan menjemput rahmat berupa kemakmuran yang berkelanjutan dan bermartabat.

Mari jadikan APBA hijau bukan sekedar angka, melainkan ikhtiar nyata menuju Aceh hebat, lestari, dan bermartabat, demi dunia akhirat.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved