Jurnalisme Warga

Pengakuan UNESCO, Bagaikan Anugerah 'Boh Manok Mirah' untuk Aceh

DALAM ranggka memperingati genap dua tahun Unesco mengakui Hikayat Aceh sebaga Memory of the World

Editor: mufti
SERAMBINEWS/tambeh.wordpress.com
T. A. SAKTI, mantan dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala, melaporkan dari Rumoh Teungoh (Rumah Abu Tabib Wen), Gampong Ujong Blang, Kecamatan Beutong, Nagan Raya 

T. A. SAKTI, mantan dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala, melaporkan dari Rumoh Teungoh (Rumah Abu Tabib Wen), Gampong Ujong Blang, Kecamatan Beutong, Nagan Raya

DALAM ranggka memperingati genap dua tahun Unesco mengakui Hikayat Aceh sebaga Memory of the World  (Mow = Warisan Budaya Dunia), dan  karya Hamzah Fansuri yang telah diakui  Unesco pula sebagai MoW pada 18 Maret 2025, Majelis Seniman Aceh (MaSA) mengadakan  Seminar dan Pameran di Meseum Aceh, Banda Aceh, pada Sabtu, 24 Mei 2025.

Seminar yang bertema “Gelar Karya Besar Hamzah Fansuri dan Hikayat Aceh 2025” menampilkan tiga narasumber, yaitu saya sendiri (T. A. Sakti), Drs. Nurdin AR, M.Hum., dan Hermansyah, M.Th., M.Hum, yang diawali dengan sambutan Prof. Dr. Yusny Saby,  M.A., selaku Ketua Majelis Kehormatan dari Majelis Seniman Aceh (MaSA).

Nurdin AR, pensiunan dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry membahas tentang Hamzah Fansuri dan Karya-Karya Tasawufnya. Hamzah Fansuri adalah  penyair sufi terbesar Melayu asal Aceh. Ia juga dikenal sebagai promotor syair empat baris (rubai) dalam bahasa Melayu. Banyak sarjana dunia, termasuk Vladimir Brezinski dari Rusia, telah mengkaji Hamzah Fansuri dan karya-karya syair Melayunya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya syair-syair Hamzah Fansuri.

Sampai hari ini masih bergema kontroversi tentang tempat  lahir dan makam Hamzah Fansuri. Terdapat dialektika mengenai tempat lahir Hamzah Fansuri, dengan pandangan yang berbeda antara Fansur (Barus, Aceh Selatan, Singkil) atau Ujung Pancu di Aceh Besar.

Nurdi AR menyoroti kontroversi makam Hamzah Fansuri. Sebuah nisan di Oboh (Aceh Singkil) hanya bertuliskan "Imam Syekh Fansuri" tanpa nama "Hamzah".

Namun, pada tahun 2000, epigraf Claude Guilloto (asal Prancis)  dan Ludwig Kalus menemukan foto nisan  Hamzah Fansuri dari arkeolog Mesir, Ismail Al-Hawari (1934). Al-Hawari menjumpai nisan itu di Babul Ma'la, Makkah, yang jelas menyebutkan "Syekh Hamzah bin Abdullah al-Fansuri".

Kontroversi ini membuka peluang bagi generasi muda untuk melakukan penelitian lebih lanjut demi memastikan tempat lahir dan makam beliau, serta kemungkinan adanya lebih dari satu Hamzah Fansuri.
Karya-karya  Hamzah Fansuri  dianggap sebagai "sastra tinggi"  karena itu sulit dipahami oleh orang awam dan memerlukan pengetahuan mendalam dalam ilmu agama seperti fikih dan tauhid. Beberapa karyanya meliputi: Syarabul Asyikin (Minuman Orang-Orang Asyik), Zinatul Wahidin, Asrarul Arifin, Muntahi (Pengetahuan Makrifat Terakhir), Risalah Kitab Insanul Kamil, dan berbagai Rubai (syair empat baris) seperti Syair Dagang, Syair Perahu, dan Syair Burung Pingai.

Pemakalah juga menyebutkan Syair Jawi fil Bayan sebagai naskah penting yang jarang dikaji oleh peneliti luar, menawarkan kesempatan bagi peneliti muda asal Aceh.

Hermansyah, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry sebagai pemakalah ketiga,  menyatakan bahwa pengakuan Hikayat Aceh pada tahun 2023 dan karya Hamzah Fansuri pada tahun 2025 oleh UNESCO sebagai Memory of the World adalah "boh manok mirah” (bagian telur yang berwana kuning) atau anugerah bagi Aceh.  Alasan  disebutkan  “rezeki nomplok”  ini,  karena masyarakat  Aceh dan pemerintahannya "tidak bekerja" secara langsung untuk pengajuan ini, melainkan hasil kerja keras  beberapa orang teman di Aceh dan Jakarta.

Karya Hamzah Fansuri masuk dalam nominasi bersama lima karya agung lainnya dari Indonesia, termasuk naskah Diponegoro dan surat-surat Kartini .

Meskipun sertifikat hanyalah selembar kertas, ia memiliki modal dasar untuk mempromosikan seluruh hikayat Aceh, bukan hanya  “Hikayat Aceh”  yang diakui oleh UNESCO saja.

Pengakuan ini menempatkan Aceh sejajar dengan negara-negara yang memiliki peradaban tinggi dan bisa menjadi  “motivasi bagi pemerintah untuk selalu menampilkan sertifikat UNESCO”  di setiap kegiatan kebudayaan atau cagar budaya, seperti yang dipraktikkan oleh  negara Malaysia.

Saat pengajuan Hikayat Aceh pada tahun 2018, hanya ada tiga naskah yang diajukan: dua di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda  dan satu di Perpustakaan Nasional,  Jakarta. Manuskrip Hikayat Aceh malah tidak ada di Aceh.

Hermansyah yang ahli manuskrip alias filolog dari UIN Ar-Raniry itu,  menyebutkan bahwa Hikayat Aceh bagi masyarakat Aceh sangat umum atau terkenal, tetapi naskahnya sendiri tidak dikenal.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved