Pojok Humam Hamid

Kasus Pati, Sri Mulyani, dan “Kabeh Ka Pike”?

Di Aceh, ada sebuah ungkapan sederhana, “kabeh ka pike”?. Artinya, pikirkanlah baik-baik sebelum melangkah.

Editor: Subur Dani
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Perancis pra-revolusi, dengan istana Versailles yang megah, akhirnya runtuh di bawah guillotine karena para bangsawan menolak dipajaki, sementara rakyat jelata terus diperas.

Ketika kontrak sosial fiskal hancur, negara kehilangan pijakan moral. 

Indonesia, delapan dekade setelah proklamasi kemerdekaan, justru tengah mengulang pola klasik itu. Negara besar dengan populasi pekerja lebih dari 140 juta orang, tetapi hanya sekitar 17 juta yang benar-benar tercatat sebagai pembayar pajak aktif. 

Angka telanjang itu lebih jujur daripada semua orasi tentang modernisasi fiskal.

Saling Tuding 

Kasus Pati menggambarkan paradoks besar hubungan pusat dan daerah. 

Bupati berargumen bahwa kenaikan PBB adalah jalan untuk memperkuat pendapatan asli daerah. DPR lalu menuding pusat, menyebut kebijakan itu lahir karena Jakarta memangkas anggaran. 

Tetapi istana segera membantah, melempar tanggung jawab kembali ke daerah. 

Drama saling tuding ini bukan cerita baru. Ia mirip naskah usang yang terus dimainkan di panggung politik fiskal Indonesia sejak era desentralisasi dimulai dua dekade lalu. 

Baca juga: Sri Mulyani Ungkap Tidak Ada Kenaikan Gaji PNS di 2026, Anggaran Difokuskan untuk Program Lain

Pusat mendesak daerah untuk mandiri, tetapi dengan tangan lain masih menggenggam erat dompet negara. 

Daerah ingin otonom, tetapi tak punya daya untuk bertahan tanpa subsidi. 

Ketika tekanan fiskal datang, masing-masing pihak bergegas mencari kambing hitam. Dan seperti biasa, rakyatlah yang dipaksa membayar harga.

Sistem fiskal Indonesia, bila dilihat jernih, ibarat jembatan kayu reyot yang dipaksa menahan arus deras. 

Ia dibangun di atas semangat desentralisasi, tetapi ditopang oleh struktur sentralistik yang tidak pernah sungguh-sungguh berubah. 

Transfer ke daerah (TKD) menjadi nadi utama hampir semua kabupaten dan kota. 

Ketika TKD terganggu atau dipersempit, maka satu-satunya cara bagi daerah adalah memungut lebih banyak dari rakyatnya, sering kali tanpa memikirkan daya dukung ekonomi. 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved