Pojok Humam Hamid

Zohran Mamdani: Sisi Kelam Demokrasi Amerika

Zohran Mamdani adalah seorang wakil takyat negara bagian New York yang mewakili distrik Astoria di Queens—sebuah wilayah padat dan kosmopolit

Editor: Zaenal
Kolase Serambinews.com/Instagram zohrankmamdani
KOLASE foto calon wali kota New York Zohran Mamdani dan Guru Besar USK Prof Ahmad Humam Hamid. 

Lalu Donald Trump.

Sosok yang tak bisa dihindari dalam pusaran ini.

Presiden yang membawa kebencian dari pinggiran masuk ke pusat. Ia adalah suara dari Amerika yang gelap, Amerika yang marah dan takut.

Ketika Trump menyebut negara-negara seperti Haiti dan negara-negara Afrika sebagai “shithole countries”,-istilah paling rasis, ia tidak hanya mencaci geografi--ia menghapus kemanusiaan orang-orang yang berasal dari sana. 

Istilah Trump itu memasukkan Mamdani, yang lahir di Uganda dan membawa darah India dalam tubuhnya.

Di masa kepemimpinannya, larangan terhadap negara-negara Muslim diberlakukan Trump juga menyerang, Ilhan Omar dan Rashida Tlaib-- keduanya muslim, anggota Kongres AS- dijadikan sasaran nasional.

Sepertinya apa yang dulu disebut prasangka kini berubah menjadi kebijakan negara.

Solidaritas untuk Zohran Mamdani

Namun di balik gelapnya langit, muncul juga cahaya.

Solidaritas terhadap Zohran tumbuh di jalan-jalan, di ruang-ruang komunitas, di forum-forum rakyat.

Pemuda-pemuda kulit hitam, komunitas Yahudi progresif, organisasi buruh, bahkan gereja-gereja liberal di Brooklyn, menyuarakan dukungan untuk Zohran.

Jewish Voice for Peace dan IfNotNow--dua kelompok Yahudi Amerika yang menolak zionisme politik dan mendukung hak rakyat Palestina--secara terbuka membela Zohran.

Mereka tahu, menolak genosida bukanlah pengkhianatan terhadap identitas Yahudi, tapi justru bentuk tertinggi dari kesetiaan terhadap kemanusiaan dan sejarah panjang penderitaan mereka sendiri.

New York City, kota tempat Mamdani dipilih oleh puluhan ribu warga Queens, adalah miniatur dunia.

Delapan juta manusia dari segala latar belakang hidup berdampingan di sini. Di sinilah seharusnya demokrasi menemukan bentuknya yang paling tulus.

Namun justru di kota yang katanya paling toleran ini, kebencian paling halus bersembunyi. 

Cukup banyak bukti culas seperti pemetaan ulang distrik untuk melemahkan kandidat,  tekanan sponsor dan lobi terhadap partai, dan penghilangan suara-suara yang tak sesuai dengan kepentingan elite.

Targetnya jelas, Zohran Mamdani.

Distrik yang diwakili Zohran adalah cerminan kontradiksi itu.

Di satu sisi, komunitas Yahudi konservatif dan zionis ortodoks mengorganisir tekanan untuk menjatuhkannya, karena kritik terhadap Israel dianggap serangan terhadap seluruh komunitas Yahudi.

Tapi di sisi lain, suara-suara Yahudi muda dan progresif di Brooklyn dan Queens justru melihat Zohran sebagai harapan. 

Bagi Yahudi progresif, melawan apartheid bukanlah dosa, melainkan kewajiban moral.

Benturan inilah yang menjadikan Zohran lebih dari sekadar politisi lokal.

Ia adalah simbol pertarungan nurani di jantung kota yang konon paling kosmopolit di dunia.

Apakah Amerika akan Mendengar?

Kini pertanyaan yang lebih besar bergema.

Masihkah Amerika punya ruang bagi suara-suara seperti Zohran?

Masihkah demokrasi mampu menampung perbedaan yang nyata, bukan hanya yang dekoratif?

Zohran tidak sempurna.

Ia tidak tanpa cela.

Tapi dalam sistem yang menghukum keberanian dan menghargai kepatuhan, keberaniannya adalah bentuk tertinggi dari patriotisme. 

Zohran menolak untuk diam, bahkan ketika diam bisa menyelamatkan kariernya.

Ia tetap berdiri, bahkan ketika yang lain mundur.

Ia tetap bersuara, meski yang didapat adalah fitnah dan ancaman.

Jika Amerika ingin tetap disebut rumah demokrasi, maka ia harus memulai dari mendengarkan mereka yang selama ini dibungkam.

Demokrasi bukan hanya tentang siapa yang bicara paling keras, tapi siapa yang diizinkan bicara.

Dan hari ini, suara Zohran Mamdani adalah ujian itu sendiri.

Dunia menyimak.

Dunia mendengar.

Pertanyaannya adalah, apakah Amerika juga akan mendengar?

Ataukah Amerika akan terus menutupi telinganya, dan membiarkan demokrasi itu sendiri mati pelan-pelan, dibunuh bukan oleh musuh dari luar, tapi oleh kebencian yang tumbuh dari dalam?

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Setiap artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved