Kupi Beungoh

Mendadak Menulis di Era AI, Apa Salahnya?

ChatGPT, mengubah kerja menulis secara ajaib, biasanya membutuhkan waktu berhari-hari, kini bisa disingkat dengan satu klik

Editor: Amirullah
ist
Akhsanul Khalis - Direktur Bidang Politik dan Kebijakan Publik, Lembaga ESGE Study Center 

Tentu ada kekhawatiran. ChatGPT dianggap powerful, bisa menggantikan penulis. Bagi saya, jalan tengahnya sederhana: jadikanlah ChatGPT sebagai editor, bukan penulis. Alat bantu. Seperti editor yang memperhalus kalimat, memotong repetisi, membentuk soal struktur. Tapi ide asli, keresahan, empati, keberanian menantang arus, tetap milik penulisnya.

The New York Times pernah menulis, “AI is poised to rewrite history, literally.” AI mampu membaca miliaran dokumen, menemukan pola sejarah yang dulu butuh puluhan tahun. Tapi chatbot tetap rawan bias. Ia tak sepenuhnya paham konteks. Disitulah otoritas pakar hadir, menghubungkan teks dan konteks, serta memutuskan data tidak sesuai. 

Banyak yang mengira hasil tulisan ChatGPT selalu rapi, logis, catchy. Tapi itu pun ada batasnya. Kalau kita jeli, tahu bagaimana tulisan yang baik, kita akan cepat melihat kelemahan AI.

Baca juga: Usia Pensiun PNS Diwacanakan Diperpanjang hingga 70 Tahun, CPNS 2025 Kapan Dibuka?

Berikan prompt: “perluas, elaborasi.” Hasilnya? Kalau si pengguna sendiri tak punya literasi, tak punya imajinasi, hasilnya tetap datar, tak menukik, tak menyentuh, miskin makna. Kalimat dan ide akan berputar-putar atau disebut obskurantisme. 

Bagi siapa pun yang lama bergelut menulis, pasti tahu: menulis bukan sekadar teknis. Ia kerja batin. Kekuatan tulisan lahir dari kegelisahan yang tak tampak, dari pengalaman yang tak kasat mata, dari perjalanan hidup yang seringkali melatih berkontemplasi. 

Menulis juga bicara soal waktu, kondisi psikis, kesehatan. Bahkan soal menahan diri. Menjauh dari tulisan sendiri. Kembali. Menghapus. Memilih kritis, walau melawan arus, tak semua pembaca suka. Ini mengingatkan saya, dalam buku Marcello Musto, Ia dengan ciamik mengupas kehidupan intelektual Karl Marx.

Hidup di pinggiran Kota London yang kumuh. didera sakit bisul kronis dan kemiskinan akut, anaknya satu persatu meninggal. Segala tantangan yang dihadapi, tidak menyurutkan langkah Marx untuk menulis, bergumul dengan buku-buku di pustaka demi menggugat teori-teori pemikiran ekonomi klasik, seperti David Ricardo dkk. 

Kita berhutang banyak pada usaha Marx, dengan memberikan sumbangsih kepada kemanusian, khususnya pekerja. Marx membongkar  metafisika pemikiran ekonomi klasik: pekerja dianggap Kuda yang terus dipacu, pekerja dihisap keringatnya, jam kerja tinggi, upah rendah. Hal natural dalam peradaban manusia. 

Kendati menulis hal yang ribet seperti dilakukan Marx, dua abad tahun. Saya percaya, saat ini, menulis bukan sesuatu yang eksklusif, ningrat dan elitis. Tidak berlaku senioritas. Bagi mereka yang sudah lebih dulu menulis, kiranya menahan diri menghakimi penulis pemula. Jangan menjadi “wahabi” dalam dunia literasi: bersikap puritan agar terbebas dari bantuan AI. Seakan-akan menulis yang dibantu AI adalah perkara bid’ah. 

Menulis, sejatinya bukan soal gagah-gagahan. Ini selalu soal keyakinan, soal keberanian mengungkapkan apa yang orang lain pilih diamkan. Entah itu dengan cara tradisional atau lebih kekinian melalui ChatGPT

Pada akhirnya, seleksi alam yang akan bicara. Tulisan yang berbobot akan bertahan, mana yang tenggelam, akan diuji oleh waktu, oleh konsistensi, rasionalitas, estetika. Tidak ada yang betul-betul sempurna dalam proses menulis. 

Dari semua itu, soal kejujuran, toh di zaman ini, kita sering tak lagi peduli mana yang nyata, mana yang palsu. Jauh sebelum maraknya penggunaan AI dalam hal menulis, bukan rahasia lagi, banyak orang demi mengejar gelar akademik justru skripsi, tesis, disertasi memakai jasa ghostwriter. 

Soal kepalsuan, Umberto Eco, pakar semiotika lewat bukunya Travels in Hyperreality, sudah lama menyindir dengan istilah obsesi Amerika: kepalsuan yang sempurna sering lebih memuaskan daripada kenyataan. Di era AI dan algoritma hari ini, sindiran itu terasa semakin relevan. Dunia memang begitu, katanya. Nikmati saja.

 

*) Penulis Direktur Bidang Politik dan Kebijakan Publik, Lembaga ESGE Study Center

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved